Malam itu, rembulan bersembunyi di balik awan kelabu, menyelimuti pesisir selatan Bali dengan kegelapan pekat. Angin laut berhembus dingin, membawa serta aroma asin dan samar-samar bau guano dari arah kawasan Goa Kalong, sang Gua Kelelawar dengan sekitar 2000an penghuni yang melegenda. Di bibir pantai yang menghitam, dua sosok pemuda tampak bergerak hati-hati. Arya, dengan senter terpasang di kepalanya, menyusuri bebatuan karang yang licin, diikuti oleh sahabatnya, Bima.
“Kau yakin dengan ini, Yan?” bisik Bima, suaranya sedikit bergetar menahan dingin dan mungkin juga sedikit rasa takut.
Arya menghela napas, sorot senternya menari-nari di dinding gua yang gelap menganga. “Mau bagaimana lagi, Bim? Kadek sudah memesan jauh-jauh dari Surabaya. Katanya, ada keluarganya yang sakit serius di keluarganya, dengar-dengar daging kelelawar bisa membantu.”
“Tapi, Yan… semua orang bilang tempat ini angker. Ibu dan Bapak sudah melarang keras. Teman-teman juga bilang jangan macam-macam,” Bima mencoba mengingatkan.
Arya tertawa sinis. “Angker? Penunggu? Itu cuma cerita orang tua zaman dulu, Bim. Kita hidup di era digital, mana ada hal-hal begitu. Yang penting sekarang, kita dapat kelelawar, Kadek senang, kita juga dapat sedikit uang.”
Mereka terus menyusuri mulut gua yang semakin gelap. Suara deburan ombak yang menghantam karang di luar terdengar semakin menggema di dalam. Bau amonia dari kotoran kelelawar semakin menyengat. Ribuan kelelawar yang bergelantungan di langit-langit gua sesekali mengeluarkan pekikan nyaring, membuat bulu kuduk Bima berdiri.
“Lihat, Bim, banyak sekali!” seru Arya antusias, menyorotkan senternya ke atas. Mata-mata kecil berwarna merah memantulkan cahaya, menciptakan pemandangan yang sedikit mengerikan namun bagi Arya, ini adalah potensi rezeki.
“Hati-hati, Yan. Tempat ini licin,” Bima memperingatkan, langkahnya terasa berat.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, gelombang besar menghantam dari belakang. Air laut dingin dan pekat menerjang masuk ke dalam gua dengan kekuatan dahsyat. Arya dan Bima terkejut, tak sempat menghindar. Mereka terhuyung, kehilangan keseimbangan, dan terhempas ke dinding-dinding gua yang kasar. Senter di kepala Arya terlepas dan mati, meninggalkan mereka dalam kegelapan total yang hanya dipecah oleh suara deburan ombak yang mengamuk.
“Arya!” teriak Bima panik, merasakan tubuhnya terombang-ambing oleh air yang menyeret.
“Bim… pegangan!” balas Arya dengan suara tercekat, berusaha meraih sesuatu yang bisa dipegang. Namun, arus terlalu kuat. Mereka berdua terpisah, terbawa mundur oleh gelombang yang kembali menarik diri ke laut.
Benturan keras menghantam tubuh Arya. Ia merasakan sakit yang menusuk di sekujur tubuhnya. Ketika air surut, ia terdampar di atas pasir pantai, terengah-engah, dan batuk-batuk mengeluarkan air laut. Kegelapan masih menyelimuti, namun ia bisa merasakan pasir kasar di bawah tubuhnya.
“Bima!” panggilnya lemah, suaranya hampir tertelan oleh desiran ombak. Ia berusaha bangkit, namun setiap gerakan terasa menyakitkan. Ia meraba-raba di sekitarnya, mencari keberadaan sahabatnya.
“Arya… aku di sini…” suara lirih Bima terdengar tidak jauh. Arya merangkak menghampirinya. Bima terbaring lemah, memegangi lengannya yang mungkin terkilir.
Mereka berdua terdiam, merasakan dinginnya malam dan sakit di sekujur tubuh. Keinginan untuk berburu kelelawar sirna sudah, digantikan oleh penyesalan dan rasa sakit yang nyata. Gua yang mereka anggap hanya mitos ternyata menunjukkan kekuatannya. Ombak yang tiba-tiba datang seolah menjadi penjaga yang marah karena kedatangan mereka.
“Kau tidak apa-apa, Bim?” tanya Arya pelan, merasa bersalah karena telah mengajak sahabatnya dalam petualangan bodoh ini.
Bima meringis. “Lenganku sakit sekali, Yan. Kita… kita gagal.”
“Iya… gagal total,” sahut Arya, menatap kegelapan gua yang kini tampak mengancam. “Kita tidak dapat apa-apa, Bim. Hanya sakit dan… ketakutan.”
Mereka berdua terdiam lagi. Suara ombak yang menghantam pantai kini terdengar seperti ejekan. Janji manis tentang khasiat daging kelelawar dan uang yang bisa didapatkan terasa begitu jauh dan tidak berarti dibandingkan dengan rasa sakit dan penyesalan yang mereka rasakan saat ini.
“Kau percaya sekarang, Bim?” tanya Arya akhirnya, suaranya sarat kelelahan. “Mungkin… mungkin memang ada sesuatu di sana.”
Bima tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke arah gua yang gelap, merasakan dinginnya malam merasuk ke dalam tulang-tulangnya. Malam itu, mereka berdua pulang tidak membawa seekor kelelawar pun. Mereka hanya membawa penderitaan fisik dan pelajaran pahit tentang kesombongan dan pentingnya mendengarkan nasihat orang-orang terkasih.
