- SEHARI setelah purnama pengunjung ke Warung Taman Carik milik Rishi itu masih ramai sehingga baru bisa tutup agak malam
- Nah saat pulang, Rishi dibuntuti seekor kambing ‘jadi-jadian’ yang membuatnya takut
Saat malam menunjukkan sekitar pukul 10:15, Rishi (19), seorang gadis belia pemilik warung taman tengah sawah, baru bisa pulang bersama ibunya karena pengunjung cukup ramai. Maklumlah, sehari setelah purnama, bulam masih cukup terang sehingga banyak dari mereka yang ingin menghabiskan waktu lebih lama setelah menyaksikan pemandangan matahari tenggelam.
Jarak ke rumahnya yang kira-kira 500 meter dari warung membuat mereka cukup berjalan kaki, jadi tidak pernah naik sepeda motor. Pada hari-hari biasanya, pukul 08:00 malam warungnya sudah tutup karena semua pengunjung sudah pulang.
Mulanya Rishi berjalan santai sambil sesekali melihat telpon pintarnya. Namun udara di hamparan persawahan yang dingin malam itu tidak seperti biasanya. Mengapa? Ia menangkap ada aura lain yang membuat bulu kuduknya berdiri. Tapi ia tidak berani mengatakan kepada ibunya.
Lama-kelamaan ia tidak menjadi semakin takut. Dia memasukkan hape-nya ke dalam saku, lalu memegang tangan ibunya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Begitu menengok ke belakang, eeh dia melihat sesuatu.
“Bu, tengoklah ke belakang. Kok, sepertinya ada kambing membuntuti kita. Siapa punya kambing yang dilepas malam-malam begini?” tanya Rishi kepada ibunya.
“Ahhh… mana ada kambing keluar malam-malam. Paling jam 6 sore kambing sudah pada tidur…. atau rebahan,” jawab ibunya tanpa menengok.
“Sungguh Bu…. Masak aku salah lihat!!” tegas Rishi sambil meyakinkan kembali ibunya dengan menarik tangan ibunya.
“Ohh…itu… Si Ketut… jangan ikuti kami. Cepat menjauh dan pulang kamu sana,” kata sang ibu enteng sambil menghalau kambing itu agar mau menjauh, rupanya ia keceplosan bicara.
“Sss…sebentar Bu, masak ada kambing namanya Si Ketut,” tanya Rishi kepada ibunya penuh penasaran.
“Ya…terserah ibu, mau bilang Si Ketut atau Si Made kek, yang penting dia mau pergi dan tidak membuntuti kita lagi. Selesai urusan.”
“Tapi… Bu…”
“Aaah… sudah. Mari kita pulang saja. Ini sudah larut malam.”
**********
Rasa penasaran Rishi tentang kambing yang dilihatnya semalam terus bergelayut di benaknya. Ia menebak-nebak, pasti ada hubungan khusus antara ibunya dan sang kambing itu. Ia melihat kambing itu begitu menurut seperti antara majikan dan ternaknya. Ya….pokoknya gitulah.
Setiap ada kesempatan, Rishi selalu berusaha menanyakan apakah sebenarnya memang ada hubungan antara ibunya dan kambing itu. Sepertinya mereka berdua sudah saling mengenal. Sayangnya, sang ibu selalu menghindar setiap kali ditanyai tentang masalah itu.
Selain itu, masih ada beberapa kisah mistis lainnya yang dia alami bersama ibunya seperti dihadang gulungan api atau celuluk namun saat ditanyakan, ibunya selalu mengelak. Tentu saja hal ini mengganjal di pikirannya.
Nah, pada suatu ketika, ibunya memanggil Rishi. Rupanya, ada hal amat penting yang ingin disampaikan kepada dirinya.
**********
“Begini, Nak. Kamu pasti masih penasaran, ya… Kambing ‘jadi-jadian’ tempo hari itu adalah tetangga kita. Jadi ibu yang bikinkan dia ‘perkakas’ berupa sabuk sehingga ibu tahu persis siapa pun yang memakai hasil karya ibu itu, ha ha ….,” kata ibunya.
