5 Kisah Romantisme dalam Sastra Klasik Legendaris

bidadari dan pemburu
Ilustrasi bidadari yang sedang bermain di kolam tengah hutan dan seorang pemburu. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

PULAU Dewata menawarkan pengalaman unik, yang menggabungkan keindahan alam, kekayaan budaya, dan sentuhan kreativitas kekinian. Dari makan malam romantis di tepi pantai hingga eksplorasi budaya yang mendalam, Bali menjadi destinasi impian bagi pasangan yang ingin merayakan cinta dengan cara yang istimewa seperti perayaan Hari Valentine.

Romantisme serupa juga dapat ditemukan dalam beberapa karya seni pertunjukan tradisional atau sastra klasik legendaris yang sering disajikan dalam geguritan, pertujukan sendratari, drama gong atau arja.

Di Bali, tradisi cinta dan kasih sayang sudah lama tertanam dalam budaya lokal. Upacara pernikahan adat Bali misalnya, mengandung filosofi mendalam tentang keharmonisan dan keseimbangan hidup. Bahkan, dalam sastra klasik Bali, banyak kisah cinta yang menggambarkan kesetiaan dan pengorbanan, seperti cerita Jayaprana dan Layonsari. Perpaduan antara romantisme tradisional dan perayaan modern menjadikan Valentine di Bali begitu unik.

Kisah-Kisah Romantisme Klasik Bali

Beberapa kisah cinta klasik di Bali mencerminkan nilai-nilai kesetiaan dan pengorbanan dalam asmara:

Jayaprana dan Layonsari: Jayaprana dan Layonsari adalah sepasang kekasih dalam legenda tragis dari Bali yang melambangkan cinta sejati yang diuji oleh kekuasaan dan keserakahan.

Jayaprana adalah seorang anak yatim piatu yang diadopsi oleh Raja Kalianget. Ketika tumbuh dewasa, ia menjadi pemuda tampan dan berbudi luhur. Jayaprana kemudian jatuh cinta dan menikahi Layonsari, seorang gadis cantik dari desanya. Cinta mereka begitu dalam dan penuh kasih sayang, mencerminkan hubungan yang harmonis dan tulus.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Sang Raja, yang terpesona oleh kecantikan Layonsari, merancang siasat untuk menyingkirkan Jayaprana. Ia mengutus Jayaprana dalam sebuah misi ke hutan dengan dalih tugas kerajaan, tetapi sebenarnya adalah jebakan untuk membunuhnya. Ketika Jayaprana gugur, Layonsari yang mengetahui pengkhianatan ini memilih mengakhiri hidupnya dengan kesetiaan dan cinta yang abadi.

Perspektif Romantisme Modern

Kesetiaan dan Pengorbanan: Dalam kisah ini, Layonsari tetap setia kepada Jayaprana hingga akhir hayatnya. Dalam konteks modern, nilai kesetiaan masih dianggap sebagai dasar hubungan yang sehat, meskipun kini lebih ditekankan pada komunikasi dan kompromi daripada pengorbanan tragis.

Ketidakadilan dalam Cinta: Kisah ini juga menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat merusak hubungan yang tulus. Di era modern, ini dapat dikaitkan dengan dinamika hubungan yang dipengaruhi oleh tekanan sosial, budaya, atau ekonomi.

Hak untuk Memilih Pasangan: Jayaprana dan Layonsari menghadapi campur tangan pihak lain dalam hubungan mereka. Dalam dunia modern, kebebasan memilih pasangan menjadi hak fundamental, meskipun di beberapa budaya masih ada tekanan untuk mengikuti norma tradisional.

Cinta yang Tidak Bersyarat vs. Cinta yang Sehat: Kisah ini menggambarkan cinta yang rela berkorban hingga kematian. Dalam perspektif romantisme modern, cinta yang sehat lebih menekankan keseimbangan antara komitmen, kebahagiaan pribadi, dan tidak selalu menuntut pengorbanan ekstrem.

Relevansi dalam Sastra dan Film

Kisah seperti Jayaprana-Layonsari sering diadaptasi dalam film atau novel romantis dengan tema cinta yang diuji oleh konflik sosial dan politik, mirip dengan Romeo dan Juliet atau kisah cinta lain yang tragis namun abadi.

Kisah Jayaprana dan Layonsari tetap menjadi simbol cinta yang suci, meskipun dalam perspektif modern, konsep cinta telah berevolusi menjadi lebih realistis. Nilai kesetiaan, perjuangan, dan ketulusan tetap penting, tetapi cinta yang sehat kini lebih menekankan keseimbangan emosional, komunikasi, dan kebahagiaan kedua belah pihak.

