- TEROBSESI bisa terbang di masa kini kedengarannya agak sedikit mustahil di tengah zaman dengan teknologi yang serba maju
- Ketut Doe adalah orang yang berangan-angan seperti itu, namun ia berusaha keras untuk mewujudkannya
Ketut Doe adalah seorang siswa yang menyukai hal-hal ‘aneh’ yang rada berbau mistis. Ketika teman-teman sekolahnya mengadakan kemah di sebuah bukit, gayung pun bersambut. Saat yang sudah lama dinantikan akhirnya pun tiba. “Aku Ingin Terbang Bebas Seperti Burung.”
*****
Sejak kecil Ketut Doe terobsesi ingin bisa terbang seperti yang dituturkan oleh kakeknya. Konon, pada zaman dulu banyak orang punya kemampuan terbang setelah bertapa. Dengan demikian mereka bisa bebas ke mana-mana tanpa ribet bawa motor kapanpun. Yang paling penting, tidak perlu BBM.
Kepada Badu ia berjanji, bila tapanya berhasil, ia akan meneraktirnya beli bakso di tempat favorit selama tiga kali berturut-turut.
*****
Kemah tiga hari dua malam tersebut diisi dengan berbagai kegiatan. Ada pelatihan kepalangmerahan remaja seperti tatalaksana pertolongan pertama serta kerja sosial berupa bersih-bersih lingkungan di kawasan perkemahan di atas bukit tersebut.
Memang bukit yang indah tersebut sering digunakan sebagai tempat berkemah. Tempat tersebut dikelola oleh pemuda desa di bawah sebagai objek wisata baru. Biasanya ramai pada hari libur dan akhir pekan. Dari atas bukit, pengunjung bisa melihat hamparan sawah di bawah yang menghijau dan laut membiru. Oh ya, di bawah juga ada danau kecil.
******
Hari pertama berlalu. Kemudian pada hari kedua hanya diisi kegiatan hingga tengah hari. Setelah itu ada acara bebas. Nah, kesempatan inilah digunakan oleh Ketut Doe untuk mewujudkan mimpinya. Ia mengajak seorang temannya, Badu, untuk jalan-jalan di hutan jati dengan pemandangan menghadap ke danau kecil di bawah.
“Badu, tolong temani aku ya. Kita cari lokasi seperti yang kuceritakan kemarin itu,” pinta Ketut.
“Okay, nanti kalau berhasil, jangan lupa hadiah traktirannya ya,” jawab Badu.
“Siaap. Pokoknya beres.”
*****
Mereka berdua mencari tempat dengan teliti dan hati-hati. Diusahakan tempatnya sepi, jauh dari jalan setapak atau dari penglihatan orang lewat agar tidak terganggu.
Nah, akhirnya tempat yang diinginkan pun ditemukan. Lokasinya di bawah pohon, terlindung. Sementara Badu, menunggui agak jauh sambil tetap mengawasinya. Agar tidak bosan lama menunggu, ia membunuh waktu dengan mengulik telpon pintarnya.
“Du, tolong awasi aku dari kejauhan ya, tapi jangan sampai ketahuan orang-orang.”
“Pasti. Jangan khawatir. Pokonya aman.”
“Ya sudah, kamu ke sana saja.”
*****
Tidak lupa pula Ketut membawa canangsari dan dupa untuk meminta permisi dan memohon keselamatan kepada Tuhan di tempat itu.
Doe duduk bersila dan mencoba memusatkan pikirannya. Hanya berfokus pada satu tujuan, ia ingin bisa terbang. Kalau memang ada anugerah seperti itu, ia mohon agar bisa dikabulkan.
Matahari sudah meredup. Udara pun semakin dingin seperti masuk menusuk hingga ke sumsum tulang. Ada kabut tipis melayang dan bergerak perlahan di sekelilingnya. Suasana pun menjadi semakin khusuk dan mistis.
“Waah, ini tampaknya sudah menjelang senja. Semoga saja aku mendapatkan anugerah yang kuinginkan,” katanya di dalam hati.
“Mohon maaf, bila ada yang salah. Yang Kuasa, aku cuma ingin memohon agar diberi anugerah bisa terbang, bila mungkin atau bila boleh. Paling tidak ada petunjuk untuk mencapai tujuan tersebut,” tambahnya lagi dalam hati.
Demikianlah kata-kata yang selalu berkecamuk di dalam hatinya. Tekadnya sudah bulat untuk mencapai tujuan tersebut.
******
Langit seperti agak gelap karena diselimuti kabut. Udara digin pun menyapa. Demikian pula hembusan angin di bulan September begitu kencang dan meniup daun pohon-pohon di sekelilingnya. Daun-daun kering pun beterbangan. Ranting pepohonan ada yang bergesekan hingga menimbulkan bunyi-bunyi aneh.
