Berburu di Goa, Nikmatnya Kelelawar Menjadi Ambyarr….

ilustrasi dalam gua
Ilustrasi dalam gua.
  • KELEZATAN daging kelelawar menggoda dua sekawan untuk memburunya kendatipun harus menempuh medan sulit dan penuh resiko
  • Tak ada tempat di sekitar desanya dimana mereka tidak berburu kelelawar, namun pada saat terakhir, ia terperosok di sebuah gua. Apa yang terjadi ya?

Ada dua sekawan yang terdiri dari Didok dan Budi dan sangat suka berburu kelelawar pada malam hari. Mereka percaya, di samping enak disantap, daging kelelawar juga bisa membantu menyembuhkan asma, alergi dan menambah ‘gairah seks’ bagi kaum adam. Demikian yang mereka sering baca di internet.

Itulah bayangan mereka tentang daging kelelawar. Apalagi ia sudah sering menyantapnya sehingga tahu enaknya. Namun belakangan, ia mendapat permintaan tetap dari pasar burung. Jadi mereka berdua berubah haluan dan rutin berburu kelelawar untuk dijual.

Hutan, lembah pinggir sungai atau ladang sudah lumrah menjadi target berburu mereka. Hampir tidak ada celah di sekitar desanya bagi kelelawar untuk bersembunyi atau bisa selamat dari perburuan dua sekawan ini.

Nah, yang terakhir menjadi targetnya adalah sebuah gua yang berada di pinggir pantai dan di atasnya terdapat sebuah tempat suci. Bagi mereka hal itu tidak masalah, karena ia toh tidak merusak bangunan sebab mereka hanya mencari kelelawar.

********

Pada suatu hari, mereka merencanakan perburuan di pinggir pantai yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari desanya. Segala sesuatunya sudah disiapkan dengan matang, apakah itu alat-alat seperti jaring serokan maupun perbekalan atau logistik ringan.

“Bud, gimana acara kita nanti malam ya, sudah semua siap perlengkapannya?” tanya Didok kepada Budi.

“Ohh…, masalah itu, pokoknya semua beres. Kita tinggal berangkat aja,” jawab Budi.

“Ya… nanti usahakan sebelum matahari terbenam kita sudah sampai di lokasi. Soalnya, kita harus survai lokasi sedikit agar mengetahui posisi kelelawarnya di mana saja.”

“Tentu.”

********

Semua peralatan sudah disiapkan dan mereka berangkat naik sepeda motor. Tidak lupa pula membawa air minum dan roti untuk makan malamnya. Karena tidak terlalu jauh, dalam waktu 20 menit mereka sudah sampai, termasuk berjalan kaki ke TKP sejauh kira-kira 500 meter.

“Bud…besar sekali mulut guanya ini ya. Mungkin ini yang terbesar, yang pernah kita jelajahi,” kata Didok kepada Budi.

“Betul. Pas air lautnya juga sedang surut, jadi kita bisa leluasa masuk ke dalam,” jawab Budi.

 

“Coba kamu periksa di sebelah sana mungpung juga keadaannya masih terang hingga ke dalam sini.”

“Wah… di sini Dok, banyak sekali kelelawarnya. Cepat pasang jaring kita di sini. Kayaknya ini malam keberuntungan kita berdua.”

“Jangan gitu dulu Bud. Kita tetap berusaha, namun tidak boleh sesumbar begitu.”

“Okay…”

Mungkin sudah sekitar setengah jam berlalu. Mereka sudah selesai memasang jaring perangkap di dekat mulut gua. Di samping itu, mereka masing-masing juga membawa jaring serokan ikan dengan tangkai panjang agar menjangkau dinding gua bagian atas.

Cuitan kelelawar sudah mulai terdengar dan keadaan sudah semakin gelap. Di dalam gua mereka hanya berbekalkan lampu senter sebagai penerangan bila dibutuhkan.

“Dok…coba kamu lihat, kayaknya sudah ada yang nyangkut di jaring tuh…”

“Benar Bud, itu ada sepuluhan ya. Saya ambil dulu,” jawab Didok sambil menyorotnya dengan lampu senter.

“Sementara kamu memungut kelelawar-kelelawar itu, aku ke dalam ya dengan membawa serokan ini. Siapa tahu di dalam masih ada yang belum keluar.”

“Hati-hati ya Dok!”