—-

Sam Pek Ing Tai: Kisah Sam Pek Eng Tay (juga dikenal sebagai Butterfly Lovers) adalah legenda asmara klasik yang berasal dari Tiongkok, tetapi juga dikenal dan diceritakan di berbagai budaya, termasuk di Bali, dengan pengaruh perantauan Tionghoa. Kisah ini sering disebut sebagai Romeo dan Juliet versi Asia karena memiliki unsur cinta tragis yang mendalam.

Eng Tay adalah seorang gadis cerdas yang ingin belajar, tetapi pada masanya perempuan tidak diperbolehkan menempuh pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan impiannya, ia menyamar sebagai laki-laki dan masuk ke sekolah. Di sana, ia bertemu dengan Sam Pek, seorang pemuda yang berbudi luhur. Mereka menjadi sahabat dekat, dan dalam kebersamaan mereka, Eng Tay diam-diam jatuh cinta pada Sam Pek.

Namun, karena Sam Pek tidak mengetahui bahwa Eng Tay adalah perempuan, ia hanya menganggap hubungan mereka sebagai persahabatan. Ketika akhirnya Eng Tay pulang ke rumah, ia secara tersirat mencoba memberi tahu Sam Pek tentang identitas aslinya dan harapannya untuk menikah. Sayangnya, saat Sam Pek menyadari perasaannya dan ingin melamar, Eng Tay sudah dijodohkan dengan pria lain oleh keluarganya.

Sam Pek yang patah hati jatuh sakit dan meninggal. Ketika Eng Tay hendak menikah, makam Sam Pek secara ajaib terbuka, dan Eng Tay memilih melompat ke dalamnya. Legenda mengatakan bahwa mereka kemudian berubah menjadi sepasang kupu-kupu yang terbang bersama selamanya.

Perspektif Romantisme Modern

Cinta yang Berjuang Melawan Tradisi: Eng Tay harus menyamar sebagai laki-laki untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan, menunjukkan bahwa zaman dahulu perempuan memiliki keterbatasan dalam memilih jalannya sendiri. Dalam konteks modern, kisah ini mencerminkan perjuangan kesetaraan gender dalam cinta dan karier, di mana perempuan kini memiliki lebih banyak kebebasan dalam menentukan masa depannya.

Friendzone dan Kesadaran dalam Hubungan: Sam Pek yang tidak menyadari perasaan Eng Tay selama mereka bersama dapat dikaitkan dengan konsep friendzone dalam hubungan modern. Banyak hubungan saat ini berkembang dari pertemanan, tetapi komunikasi yang terbuka lebih banyak ditekankan untuk menghindari kesalahpahaman.

Perjodohan vs. Kebebasan Memilih Pasangan: Dalam kisah ini, Eng Tay terpaksa menikah dengan pria pilihan keluarganya. Dalam konteks modern, meskipun perjodohan masih ada di beberapa budaya, banyak pasangan kini memiliki kebebasan penuh untuk memilih dengan siapa mereka ingin hidup.

Cinta yang Tragis dan Melampaui Kematian: Kisah ini menekankan cinta yang abadi bahkan setelah kematian, yang sering menjadi tema dalam sastra dan film modern. Namun, dalam perspektif psikologis modern, cinta yang sehat adalah yang tidak harus berakhir dengan pengorbanan ekstrem, melainkan yang memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kedua pihak.

Relevansi dalam Budaya Populer: Kisah ini telah banyak diadaptasi dalam opera Tiongkok, film, dan novel, yang mencerminkan bahwa tema cinta yang diuji oleh keadaan masih menarik perhatian audiens global. Romantisme serupa juga terlihat dalam film-film seperti Titanic atau A Walk to Remember, di mana cinta yang tulus tetap abadi meskipun ada rintangan yang tak terhindarkan.

Jadi, kisah Sam Pek Eng Tay tetap relevan dalam berbagai aspek romantisme modern, dari perjuangan melawan norma sosial hingga bagaimana hubungan bisa berkembang dari pertemanan. Namun, dalam konteks cinta yang sehat, kisah ini juga menunjukkan bahwa pengorbanan dalam cinta tidak harus berarti kehilangan diri sendiri atau kehidupan, melainkan bagaimana komunikasi dan keberanian untuk memperjuangkan cinta bisa mengubah takdir hubungan.

—–

Cupak Grantang: Kisah Cupak dan Grantang berasal dari tradisi sastra lisan Bali dan Jawa, yang menggambarkan dua saudara dengan karakter yang sangat bertolak belakang. Cupak adalah kakak yang serakah, pemalas, dan penuh tipu muslihat, sementara Grantang adalah adik yang jujur, rajin, dan penuh kasih sayang.

