SEDERHANA dan bersahaja. Di balik megahnya istana dengan para bangsawan yang hidup dalam gemerlap, hiduplah seorang pelayan bernama Milo. Tidak ada kemewahan atau kekuasaan dalam hidupnya—hanya kesetiaan dan ketekunan, membersihkan lantai hingga berkilau dan melayani tanpa lelah.
Namun, ada yang berbeda dari Milo: matanya selalu menyorot penuh tanya, otaknya terus berputar memikirkan makna di balik kehidupan istana dan nasibnya sebagai pelayan. Siapa sangka, di antara deretan gelas kristal dan piring perak, seorang pelayan sederhana ini akan menjadi sosok yang menginspirasi dengan ‘filsafatnya’ yang mendalam?
Ia selalu bekerja dengan rajin, meski sering kali dipandang sebelah mata oleh para bangsawan dan pejabat. Setiap hari, Milo sibuk membersihkan lantai, menghidangkan makanan, dan memastikan kebutuhan para penghuni istana terpenuhi. Namun, satu hal yang membuat Milo berbeda dari pelayan lainnya adalah rasa ingin tahunya yang besar.
Setiap kali Milo bekerja di aula besar, ia sering mendengar diskusi para cendekiawan dan filsuf istana. Mereka membahas berbagai topik berat, mulai dari politik, etika, hingga filsafat mendalam tentang kehidupan dan makna keberadaan. Milo, yang selalu mendengarkan dengan penuh minat dari balik tirai, merasa kagum pada kebijaksanaan yang mereka ucapkan. Ia mulai berpikir, “Betapa hebatnya jika aku bisa bicara seperti mereka, terdengar begitu bijak dan dihormati.”
Suatu hari, Milo memberanikan diri untuk mencoba berbicara dengan kebijaksanaan yang ia pelajari dari mendengar diskusi itu. Ketika seorang bangsawan bertanya tentang alasannya terlambat menghidangkan teh, Milo dengan penuh percaya diri mencoba mengutip pepatah bijak yang pernah didengarnya.
“Lebih baik terlambat daripada… terowongan!” ucap Milo dengan serius.
Para bangsawan yang mendengarnya langsung tertawa terbahak-bahak. Mereka terkejut dengan perkataan Milo yang tidak masuk akal, tetapi juga merasa terhibur.
Salah satu pejabat istana, Menteri Cao, yang terkenal dengan selera humornya, berkomentar, “Wah, Milo ini benar-benar filsuf besar! Siapa yang menyangka, ‘terowongan’ ternyata bisa memiliki makna dalam?”
Milo merasa bingung melihat mereka tertawa, padahal ia berpikir ucapannya sudah benar. Namun, tanpa disadari, sejak saat itu, Milo mulai dianggap sebagai sosok yang bijak—meskipun sering salah mengucapkan pepatah-pepatah yang dia coba tiru.
Kejadian demi kejadian konyol terus terjadi. Suatu kali, ketika seorang pejabat istana mengeluh tentang sulitnya mencapai tujuan hidup, Milo yang sedang menyapu lantai ikut berkomentar dengan penuh percaya diri, “Hidup ini seperti mie panjang… jika terlalu banyak saus, ya tumpah!”
Para pejabat yang mendengar komentar tersebut lagi-lagi tertawa terbahak-bahak. Mereka menyukai cara Milo merangkai kata-kata yang kocak dan tidak masuk akal, tetapi anehnya selalu dianggap memiliki makna tersembunyi.
“Tentu saja, saus yang terlalu banyak bisa diartikan sebagai keserakahan!” ujar salah satu cendekiawan.
“Milo benar-benar memahami esensi kehidupan!”
Milo semakin bingung. Setiap kali ia mencoba terdengar bijak, ia justru mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal, tetapi entah bagaimana selalu berhasil membuat orang di sekitarnya menganggapnya sebagai kebijaksanaan mendalam.
Suatu hari, Raja Zhu mendengar kabar tentang “pelayan filsuf” ini. Tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut, Raja mengundang Milo ke ruang tahta. Dengan gugup, Milo berdiri di hadapan sang raja dengan pakaian sopan, tidak yakin apa yang harus ia lakukan.
Raja Zhu, yang terkenal sebagai sosok yang serius, memutuskan untuk menguji kebijaksanaan Milo. Ia bertanya, “Milo, apa makna kehidupan menurutmu?”
Milo berpikir sejenak. Ia benar-benar ingin terdengar bijak kali ini, tetapi karena terlalu gugup, kata-katanya malah keluar tanpa ia sadari. “Kehidupan, Yang Mulia, adalah seperti… seekor ayam yang mencoba berenang. Ia bisa berusaha sekeras apa pun, tetapi akhirnya tetap basah dan terjebak dalam genangan air!”
Ruangan menjadi hening. Para pejabat dan bangsawan yang mendengar jawaban Milo tidak tahu apakah harus tertawa atau merenung. Lalu, Raja Zhu tertawa keras, diikuti oleh semua orang di dalam ruangan.
“Luar biasa, Milo!” Raja Zhu berkata sambil tersenyum. “Kau benar. Kehidupan memang penuh dengan usaha yang sering kali tampak sia-sia, tetapi pada akhirnya kita tetap harus mencoba, meski kadang hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.”
Milo, yang masih kebingungan, hanya bisa tersenyum canggung. Ia tidak mengerti bagaimana ucapannya yang asal-asalan itu bisa dianggap sebagai kebijaksanaan.
Sejak saat itu, Milo menjadi semakin terkenal di istana. Setiap kali ada pertemuan penting atau diskusi filsafat, ia selalu diundang untuk memberikan “pandangan bijaknya”. Para cendekiawan bahkan mulai menulis buku berisi kutipan-kutipan aneh dari Milo, yang mereka anggap sebagai pemikiran baru dalam dunia filsafat.
Namun, di balik semua kesuksesan itu, Milo tahu bahwa dirinya bukanlah seorang filsuf sejati. Ia hanyalah seorang pelayan sederhana yang selalu mencoba meniru kebijaksanaan orang lain, tetapi entah bagaimana selalu salah ucap. Meski demikian, ia tetap menjalani perannya dengan penuh tanggung jawab, dan bahkan mulai menikmati kehidupan barunya sebagai “pakar filsafat” yang tidak disengaja.
Dan begitulah, di kerajaan itu, Milo, si pelayan istana yang sering salah ucap, akhirnya dikenal sebagai salah satu filsuf terbesar, meski kebijaksanaannya selalu datang dari kesalahan yang lucu. Tetapi siapa yang tahu? Mungkin di balik setiap kesalahan, ada kebenaran yang tersembunyi—seperti pepatah yang mungkin akan dikatakan Milo: “Lebih baik salah ucap daripada tak berbicara sama sekali… asalkan tidak menumpahkan saus!”