Mitos dan legenda yang mereka remehkan ternyata memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan kekuatannya. Dan di pantai yang gelap itu, di bawah tatapan dingin bintang-bintang, Arya dan Bima menyadari bahwa alam Bali menyimpan misteri yang jauh lebih dalam daripada sekadar pemandangan indah dan ramainya wisatawan.
Pagi menjelang dengan enggan, menyisakan sisa-sisa kegelapan malam di pesisir Goa Kalong. Arya dan Bima terbaring lemah di atas pasir, tubuh mereka menggigil meski matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur. Rasa sakit di sekujur tubuh terasa semakin nyata di bawah cahaya pagi yang samar.
“Kita harus bergerak, Bim,” ujar Arya pelan, mencoba bangkit meski kepalanya terasa berputar. “Kita tidak bisa terus terbaring di sini.”
Bima merintih pelan saat mencoba duduk. Lengannya tampak membengkak dan berwarna kebiruan. “Aku rasa lenganku patah, Yan.”
Arya menghela napas. Penyesalan kembali menghantamnya. Dialah yang bersikeras untuk datang ke tempat ini, tergiur oleh janji palsu di media sosial dan pesanan dari Kadek. Sekarang, mereka berdua harus menanggung akibatnya.
Dengan susah payah, Arya membantu Bima berdiri. Mereka berjalan tertatih-tatih menyusuri pantai, meninggalkan jejak kaki di pasir basah. Setiap langkah terasa berat, setiap hembusan angin laut menusuk kulit mereka yang memar.
“Bagaimana kita akan pulang, Yan?” tanya Bima dengan suara lemah.
“Kita harus mencari bantuan,” jawab Arya, matanya menyapu sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Mereka berjalan cukup jauh dari area pura, dan pantai di sekitar sana tampak sepi.
Tiba-tiba, mereka melihat seorang nelayan tua sedang menarik perahunya ke tepi pantai. Arya segera memberi isyarat, melambaikan tangannya lemah. Nelayan itu, dengan kerutan dalam di wajahnya dan tatapan mata yang bijaksana, melihat kondisi kedua pemuda itu dengan prihatin.
“Kalian kenapa, Nak? Terlihat lemah sekali,” tanya nelayan itu dengan nada khawatir.
Arya menceritakan kejadian semalam dengan suara serak, menyembunyikan motif sebenarnya mereka datang ke gua. Ia hanya mengatakan bahwa mereka tersesat saat berjalan-jalan di sekitar pantai dan tiba-tiba dihantam ombak.
Nelayan tua itu menghela napas panjang. “Ombak di sekitar Goa Kalong memang berbahaya, apalagi saat malam hari. Tempat itu… memang menyimpan banyak cerita.” Tatapannya tampak menerawang, seolah mengingat sesuatu.
“Oh, ya Kek, tadinya saya mendengar kerumunan banyak orang, bernada riuh atau panik, gitu,” kata Arya.
“Kamu kan tidak melihat ada orang di dalam gua itu? Nah, kata orang yang sering mencari kayu bakar atau rumput laut di sekitar pantai ini memang beberapa kali pernah mendengar orang ramai di dalam gua. Padahal secara kasat mata tak ada orang,” kata nelayan itu.
Tanpa banyak bertanya lebih lanjut, nelayan itu membantu Arya dan Bima naik ke perahunya. Ia membawa mereka kembali ke perkampungan terdekat, tempat mereka bisa mendapatkan pertolongan medis.
Di rumah seorang warga yang berbaik hati, luka-luka mereka dibersihkan dan lengan Bima dibalut. Rasa malu dan penyesalan semakin menghimpit Arya saat melihat sahabatnya meringis kesakitan.
Beberapa hari kemudian, setelah kondisi mereka membaik, Arya menghubungi Kadek di Surabaya. Ia menceritakan kejadian yang sebenarnya, tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi. Kadek terkejut dan merasa bersalah karena permintaannya telah membahayakan kedua temannya.
“Aku tidak tahu kalau tempat itu berbahaya seperti itu, Yan,” kata Kadek melalui telepon, suaranya terdengar menyesal. “Aku hanya kasihan melihat keluargaku sakit dan membaca tentang khasiat daging kelelawar di internet.”
Arya menghela napas. “Jangan mudah percaya dengan apa yang ada di media sosial, Dek. Kami sudah belajar mahal. Lebih baik mencari pengobatan medis yang terpercaya.”
Mereka akhirnya pulang ke rumah masing-masing dengan tubuh yang masih terasa sakit dan hati yang penuh penyesalan. Larangan dari keluarga dan teman-teman kini terngiang jelas di telinga mereka. Mereka telah meremehkan kearifan lokal dan cerita-cerita yang dianggapnya hanya mitos.
Sejak kejadian itu, Arya dan Bima menjadi lebih menghargai nasihat orang tua dan tidak lagi mudah terpengaruh oleh informasi yang belum terverifikasi. Mereka juga tidak pernah lagi mendekati Goa Lawah pada malam hari. Rasa hormat dan sedikit ketakutan kini tertanam dalam hati mereka setiap kali mendengar nama gua kelelawar itu.
Pengalaman pahit itu menjadi pelajaran berharga, mengingatkan mereka bahwa alam dan tradisi memiliki kekuatan yang tidak boleh diremehkan. Dan di balik keindahan pariwisata Bali, tersimpan misteri dan kearifan lokal yang patut dihormati. (*)