Suatu hari, raja di kerajaan mereka mengadakan sayembara untuk menyelamatkan putri kerajaan yang diculik oleh raksasa. Cupak dan Grantang ikut serta dalam sayembara ini. Dalam perjalanan, Grantang menunjukkan keberanian dan kesetiaan, sementara Cupak hanya berusaha memanfaatkan keadaan demi keuntungan pribadi.

Grantang berhasil mengalahkan raksasa dan menyelamatkan sang putri, tetapi Cupak, dengan kelicikannya, mengkhianati Grantang dan mengklaim bahwa dialah yang berjasa. Namun, kebenaran akhirnya terungkap, dan Grantang diakui sebagai pahlawan. Sang putri pun jatuh cinta pada Grantang karena ketulusan dan keberaniannya.

Perspektif Romantisme Modern

Perbedaan Karakter dalam Cinta: Dalam kisah ini, Cupak melambangkan pasangan yang manipulatif dan egois, sementara Grantang mencerminkan pasangan yang setia dan penuh pengorbanan. Dalam konteks modern, hubungan yang sehat adalah yang didasarkan pada kejujuran dan saling mendukung, bukan manipulasi dan kepentingan pribadi.

Pentingnya Kejujuran dalam Hubungan: Cupak mencoba mendapatkan cinta melalui kebohongan dan tipu daya, sementara Grantang dengan keberanian dan ketulusan. Dalam romantisme modern, kejujuran menjadi salah satu pilar penting dalam hubungan yang harmonis.

Cinta Berbasis Karakter, Bukan Status atau Kekuasaan: Kisah ini mengajarkan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang status atau keberuntungan, tetapi tentang nilai dan karakter seseorang. Sang putri memilih Grantang karena kebaikan hatinya, bukan karena janji kosong atau kekayaan seperti yang ditawarkan Cupak. Dalam dunia modern, banyak orang juga lebih menekankan kualitas pribadi daripada faktor materi dalam memilih pasangan.

Pengkhianatan dalam Hubungan: Cupak yang mengkhianati Grantang bisa dianalogikan dengan kasus-kasus toxic relationship dalam dunia modern, di mana salah satu pasangan mencoba mengambil keuntungan dari yang lain. Kisah ini mengingatkan bahwa pengkhianatan dalam cinta tidak akan bertahan lama, karena kebenaran pada akhirnya akan terungkap.

Relevansi dalam Budaya Populer: Tema cinta yang diuji oleh kejujuran dan pengkhianatan sering muncul dalam film atau novel romantis. Kisah serupa bisa ditemukan dalam cerita seperti Cinderella, di mana kebaikan hati akhirnya mendapatkan penghargaan, atau dalam drama modern yang menggambarkan kisah cinta antara yang tulus dan yang penuh tipu daya.

Jadi, kisah Cupak dan Grantang memberikan pelajaran berharga dalam perspektif romantisme modern: cinta sejati dibangun atas dasar ketulusan, kejujuran, dan karakter, bukan manipulasi dan kepalsuan. Dalam hubungan yang sehat, pasangan harus saling mendukung dan berbagi kebahagiaan tanpa mencoba menjatuhkan satu sama lain demi keuntungan pribadi.

—–

Geguritan Tamtam: Geguritan Tamtam merupakan salah satu karya sastra Bali klasik yang mengisahkan perjalanan cinta penuh pengorbanan. Kisah ini berpusat pada seorang tokoh bernama Tamtam, seorang pemuda yang memiliki cinta mendalam terhadap kekasihnya, meskipun hubungan mereka dihadang oleh berbagai rintangan sosial dan budaya.

Dalam cerita ini, Tamtam menghadapi berbagai ujian, mulai dari perjodohan paksa yang dilakukan keluarganya hingga tekanan dari masyarakat yang tidak merestui hubungan mereka. Namun, dengan ketulusan hati dan kesetiaan, ia tetap berjuang demi cintanya, bahkan jika harus menghadapi konsekuensi pahit.

Tinjauan Romantisme Modern

Dari perspektif romantisme modern, kisah Tamtam merefleksikan beberapa nilai cinta yang masih relevan hingga kini:

Kesetiaan di Tengah Tantangan–Dalam era digital, hubungan sering kali diuji oleh distraksi media sosial dan jarak. Kisah Tamtam mencerminkan bagaimana kesetiaan tetap menjadi fondasi utama dalam hubungan yang kuat.

Cinta vs. Ekspektasi Sosial–Seperti dalam kisah Tamtam, banyak pasangan modern juga harus menghadapi tantangan dari keluarga atau tekanan sosial yang berusaha mengatur hubungan mereka.

Perjuangan dan Pengorbanan–Kisah ini menggambarkan bahwa cinta sejati tidak datang tanpa pengorbanan, mirip dengan bagaimana pasangan masa kini harus berusaha menjaga hubungan mereka melalui komunikasi dan kompromi.