Kendatipun suasananya demikian, ia tetap tidak bergeming dari tempat duduknya. Malahan ia semakin bersemangat karena itu dianggap pertanda alam yang baik.
Tiba-tiba hatinya bergetar. Ia tidak mau membuka matanya, namun tetap dipejamkam walau dengan sedikit dipaksakan. Ia yakin, ini pasti pertanda baik akan terjadi sesuatu.
“Kalau ini adalah pertanda baik dariMu, tunjukkanlah kepada hamba sesuatu,” gumamnya.
“Tunjukkanlah kepada hamba,” tambahnya lagi.
Angin berhembus semakin kencang disertai suara gemuruh. Jantungnya berdegup lebih kencang. Baru sekali ini ia merasakan hal seperti itu. Karena penasaran, jangan-jangan ada sesuatu buru akan terjadi.
Ia pun membuka mata. Betapa kagetnya dia ketika melihat ada sosok perempuan cantik dan langsing kelihatan mendekat dari jarak sekitar 50 meteran.
“Wooww, apakah memang ada putri cantik di bukit ini?” katanya sambil mengusap-usap matanya apakah ia sedang bermimpi atau beneran terjadi.
Diperhatikannya baik-baik putri tersebut. Begitu ia menyadari dan melihat putri itu terbang melayang di atas semak, ia beranjak dan ambil langkah seribu.
“Baduuuuu, tolooong aku,” teriak Ketut Doe sambil lari tunggang langgang.
Sementara Badu belum sempat menyahut Ketut sudah melesat lari kencang tidak menoleh lagi.
Badu pun harus mengejar Ketut Doe karena merasa khawatir terhadap keselamatan sahabatnya itu. Ia pun harus menyusul dan terus berlari. Walau pun kakinya sesekali tersangkut di semak, ia tetap berusaha bangkit dan mencari tahu sang sahabat.
“Bruuk.”
“Adduuuh, aduuh.”
Mendengar suara itu, Badu segera mendekati semak dari mana suara rintihan itu berasal.
“Ternyata benar. Kau si Ketut rupanya,” kata Badu.
“Toloong aku Badu,” sambil sedikit merintih kesakitan.
“Sabar Tut, aku akan melepaskan kakimu dari semak-semak ini dulu.”
Perlahan-lahan Badu berusaha mengeluarkan Ketut dari semak-semak. Kemudian ia digotong ke tempat yang aman. Dicarinya air dengan daun jati untuk membasuh wajah dan lengannya yang lecet-lecet.
“Sini Tut, biar kuobati lecet-lecet di wajahmu. Kebetulan akau membawa obat merah sisi perlengkapan latihan P3K tadi pagi.”
“Makasih Duu, aku jadi merepotkan dirimu.”
“Jangan begitu Tut. Aku ini kan sahabatmu sedari kecil. Nggak usah sungkan.”
“Aku gagal kali ini. Mengapa aku harus lari ya? Apakah puteri itu pertanda baik atau bukan. Jangan-jangan ia mau memberikan aku sesuatu?”
“Jangan pikirkan itu lagi. Yang penting kamu selamat dan kembali pulih dulu. Yang itu, nanti kita bicarakan di rumah saja.”
“Baik sahabat. Aku turuti semua saranmu.”
“O ya, satu lagi. Kamu sebaiknya tidak berpikir instan, apa-apa maunya serba cepat. Kemampuan seperti itu tidak bisa didapat dalam waktu singkat. Kalau kamu mendengar cerita dari kakekmu itu, apa kamu sudah nanya, berapa lama ia belajar hingga bisa seperti itu?”
“Ya itulah aku Du. Apa-apa inginnya serba cepat. Ternyata tidak semudah itu. Aku harus belajar dari pengalaman ini.”
“Nah, itulah pelajaran terbaik yang kamu dapat hari ini.”
“Sini, bangun. Sepertinya kamu sudah baikan dan bisa jalan.”
“Baiklah.”
“Mari, mungpung hari belum begitu gelap. Kita kembali ke tenda dan jangan biarkan kawan-kawan kita sibuk mencari-cari kita.”
Demikianlah mereka berdua kembali kepada teman-temannya. Ketut Doe mendapat pelajaran baru, belajar segala sesuatu itu ada tahapannya. Tidak bisa dalam waktu singkat.
Maunya bertapa dengan memusatkan pikiran, namun karena tak mampu mengendalikan rasa takut ketika melihat sosok puteri cantik yang aneh itu, ia pun berlari.