KLASIK dan megah—Di tepi Sungai Otan yang alirannya tenang di sebuah desa terpencil di Bali, terdapat reruntuhan bangunan tua yang telah lama terlupakan. Hanya gundukan tanah di bawah pohon beringin tua dan pecahan tembikar yang terserak menjadi saksi bisu bahwa tempat ini pernah dihuni di masa lampau. Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan bangunan ini berdiri dan siapa yang dahulu mendiami tempat ini.
“Dr. Arya, lihat ini!” seru Putu Loka, salah satu asisten arkeolog yang ikut menggali.
Arya bergegas mendekat. Putu Loka mengangkat sebuah kepingan uang kepeng yang sudah berkarat.
“Menarik… Ini bisa berasal dari abad ke-14,” gumam Arya sambil mengamati detail ukiran di kepingan itu.
Tak lama kemudian, Ni Luh Madu, asisten lainnya, menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan.
“Pak, ini… gagang keris!” serunya dengan mata berbinar.
Arya mengambilnya dengan hati-hati. Gagang itu terbuat dari batu akik berwarna kebiruan, halus dan terasa dingin di tangannya. Sebuah firasat aneh muncul dalam benaknya.
Malam itu, setelah seharian bekerja, Arya tidur di tenda kecilnya. Namun, tidurnya tidak nyenyak. Ia bermimpi aneh.
Dalam mimpinya, seorang lelaki tua berjubah panjang dengan mata tajam berdiri di depannya.
“Kau telah menemukan bagian dari hidupku yang hilang,” katanya.
“Siapa Anda?” tanya Arya.
“Aku Empu Wiradipati. Dahulu, tempat ini adalah sanggarku. Aku membuat keris bagi para ksatria dan raja. Kini, tempat ini telah lenyap, namun warisan itu harus kau hidupkan kembali.”
Tiba-tiba, suasana di sekitar Arya berubah. Ia melihat bangunan besar dengan dinding batu kokoh, bale tempat para empu bekerja, dan suara tempa besi menggema di udara. Arya melihat orang-orang bekerja dengan penuh semangat, menempa logam, mengukir gagang keris, dan menyusun batu-batu secara rapi.
“Kembalikan kejayaan tempat ini,” suara sang empu menggema.
Arya terbangun dengan keringat dingin. Mimpi itu terasa begitu nyata.
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpinya pada timnya.
“Mungkin ini bukan sekadar mimpi, Pak,” kata Putu Loka. “Bisa jadi ini petunjuk.”
Arya mengangguk. Dengan semangat baru, ia mengajukan proposal untuk merekonstruksi bangunan itu. Pemerintah setempat pun mendukung idenya setelah melihat pentingnya situs ini bagi sejarah lokal. Pembangunan dimulai dengan mengikuti sketsa yang muncul dalam mimpinya. Batu-batu kuno yang ditemukan dikumpulkan dan disusun kembali. Beberapa seniman lokal turut serta dalam proses restorasi, memastikan setiap detail memiliki nuansa sejarah yang akurat.
Setahun kemudian, di tepi sungai itu berdirilah Rumah Keris Kuno. Tempat ini tidak hanya seperti museum, tetapi juga menjadi pusat edukasi tentang sejarah pembuatan keris. Pengunjung bisa melihat koleksi keris kuno, termasuk replika gagang keris dari batu akik yang ditemukan Arya. Ada juga workshop pembuatan keris sederhana, di mana para pengrajin lokal menunjukkan bagaimana logam dipanaskan, ditempa, dan dibentuk menjadi senjata yang penuh filosofi. Di sekitar galeri, didirikan juga bale workshop, tempat para seniman mengajarkan seni menyusun batu seperti yang dilakukan para leluhur.
Untuk menambah daya tarik, dibangun pula sebuah kafe dengan pemandangan sungai yang tenang. Para wisatawan bisa menikmati kopi Bali sambil menyerap aura mistis dari reruntuhan yang telah dihidupkan kembali. Tempat ini menjadi daya tarik wisata sejarah yang unik, mengundang orang-orang dari berbagai belahan dunia yang ingin menyelami lebih dalam rahasia masa lalu.
Suatu malam, Arya duduk di beranda galeri, memandangi sungai yang mengalir tenang. Angin sepoi-sepoi bertiup, membawa bisikan halus yang terasa familiar.
“Terima kasih…” sebuah suara bergema di hatinya. Arya tersenyum. Ia tahu, Empu Wiradipati masih mengawasi, memastikan warisannya tetap terjaga.
Beberapa bulan setelah pembukaan galeri, wisatawan dari berbagai negara mulai berdatangan. Tak hanya sejarawan dan arkeolog, tetapi juga seniman, kolektor, dan pecinta budaya. Mereka tertarik dengan sejarah dan keunikan galeri ini. Beberapa pengunjung bahkan tertarik untuk mengikuti workshop pembuatan keris, mencoba sendiri bagaimana mengolah logam menjadi senjata sakral.
Suatu hari, seorang pria tua berambut putih datang ke galeri dan mengamati setiap keris dengan tatapan dalam. Arya memperhatikannya dari kejauhan sebelum akhirnya mendekat.
“Selamat datang, Pak. Apakah Anda tertarik dengan koleksi kami?” tanya Arya ramah.
Pria itu mengangguk. “Sungguh luar biasa. Keris-keris ini mengingatkanku pada kisah-kisah yang diceritakan kakekku saat aku kecil. Ada sesuatu yang istimewa di sini, bukan?”
Arya tersenyum. “Ya, tempat ini menyimpan sejarah yang panjang. Kami berusaha menghidupkannya kembali.”
Pria itu menatap Arya dengan sorot penuh arti. “Kau telah melakukan sesuatu yang luar biasa, Nak. Warisan ini tak boleh hilang. Aku yakin para leluhur bangga padamu.”
Setelah pria itu pergi, Arya kembali merenung. Ia merasa semakin yakin bahwa mimpinya dulu bukan sekadar kebetulan. Ia telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, menghubungkan masa lalu dan masa kini.
Sejak itu, galeri terus berkembang. Para empu muda mulai bermunculan, belajar dari para pengrajin tua yang masih tersisa. Seni membuat keris, yang sempat memudar, kini kembali hidup. Dan di pinggir sungai itu, sejarah terus mengalir, menyatu dengan aliran waktu. (*)