SEBUAH pohon beringin yang besar dan rimbun bertumbuh di dekat sungai, di desa terpencil yang terletak di pinggir hutan lindung. Sementara itu, di desa tetangga yang tak jauh dari pohon itu, hiduplah tiga pemuda yang suka berburu burung pada malam hari. Tiga sekawan tersebut adalah Made, Nyoman, dan Ketut. Mereka bertiga punya hobi berburu dengan menembak, menjaring atau memasang jebakan atau getah dan lain-lain.
Pada suatu kesempatan, mereka mendengar kabar tentang kawanan burung kunan yang biasa bermalam di sebuah pohon beringin besar yang menjulang setinggi sekitar 20 meter, dengan batang yang begitu besar sekira tiga pelukan orang dewasa.
Mereka bersepakat untuk berburu di pohon itu menjelang bulan purnama. Mereka bertiga pun bersiap-siap dengan peralatan yang dibutuhkan, termasuk lampu senter yang dipasang di kepala. Mereka berbagi tugas: Made akan menyasar cabang di bagian utara, Nyoman di bagian timur, dan Ketut di bagian barat. Seperti harapan mereka, memang burungnya cukup banyak tidur di sana. Perburuan berjalan lancar.
Ketut turun pertama untuk memungut burung yang berhasil ditembak. Dengan lampu sorot untuk menerangi, ia berhasil menembak sekitar 10 ekor burung kunan. Saat ia memungut burung-burung tersebut, Made yang masih di atas pohon mendengar Ketut bercakap-cakap dengan seseorang. Suaranya terdengar akrab, tetapi percakapan itu terasa aneh.
“Apakah kamu tidak takut berburu atau menembak burung malam hari di tempat angker seperti ini?” tanya suara itu.
Tanpa menoleh, Ketut menjawab dengan tenang, “Tidak lah, karena saya tidak berniat jahat, Cuma mencari burung sekadar untuk dimakan.”
Made mendengar percakapan itu dengan jelas, tetapi tidak melihat siapa pun di dekat Ketut. Perasaannya mulai tak enak, karena ia tak meliha siapa-siapa selain Ketut.
Setelah itu, Nyoman yang turun untuk mengambil burung hasil menembaknya. Ketika Nyoman berada di bawah, ia tak melihat apa-apa selain mendengar suara seperti orang berburu menuju pohon di mana ia berada.
Sementara Made, yang turun terakhir cuma berhasil menembak 4 ekor burung karena banyak tembakannya meleset. Namun, ketika balik naik ke atas pohon, ia sempat menoleh ke belakang dimana ada pemandangan penerangan lampu jalan yang berjejer. Tadinya, ia tidak ada melewati desa itu, hanya hamparan perkebunan lebat milik warga, dan tidak ada warga yang tinggal di daerah itu.
Ketika beristirahat bersama di sebuah cabang besar di atas pohon sambil menikmati camilan, mereka saling bertanya tentang apa yang mereka alami di bawah. Ketiganya terdiam sejenak, menyadari bahwa Ketut tidak melihat orang yang diajaknya bicara tadi, bulu kuduknya mulai merinding. Perasaan takut mulai menghantui mereka.
“Bisa jadi itu si penunggu pohon ini!” kata Made dengan suara gemetar
“Apa begitu ya?” tanya Ketut.
Tanpa banyak kata lagi, mereka segera bergegas turun. Entah dari mana datangnya, rasa takut itu semakin menjadi-jadi.
Mereka pun meninggalkan tempat itu dengan sepeda motor mereka, pulang ke rumah dengan perasaan takut, tidak seperti biasanya. Entah berapa mereka mendapat burung buruan malam itu, tak peduli. Tiba-tiba saja ingin meluncur pulang.
Nah, anehnya lagi mereka tak berani pulang ke rumah masing-masing. Ketut dan Nyoman menginap di rumah Made. Keesokan harinya, Ketut mengatakan bahwa ia bermimpi dicari orang hitam, bertubuh besar dan kekar dan wajah seram. Ternyata, Nyoman dan Made juga bermimpi tentang hal yang sama. Menyadari mengalami mimpi menyeramkan dan sama, apalagi ada banyak peristiwa aneh malam sebelumnya saat berburu, ia pun bermaksud menanyakan hal itu kepada seorang dukun atau orang pintar.
Sang dukun mengatakan bahwa Ketut dan kawan-kawan itu telah dimarahi oleh para penghuni pohon besar itu karena berani berburu di tempatnya dan mengambil miliknya tanpa izin. Sebagai gantinya, penghuni pohon itu mendatangi mereka lewat mimpi untuk meminta tebusan berupa sesajen sebagai sarana minta maaf di sebuah kuil di tempat dekat pohon itu.
“Bapak Made, Nyoman dan Ketut, mereka itu mendatangi Bapak sekalian artinya mereka itu marah dan minta sesajen sebagai sarana permohonan maaf,” kata meidum itu.
“Baiklah, Pak! Kami sanggup untuk itu, yang penting kami merasa tenang dan sudah selamat dari hal mengerikan ini,” kata Ketut.
“Ya… saya dan Made juga setuju,” tambah Nyoman.
“O ya, satu lagi, nanti sekalian dah mencari pemangku (pendeta) kuil itu untuk menghaturkan sesajen permohonan maaf di kuil itu,” kata dukun itu.
Atas petunjuk sang dukun, mereka bertiga mencari rumah pemangku atau pendeta kuil. Di sana mereka diberitahu bahwa di kawasan itu dilarang berburu atau menembak burung karena desa adat itu melindungi semua burung dan hewan-hewan langka. Papan larangan seperti itu dipasang di batas desa dan dekat kuil itu. Mereka diberitahu oleh pemangku hal itu bahwa perbuatan berburu atau menembak burung itu melanggar aturan adat, dimana si pelanggar akan dikenakan denda satu kwintal beras.
“Ya…apa boleh buat, ini sudah terjadi. Kami tidak akan mengulanginya lagi. Kami memang tidak tahu tentang larangan itu, mungkin papan pengumuman itu tadinya kami lewati. Ini akan menjadi pelajaran yang berharga bagi kami,” kata Ketut.
“Betul Nak, denda itu diterapkan untuk menjaga kelestarian burung atau alam di sini. Apalagi ini termasuk kawasan desa wisata yang kebetulan berbatasan dengan hutan lindung,” kata si pemangku.
“Apa hubungannya dengan para penghuni pohon yang berbadan kekar seperti yang datan lewat mimpi kami itu Pak?” tanya Made.
“Itu ada kaitannya. Mereka adalah mahluk gaib penghuni kawasan ini termasuk pohon besar itu. Saat kami memberlakukan larangan itu, sesuai keparcayaan di sini, kami juga sempaikan kepada komunitas ‘mahluk gaib’ di sini agar mereka juga turut menjaga kelestarian lingkungan ini. Ketika mereka mendatangi kalian lewat mimpi, itu artinya mereka sudah menjalankan apa yang kami minta, yaitu pelestarian alam. Saat kami tidur atau tidak ada warga kami yang melihat si pelanggar, merekalah yang melakukan pengawasannya.”
“Oooh…begitu ya Pak.”
Akhirnya, mereka merasa lega setelah memohon maaf di kuil itu dan juga membayar denda atas pelanggaran terhadap larangan menembak burung di kawasan itu. Mereka pun mengerti bahwa harga yang harus mereka bayar jauh lebih mahal daripada nilai kelezatan burung itu. Yang mahal itu adalah kelestarian itu sendiri karena ia akan dinikmati oleh semua generasi berikutnya. (*)