Ternyata Dia Bukan Manusia, Lalu Apa?

Mobil tersesat
Ilustrasi mobil tersesat di atas hamparan pasir lahar. (Ilustrasi: Pixabay)
banner 468x60

SUASANA malam itu sangat mencekam dan memang gelap sekali dalam perjalanan menghadiri undangan pernikahan seorang sahabat. Kami sempat bertemu dan bertanya kepada sosok ‘manusia aneh.’ Tengah malam itu hanya tampak sedikit bintang di langit. Pandangan kami sungguh terbatas. Satu-satunya sumber cahaya bantuan adalah senter dari hape saat tersesat di atas bukit misterius. Ya, kami tersesat pada dataran tinggi, di atas hamparan  pasir bekas lahar pasca letusan gunung berapi yang terakhir.

****

Beberapa waktu yang lalu, kami berempat pergi menghadiri undangan ke acara pernikahan seorang sahabat kami di luar pulau. Tepatnya di sebuah desa terpencil yang dikelilingi perbukitan. Kami berangkat pukul 10 pagi, dengan harapan sekitar pukul 8 malam kami sudah tiba di lokasi acara. Kendaraan dibawa oleh Pak Gede.

Setelah mengemudi selama hampir sebelas jam dan menyeberang, Pak Gede menyadari bahwa panduan rute yang diberikan peta digital tidak sepenuhnya akurat. Jalan yang harusnya membawa kami ke lokasi acara tampaknya semakin sulit dilalui, di kawasan hutan lagi, Tanda-tanda di persimpangan jalan pun tidak bisa ditemukan.  mencekam.

Kami sempat bertanya kepada seseorang di pinggir jalan yang berdiri di dekat pohon mangga, kalau tidak salah. Saat diperhatikan wajahnya kelihatan pucat pasi. Kami tak ragu untuk bertanya siapa tahu dia bisa memberi sedikit informasi yang bisa membantu.

“Malam Pak, maaf kami mau numpang tanya, di sebelah mana ya lokasi Desa Waruga, kami mau ke sana untuk menghadiri undangan sahabat kami?”

Mendengar pertanyaan kami itu, orang tersebut hanya diam membisu atau mematung. Hanya memandang kami dengan tatapan kosong, wajahnya hanya sekilas terlihat disinari efek cahaya kendaraan kami.

Karena tidak menyahut, kami mengartikan bahwa dia memberi petunjuk ke arah yang sama yang kami tuju saat itu. Perjalanan kami pun berlanjut.

Sekilas, dengan bantuan sorotan lampu kendaraan yang samar-samar menyinari reruntuhan rumah-rumah yang terabaikan. Langit gelap dipenuhi awan, dan hanya suara angin malam yang berdesir ketika melintasi jalan sulit di antara puing-puing itu. Pak Gede merasa ketakutan, tetapi kami terus memberi semangat untuk membesarkan hatinya dan terus melaju dengan hati-hati serta mencoba mencari jejak jalan yang benar.

Tiba-tiba, di tengah jalan yang penuh dengan reruntuhan bangunan, Pak Gede melihat sosok bayangan seorang pria tua. Dengan langkah-langkah ragu, Pak Gede mendekati orang itu dan meminta petunjuk. Namun, saat ia tiba di depan pria tersebut, Pak Gede merasa kedinginan melihat bahwa pria itu sudah mati. Ya, wajahnya mirip wajah orang tua yang dijumpai sebelumnya. Wajahnya yang pucat dengan tatapan mata yang kosong menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang sudah lama hilang.

Pak Gede terkejut dan berusaha menjauh, tak disangka-sangka pria itu pun tiba-tiba berbicara,

“Kamu tersesat di dunia yang berbeda, pemuda. Jalan yang benar bukan selalu yang terlihat di depanmu.” Suaranya serak dan menyeramkan, dan segera setelah berbicara, pria itu kembali terdiam tanpa ekspresi.

Dengan hati berdebar, Pak Gede kembali kedalam kendaraan dan melanjutkan perjalanan ke arah lain, mencoba mengikuti nasihat yang aneh dari ‘manusia’ yang sudah tiada itu. Setiap langkah yang diambilnya seperti membawanya lebih dalam lagi ke dalam labirin reruntuhan. Desa tersebut, meskipun rata dengan tanah, terasa masih hidup dengan kehadiran yang tak terlihat. Mungkin saja di sana ada banyak korban tertimbun saat bencana letusan itu terjadi sehingga roh mereka gentayangan.

Akhirnya kami sampai di dataran tinggi dengan hamparan pasirnya. Sepertinya ada jurang di sekelilingnya. Kami bertiga turun melihat keadaan di sekitarnya, sementara Pak Gede masih di dalam kendaraan.

“Awas Pak Gede….!! Jangan bergerak maju, ini tampaknya hamparan pasir bekas lahar. Nanti bisa terperosok ke bawah situ,” saran seorang sahabat.

“Kalau begitu, tolong periksa di sekitar ini. Apa kita aman untuk mundur. Kalau ya, tolong atur ada yang menarik dan mendorong. Aku coba mundurkan pelan,” pinta Pak Gede,

Dengan bantuan senter di hape masing-masing, kami memeriksa keadaan permukaan di sekitar kami.

Akhirnya kami bisa bergerak meninggalkan tempat itu setelah melalui perjuangan berat dan keras. Baru kami merasa lega. Namun setelah measa perjalanan sudah menjauh sekitar 20 km, kami justeru kembali tiba di tempat nyasar sebelumnya,

Pak Gede merasakan kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata yang mengelilinginya, dan suara-suara aneh mulai memenuhi udara. Bisa jadi kejadian kembalinya ke lokasi yang tadi adalah ulah para ‘roh’ di kawasan itu. Tak ada pilihan lain, Pak Gede memutuskan untuk berhenti sejenak sembari berharap bisa menemukan jalan keluar dari kawasan desa misterius ini.

Untuk menenangkan diri, kami memutuskan untuk berdoa bersama sejenak terlebih dahulu agar bisa menemukan petunjuk jalan keluar dari tempat tersebut. Setelah itu, kami menyeruput perbekalan kopi instan botolan di kendaraan sembari menenangkan diri.

Nah, beberapa lama kemudian perjalanan selanjutnya pun dimulai. Pikiran sudah agak lebih tenang. Pak Gede mengemudi dengan lebih tenang, sementara kami bertiga mengawasi ke sekelilingnya.

“Pak Gede, itu di depan kita tampak ada dinding senderan bekas jembatan. Coba kendaraannya lebih pelan agar bentuk badan jalan lebih mudah terlihat, agar nantinya kita tidak terperosok kedalam parit yang ditutupi pasir lahar,” kataku menasehati Pak Gede.

Akhirnya, setelah tersesat dan menempuh perjalanan sulit dan berliku, kami sampai juga di tempat acara pagi itu. Bahkan kami menjadi tamu pertama pada hari kedua acara itu. Sahabat kami yang berbahagia itu begitu perihatin mendengar penuturan kami yang sempat tersesat di kawasan bencana. Ternyata, katanya, ada juga beberapa undangan lain yang mengalami nasib serupa sebelumnya.

Menjelang tengah hari, kami berempat sudah pamitan dan mencari hotel murah untuk mandi dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalaan pulang. (*)

banner 300x250

Related posts