“Masak ibu bikin yang kayak gitu, khan jualan di warung tengah sawah bersama Rishi?”
“Yaa. Ibu memang jualan sama kamu. Membuat perkakas seperti itu kan tidak sulit dan tidak perlu meninggalkan aktivitas utama ibu. Tentu ibu mencarikan waktu yang baik untuk membuatnya.”
“Aku masih gak percaya, Bu. Bagaimana mungkin ibu bisa membikin yang kayak gituan?” tanya Rishi dengan penuh rasa penasaran.
“Begini Rhisi, ibu memang jualan di situ. Tapi untuk membuat sabuk seperti ini, ibu dulu pernah diajari oleh mendiang kakekmu. Beliau memiliki lontar tentang prihal itu. Nah, ibu kan bersaudara empat dan semuanya perempuan. Kakek ingin agar di antara kami ada yang akan mewarisi talenta kakek tersebut. Dan ibulah yang ditunjuk oleh kakekmu.”
“Ohh, pantesan…ibu tahu siapa kambing jadi-jadian itu. Sudah berapa banyak ibu membuat sabuk seperti itu hingga saat ini?”
“Tidak tahu persis. Mungkin sudah belasan buah ya… Ibu tidak ingat. Ibu jualan sekarang ini juga pakai penglaris dan diaktifkan oleh perkakas itu. Ibu yang bikin dan jual, masak tidak mencobanya terlebih dulu. Oh ya, ngomong-ngomong, bila di antara kamu nanti ada yang memang tertarik, ibu siap kok mengajarinya.”
“Sejauh ini aku sih tidak tertarik, Bu.”
“Barangkali saja kedua kakakmu ada yang tertarik. Jadi kamu silakan berunding dulu ya, siapa tahu di antara kalian nanti yang akan berminat melanjutkan tradisi ini.”
“Terus terang Bu, aku sih tidak tertarik atau kepikiran dengan yang namanya urusan mistis. Aku tidak berani. Entahlah dengan kedua kakakku. Apa mungkin ada yang berminat.”
“Yaaaa…. Ibu serahkan semuanya kepada kalian bertiga. Nanti kalau kalian sudah siap, silakan bilang kepada ibu, ya. Kamu pikirkan masak-masak, ini tidak mendesak.”
“Baiklah Bu.”
*************
Kira-kira setahun berikutnya Rishi bersama saudara-saudaranya, dua kakak perempuan yang sudah menikah, siap mengambil keputusan bahwa tak satupun di antara mereka yang berminat untuk melanjutkan ‘profesi’ ibunya tersebut.
“Terima kasih anak-anakku tercinta semua, kalian sudah bisa berkumpul seperti yang ibu harapkan. Ibu sudah siap untuk mendengarkan apapaun keputusan kalian, ibu tidak akan pernah memaksa kalian.”
“Maaf…. yaa Bu, dengan tidak mengurangi rasa hormatku kepada Ibu, aku tidak tertarik menekuni apa yang Ibu lakukan dari dulu hingga kini, khususnya yang terkait dengan dunia mistis,” kata Sari.
“Bu, aku juga demikian, tidak berminat sama sekali seperti kakak. Akut takut sama dunia mistis,” kata Risa.
“Tidak apa-apa. Kalau memang di antara kalian tidak ada yang berminat. Seperti pesan almarhum kakekmu, bila tidak diperlukan lagi, semua lontar terkait masalah ini akan ibu bakar sebab kalau jatuh ke tangan yang salah, ini bisa berdampak buruk atau berbahaya.”
“Sekali lagi, ibu ucapkan terima kasih kepada kalian semua karena sudah mau berkata jujur. Yang penting, Ibu sudah menyampaikan pesan kakek kalian. Nantinya, ibu tidak akan disalahkan karena tidak menyampaikan pesan ini atau melestarikan idealisme kakek untuk menurunkan ilmu tradisional ini.”
“Apa yang ibu akan lakukan terhadap lontar-lontar itu?” tanya Rishi.