Budi asyik memunguti kelelawar yang tersangkut di jaring satu-persatu dan dimasukkan ke dalam kantong beras besar. Tanpa disadari, mungkin setengah kantong itu sudah terisi. Sementara, Didok belum nampak batang hidungnya. Apa dapat banyak ya di dalam sana?

Tidak lama kemudian, Didok datang tergopoh-gopoh, namun langkahnya tak begitu kedengaran karena lantai gua berpasir halus. Bahkan ia sempat terjerembab di dalam gua ke dalam palung kecil yang tertutup pasir karena panik. Jadi tidak sempat menyalakan lampu senter. Dengan sisa nafas yang ada, Didok menghampiri Budi.

“Bud….Bud….kamu tadi ada lihat gak orang masuk ke dalam gua ini ya?”

“Memangnya kenapa? Nggak ada…tuh.. Kan kita berdua saja di sini sedari tadi?”

“Nggakkk…, tadi aku dengar ada orang ngobrol di dalam sana lho. Aku juga mencium bau masakan. Gimana ni?”

“Aahhh… gak usah panik gitu. Itu halu kamu aja. Kalau kamu takut di sana, mendingan di sini saja temani aku. Lihat….ni… segini kita sudah dapat kelelawar. Ini baru satu jam, apalagi hingga 3 jam. Kamu bisa bayangin, berapa banyak kita akan dapat.”

“Baiklah kalau gitu. Akut ikut kamu di sini. Tadi sih maunya nyari di dalam sana, sementara kamu di sini menangkap yang lolos dari serokan aku.”

“Santai aja Broo… nanti juga bisa penuh. Nah, setelah itu baru kita pulang. Oh.. aku ada ide. Gimana kalau kita sambil dengar musik di sini…biar ada sedikit hiburan. Putar musik dari hape aja.”

“Ahhh jangan, nanti kelelawarnya terganggu karena kehadiran suara musik kita. Biarlah tetap sunyi dan gelap di sini seperti ini.”

“Terserah kamulah, kalau maumu begitu.”

“Ayo kita ambil lagi kelelawar yang tersangkut di jaring. Kayaknya cukup di sini saja kita pasang jaring ya.”

“Iya…di sini saja. Semakin malam semakin banyak kelelawar yang keluar.”

Tampaknya kantong beras yang mereka bawa sudah hampir penuh dengan kelelawar. Satu atau dua kelelawar masih ada saja yang tersangkut sehingga mereka enggan beranjak pulang.

“Gedebugg….ggg,” demikian suara yang ia dengar di dalam gua dengan kedalaman sekitar 100 meter dari mulut gua.

“Nah, itu suara apalagi Bud, sepertinya ada reruntuhan gua?”

“Aahh…tidak Dok. It memang biasa terjadi di dunia malam.”

“Apa maksud mu Bud?”

“Ya… pokoknya gitulah masak kamu gak ngerti. Kita kan sering dengar suara-suara seperti itu di tepi sungai seperti tempo hari saat mencari kelelawar juga.”

“Oooh…ya. Kalau gitu, kita cari lagi sedikit. Tanggung nih!”

“Sippp.. aku setuju!”

Begitukantong beras itu sudah terisi penuh, mereka menghentikan aktivitas penangkapan kelelawar tersebut. O ya, sebelum pulang, mereka istirahat sejenak di pasir pantai di depan gua untuk menyantap bekal roti yang dibawa tadi. Lumayan untuk mengganjal perut untuk perjalanan pulang.

Lalu pulang bersama dengan melewati jalan setapak di pinggir sungai menuju tempat memarkir sepeda motor mereka. Ada rasa sumringah di wajah mereka karena hasil tangkapannya cukup banyak.

“Dok…Dok…sepeda motornya kok susah didorong. Kenapa ya?” tanya Budi.

“Coba periksa bannya.”

“Waduuh….bannya kempes Dok. Yang di depan juga!!”

“Nah…ini yang aku tak mengerti. Di satu sisi, kita dapat banyak kelelawar. Di sisi lainnya, sepeda motor kita dapat sial begini.”

“Ya terpaksa kita harus mendorongnya sampai rumah….”

“Yaa… apa boleh buat. Kita giliran saja. Sekarang aku bawa karung beras ini, lalu kau dorong sepeda ya.”

“Apa boleh buat. Kita tidak ada pilihan. Mana ada bengkel yang buka malam-malam begini.”