Kebebasan Memilih Pasangan–Jika dalam geguritan ini cinta sering kali berbenturan dengan sistem perjodohan dan adat, di era modern kebebasan dalam memilih pasangan semakin menjadi hak fundamental yang harus diperjuangkan.

Meski berasal dari masa lalu, Tamtam tetap relevan dalam merefleksikan dinamika hubungan asmara di era sekarang, mengajarkan bahwa cinta sejati selalu membutuhkan kesabaran, perjuangan, dan kesetiaan.

Analisis Nilai Romantisme

Dari kisah-kisah tersebut, ada beberapa nilai romantisme klasik yang masih relevan dengan zaman modern:

Kesetiaan dan Pengorbanan: Dalam era digital saat ini, di mana hubungan bisa rentan terhadap godaan media sosial, nilai kesetiaan tetap menjadi kunci dalam membangun hubungan yang langgeng.

Perjuangan Cinta Melawan Tantangan: Banyak pasangan modern juga menghadapi tantangan dari perbedaan status sosial, budaya, atau bahkan tekanan keluarga, sebagaimana yang terjadi dalam kisah klasik.

Kejujuran dalam Hubungan: Dalam dunia yang dipenuhi informasi dan distraksi, transparansi dan komunikasi tetap menjadi fondasi penting bagi hubungan yang sehat.

—–

Rajapala dan Ken Sulasih: merupakan salah satu legenda asmara klasik dalam tradisi Bali yang mengandung unsur magis dan keajaiban cinta.

Rajapala adalah seorang pemuda pemburu yang hidup di sebuah desa. Suatu hari, ia melihat sekelompok bidadari turun dari kahyangan dan mandi di sebuah telaga. Tergoda oleh kecantikan mereka, Rajapala mencuri salah satu selendang bidadari, sehingga bidadari itu tidak bisa kembali ke kahyangan.

Bidadari itu bernama Ken Sulasih, seorang dewi yang akhirnya terpaksa tinggal di dunia manusia. Rajapala dan Ken Sulasih kemudian menikah dan hidup bahagia serta dikaruniai seorang anak. Namun, suatu hari Ken Sulasih menemukan kembali selendangnya yang tersembunyi. Dengan berat hati, ia kembali ke kahyangan, meninggalkan Rajapala dan anak mereka.

Perspektif Romantisme Modern

Cinta yang Tercipta Karena Keadaan: Rajapala ‘memaksa’ Ken Sulasih untuk tinggal bersamanya dengan cara mencuri selendangnya. Dalam perspektif modern, hubungan yang berawal dari pemaksaan atau manipulasi tidak dianggap sebagai cinta sejati, tetapi lebih sebagai bentuk ketergantungan atau ketidaksetaraan dalam hubungan.

Kebebasan dan Kemandirian dalam Cinta: Ken Sulasih mencerminkan sosok perempuan yang akhirnya memilih untuk kembali ke dunianya sendiri. Dalam konteks modern, ini bisa dikaitkan dengan bagaimana seseorang dalam hubungan tetap harus memiliki kebebasan dan identitasnya sendiri, tanpa harus kehilangan dirinya demi pasangan.

Hubungan yang Diuji oleh Takdir dan Pilihan: Banyak pasangan dalam dunia modern juga menghadapi tantangan serupa, seperti perbedaan latar belakang, budaya, atau kehidupan yang akhirnya memisahkan mereka. Rajapala-Ken Sulasih bisa menjadi simbol dari kisah cinta yang indah namun tidak selalu bisa bertahan.

Peran Laki-Laki dalam Hubungan: Dalam kisah ini, Rajapala berperan sebagai pihak yang mengatur hubungan sejak awal, tetapi kemudian kehilangan orang yang dicintainya. Dalam perspektif modern, hubungan yang sehat seharusnya berdasarkan kesetaraan, di mana kedua pihak memiliki hak untuk memilih dan berkontribusi dalam perjalanan cinta mereka.

Refleksi dalam Budaya Populer: Kisah Rajapala-Ken Sulasih memiliki kemiripan dengan beberapa cerita di budaya populer, seperti The Little Mermaid yang mengorbankan dunianya untuk cinta, atau film seperti Avatar yang menggambarkan kisah cinta antara dua dunia yang berbeda.

Jadi, kisah Rajapala dan Ken Sulasih menggambarkan cinta yang romantis tetapi juga tragis, di mana kebebasan dan nasib memainkan peran penting. Dalam perspektif modern, cinta seharusnya dibangun atas dasar kesepakatan, keseimbangan, dan penghormatan terhadap keinginan masing-masing, bukan karena pemaksaan atau situasi yang mengharuskan seseorang untuk bertahan. (*)

banner 300x250

Related posts