“Karena tidak ada yang akan mewarisi, seperti amanat kakek kalian, semua harus dibakar atau dimusnahkan. Mengapa? Ini seperti ilmu rahasia atau dokumen penting yang bersifat rahasia. Bila jatuh ke tangan yang salah akan berbahaya.
“Maksudnya, semua lontar kakek itu dimusnahkan atau dibakar ya Bu?”
“Ya, betul. Nanti kita bakar semuanya lalu arangnya kita larung ke laut. Yang terpenting dari semuanya hari ini, ibu ingin pamitan dari kalian semua.”
“Pamitan, apa maskudnya ini Bu?”
“Ibu akan meninggalkan kalian semuanya untuk selama-lamanya karena umur ibu di dunia ini sudah habis. Ini perjanjian niskala. Mohon diikhlaskan dan doa kalian semua ibu sangat harapkan.”
**********
Seperti petunjuk ibunya, semua lontar itupun dibakar pada hari baik yang ditentukan. Setelah itu, abunya dilarung ke laut oleh Rishi bersama kedua kakaknya. Semuanya dilakukan dengan sungguh-sungguh dimana ritualnya dipandu oleh sang Ibu. Prosesinya berjalan lancar dan tidak ada yang kurang.
***********
Beberapa hari kemudian, sang ibu kembali memanggil anak-anaknya untuk berkumpul.
“Apa yang harus kami lakukan setelah ini?” tanya Risha kepada ibunya.
“Biarkan ibu mandi dulu, kemudian bersolek sedikit agar ibu kelihatan cantik. Jangan lupa untuk melakukan kremasi untuk ibu nantinya. Kalian anak-anak ibu yang tegar, jangan menangisi kepergian ibu.”
“Mengapa Ibu meninggalkan kami begitu cepat. Apakah tidak bisa ditunda lagi ya Bu?” pinta Rishi.
“Tidak, Nak. Ibu juga sudah menyiapkan segala sesuatunya sejak 10 tahun lalu saat Bapak kalian masih ada. Ibu kan sudah ceritakan semua kisah perjalanan Ibu dan semua rencananya. Dan inilah akhir dari semua itu.”
Sang ibu lalu mandi dan berhias seperti layaknya akan bepergian untuk berwisata religi dengan pakaian sembahyang serba putih. Penampilannya bersih, rapi dan anggun.
“Nak Risa, tolong panggil semua anggota keluarga kita yang lain agar bisa berkumpul di sini. Ibu mau bicara sebentar ya.”
“Baik, Bu.”
Semua anggota keluarga di panggil ke bale dangin—balai di sebelah timur–agar bisa berkumpul di sana. Tempat sudah disiapkan dengan baik. Tikar pandan digelar di lantai. Singkat cerita, mereka semua sudah berkumpul. Ibu duduk di tempat tidur sebelah kanan.
“Saudara-saudaraku, anak-anakku dan cucuku semua, aku, ibu dan nenek mau menyampaikan sesuatu yang penting. Pada hari yang baik dan berbahagia ini aku akan berpamitan untuk mengawali perjalanan yang baru. Mohon doa dan keikhlasan kalian melepas diriku. Jangan ada yang menangis atau bersedih karena aku pergi dengan bahagia tidak ada kesedihan atau kekurangan sedikitpun. Mohon maaf bila ada yang salah selama bersama kalian semua ya,” demikian pesan terakhir sang ibu sesaat sebelum merebahkan diri di tempat tidur.
Setelah berpamitan tersebut, ibu langsung menutup mata dan menghembuskan nafas terakhir. Semua anggota keluarga mendekat dan menyiapkan prosesi selanjutnya sesuai pesan mendiang ibunda mereka.
Semua keluarga sudah siap melepas kepergian sang ibu karena sudah disiapkan sedemikian rupa sejak sepuluh tahun sebelumnya. Demikianlah akhir kehidupan sang ibu untuk mengawali langkah perjalanan kehidupan sesudah kematiannya. Selain belajar mistis dari ayahnya, ia juga mendalami spiritualitas bersama para sahabatnya. (*)