Dalam suasana hati gembira bercampur kesal, mereka pulang dengan menuntun sepeda motor secara bergiliran. Untunglah juga, sebagian besar jalur yang dilewati sudah beraspal sehingga mudah mendorongya. Jalan berbatunya cuma sepanjang 1 km.

Ketika tiba di rumah sekitar setengah dua belas, mereka berdua sudah kelelahan. Motornya diparkir di halaman depan.

“Dok… kita istirahat aja dulu ya. Urusan kelelawar kita lanjutkan besok. Tinggal menjualnya ke pasar.”

“Ya…. aku juga lelah ini. Oke sampai besok ya, aku pulang dulu.”

“Baik. Hati-hati ya!!”

“Untuk ke pasar besok, pakai saja motorku ya. Urusan motormu itu, kita bawa ke bengkel sorenya setelah istirahat dari pasar,” kata Didok.

Singkat cerita, Didok pulang dengan berjalan kaki. Biasanya sih diantar oleh Budi. Tapi karena kedua ban motornya kempes, ya apa boleh buat harus mendarat dia.

***********

Keesokan paginya Didok menjemput Budi untuk pergi ke pasar burung untuk menjual kelelawar hasil tangkapannya itu. Sekitar pukul 10 pagi, mereka sudah pulang dan semua hasil tangkapan laku terjual.

“Bud, lumayan hasil tangkapan kita semalam ya. Dan semuanya ludes terjual. Selanjutnya, kita pikirkan untuk mencari TKP baru. O, ya aku hampir lupa. Semalam aku bermimpi yang menyeramkan sekali,” kata Didok kepada Budi sambil minum kopi di teras depan rumahnya.”

“Seram apaan. Kamu ini aneh-aneh saja. Kemarin dengar suara-suara di dalam gua. Kini ada lagi mimpi aneh.”

“Gini, aku didatangi oleh dua orang berbadan kekar, hitam dan tangannya berbulu. Itu lho, kayak orang hutan. Mereka mengancamku. Katanya sih tidak boleh mencari kelelawar di situ.”

“Waah…aku juga bermimpi begitu. Berarti mimpi kita sama ini. Dia minta tumbal kan atau ganti rugi atas apa yang kita ambil kemarin tanpa izin itu. Kelelawar-kelelawar di dalam gua itu katanya adalah rakyatnya. Nah, tumbalnya mereka minta dua ekor binatang berkaki empat.”

“Persis Bud. Berarti kita harus mengganti kelelawar-kelelawar itu dan katanya kita diberi waktu 3 hari. Kalau tidak kita akan digantung di dalam gua itu. Nah, ini yang lebih mengerikan.”

“Kalau yang ini aku tidak mau main-main. Ini serius Dok. Masak mimpi bisa samaan gini!!??”

“Gak dapat untung seberapa, kita harus mengorbankan dua ekor kambing. Kamu pake kambingku aja dulu. Kamu kan hanya punya sapi. Bayarannya nanti aja, yang penting nyawa kita selamat dulu.”

“Ihh…. kamu pelit, perhitungan banget. Memang sih… ini urusan nyawa. Kalau aku nggak mau…. berarti hidupku dalam bahaya ini!!”

“Kalau begini situasinya, ya…tidak ada pilihan lagi. Ya…harus mau!!”

“Oke… kita sepakat ya…. dua ekor kambing!!”

“Sepakat!! O ya, selama ini kan kita berburu selalu minta izin di tempat kita berburu. Kenapa yang kemaring tidak ya? Pantesan kamu mengalami hal-hal aneh secara berturut-turut di dalam gua itu.”

“Ya…. Kita nggak ngeh. Padahal sudah ada peringatan seperti itu. Tapi kita tancap gas terus karena banyak ada kelelawarnya.”

“Ini harus menjadi pembelajaran penting bagi kita. Jangan hanya peduli pada kepentingan kita. Alam sana serta penghuningya harus juga kita perhitungkan, siapa tahu itu punya mereka. Kalau diambil tanpa permisi, ya jelas mereka marah.”

“Mungkin kalau menangkap yang liar di kebun tak masalah. Kan selama ini sudah sering kita lakukan seperti itu.”

“Yaah…kita sama-sama belajar agar musibah ini tidak terulang lagi.”

“Siiip!”

Demikianlah, mereka jadinya belajar dari pengalaman tersebut agar senantiasa berhati-hati dan permisi kepada penunggu atau komunitas alam lain dimana berburu. (*)

Related posts