Ketika Bule Masak Lawar: Petaka di Cooking Class di Tabanan

Cooking class
Ilustrasi kelas memasak (cooking class) masakan Bali. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

MATAHARI pagi bersinar cerah di Tabanan, Bali, ketika sekelompok wisatawan berkumpul di sebuah cooking class yang terkenal akan keasliannya dalam mengajarkan masakan tradisional Bali. Salah satu peserta yang paling antusias adalah Jack, seorang bule asal Australia yang mengaku sebagai “chef amatir” dan memiliki hobi memasak di rumah. Dengan penuh percaya diri, ia membanggakan keahliannya kepada peserta lain, terutama kepada Wayan, instruktur kelas yang sudah bertahun-tahun mengajarkan kuliner Bali.

“Saya sering masak kari dan rendang di rumah,” kata Jack sambil menyingsingkan lengan bajunya. “Jadi, membuat lawar pasti gampang!”

Read More

Wayan hanya tersenyum tipis, sudah terbiasa menghadapi turis yang percaya diri berlebihan. “Baik, Jack. Kita lihat nanti,” katanya sambil menunjuk meja yang dipenuhi bahan-bahan segar.

Kelas dimulai dengan memperkenalkan bahan-bahan khas untuk lawar, seperti daging ayam cincang, kelapa parut, bumbu genep (campuran rempah khas Bali), serta darah ayam segar untuk memberikan cita rasa autentik. Jack terbelalak saat melihat darah segar dituang ke dalam campuran daging. “Darah? Serius?” tanyanya dengan nada skeptis.

“Tentu, Jack,” jawab Wayan. “Itulah yang membuat lawar asli punya rasa khas.”

Dengan sedikit ragu, Jack mengangguk dan mulai mencincang daging ayam dengan semangat berlebihan. Potongan dagingnya berantakan, ada yang terlalu besar, ada yang terlalu kecil. Wayan mencoba mengingatkan, tetapi Jack bersikeras bahwa gaya memasaknya lebih efisien. “Di MasterChef juga nggak serapi ini, kok!” katanya percaya diri.

Ketika tiba saatnya mencampur bumbu, Jack mengambil langkah lebih berani. Ia memutuskan menambahkan lebih banyak cabai rawit karena yakin “pedas lebih nikmat”.

Bukan hanya itu, ia juga menambahkan garam dua kali lipat dari takaran normal, berpikir bahwa “lebih asin lebih enak”. Tanpa pikir panjang, ia juga menuangkan darah ayam lebih banyak dari yang dianjurkan Wayan, sambil berkata, “Kalau sekalian, harus totalitas!”

Para peserta lain mulai melirik dengan raut wajah khawatir. Wayan mencoba mengingatkan, “Jack, sebaiknya ikuti takaran yang sudah diajarkan, ya?”

Namun Jack hanya tertawa dan berkata, “Jangan khawatir, Wayan! Saya yakin ini akan jadi lawar terbaik!”

Setelah semua bahan tercampur, saatnya mencicipi hasil masakan. Jack dengan penuh percaya diri mengambil sesendok besar lawar buatannya dan memasukkannya ke mulut. Beberapa detik pertama, ia masih tersenyum. Lalu, ekspresinya berubah drastis.

Mulutnya mulai panas seperti terbakar, wajahnya memerah, dan matanya berair. Ia buru-buru mengambil segelas air kelapa dan meneguknya dalam satu tarikan napas. “Astaga! Ini… ini… terlalu pedas!” teriaknya serak.

Belum selesai di situ, efek bumbu “eksperimental” Jack mulai menyebar ke peserta lain. Mereka yang berani mencicipi lawarnya langsung terbatuk-batuk, berkeringat deras, dan bahkan ada yang berlari keluar mencari udara segar. Salah satu peserta asal Jerman, Greta, sampai berjongkok sambil memegangi perutnya.

Mein Gott! Apa yang terjadi dengan tubuhku?!”

Wayan, yang sudah menduga akan terjadi sesuatu yang konyol, mencoba menahan tawa. “Jack, mungkin lain kali lebih baik mengikuti resep, ya?”

Jack, yang masih berusaha menenangkan lidahnya yang terbakar, akhirnya menyerah. “Baiklah, Wayan… aku akui… kau benar… Ini bukan eksperimen yang berhasil.”

Akhirnya, Wayan mengambil alih dan membuat lawar sesuai dengan resep tradisional. Dalam waktu singkat, aroma rempah yang lebih seimbang memenuhi ruangan, dan semua peserta bisa menikmati hidangan yang jauh lebih layak santap. Jack, yang masih berkeringat akibat pedas berlebihan, mengakui kekalahannya dan memuji lawar buatan Wayan.

Saat sesi makan bersama, suasana kembali ceria, dan Jack pun ikut tertawa atas kejadian yang baru saja menimpanya. “Oke, oke. Aku kapok bereksperimen sendiri!” katanya sambil mengangkat tangan menyerah. “Tapi, hei! Setidaknya aku berhasil menciptakan lawar yang bisa digunakan sebagai senjata biologis!”

Seluruh kelas tertawa, dan Jack pun menjadi bahan candaan sepanjang sesi makan siang. Pengalaman di cooking class itu tidak hanya memberinya pelajaran soal memasak, tetapi juga membuatnya sadar bahwa masakan tradisional tidak bisa diubah seenaknya tanpa memahami keseimbangan rasa dan budaya.

Saat pulang, Jack tetap tersenyum lebar meskipun perutnya masih terasa panas. Ia tahu satu hal: Bali tidak hanya memberinya pengalaman kuliner, tapi juga sebuah cerita lucu yang akan dikenangnya seumur hidup. (*)

banner 300x250

Related posts