KLAUS, seorang turis asal Jerman yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Bali, terobsesi dengan ide menemukan “hidden gem” Pantai Kuta yang ia baca di sebuah blog traveling misterius. Blog itu menjanjikan surga pasir putih yang sepi, jauh dari hiruk pikuk turis lainnya. Dengan berbekal semangat petualang dan aplikasi Google Maps di smartphone-nya, Klaus menyewa sebuah skuter matic dan memulai perjalanannya mencari “private Kuta beach” yang legendaris itu.
Namun, alih-alih menemukan ketenangan, ia justru tersesat di labirin gang sempit, berpapasan dengan ayam berkokok, dan akhirnya terdampar di tengah hamparan sawah hijau yang luas. Pertemuannya dengan seorang petani lokal yang kebingungan menjadi klimaks dari petualangan mencari pantai “privasi” yang salah alamat.
—–
Klaus, dengan kemeja pantai warna-warni yang terlalu cerah dan topi fedora yang agak kebesaran, menatap layar smartphone-nya dengan dahi berkerut. Di tangannya tergenggam kunci skuter matic berwarna biru langit yang baru saja ia sewa. Ulasan blog “Bali Unique Spots” yang dibacanya semalam masih terngiang di kepalanya. “Pantai Kuta yang sebenarnya, sebuah surga tersembunyi yang masih ‘private’ dan belum terjamah keramaian,” begitu tulis si penulis misterius. Klaus membayangkan hamparan pasir putih yang hanya diisi oleh dirinya sendiri, ditemani deburan ombak yang tenang dan semilir angin sepoi-sepoi.
“Ja! This will be wunderbar (Ya! Ini akan menjadi luar biasa)!” serunya pelan, menyalakan mesin skuter dengan penuh semangat. Google Maps sudah menunjukkan rute yang katanya “paling efisien” menuju “Private Kuta Beach.” Klaus dengan patuh mengikuti arahan suara wanita robot yang sesekali terdengar agak sinis.
Awalnya, perjalanan terasa menyenangkan. Ia menyusuri jalan-jalan utama yang ramai dengan toko suvenir dan kafe-kafe bule. Namun, tak lama kemudian, suara robot itu mengarahkannya untuk berbelok ke gang-gang yang semakin sempit dan berliku. Skuternya beberapa kali hampir bersenggolan dengan motor penduduk lokal yang membawa berbagai macam barang di atasnya, mulai dari sangkar ayam hingga tumpukan kasur.
“Turn left in 100 meters (Belok kiri dalam 100 meter),” suara robot itu kembali terdengar, membuyarkan lamunan Klaus tentang pantai pribadinya. Ia mengikuti arahan dan mendapati dirinya berada di sebuah jalan setapak yang hanya cukup dilalui satu motor. Di kiri kanannya berdiri tembok-tembok tinggi yang ditumbuhi lumut, dan aroma dupa bercampur dengan bau got yang kurang sedap.
“Are you sure this is the way to the beach (Apakah kamu yakin ini jalan menuju pantai)?” gumam Klaus kepada smartphone-nya, seolah benda itu bisa menjawab.
Perjalanan semakin aneh. Ia melewati pekarangan rumah penduduk yang sedang menjemur pakaian dalam warna-warni, menghindari anak-anak kecil yang bermain layangan di tengah jalan, dan bahkan harus berhenti sejenak ketika seekor anjing kampung berwarna hitam legam tidur nyenyak di tengah jalannya.
“Recalculating route (Memperhitungkan ulang rute),” suara robot itu terdengar lagi, kali ini dengan nada yang terdengar sedikit putus asa. Klaus menghela napas. “Maybe this ‘private’ beach is really hidden (Mungki pantai privat ini benar-benar tersembunyi!” pikirnya, mencoba mempertahankan optimisme.
Setelah berbelok ke kanan, kiri, kanan lagi, dan melewati sebuah pura kecil yang dipenuhi sesajen, Klaus akhirnya mendapati dirinya berada di sebuah jalan tanah yang diapit oleh hamparan sawah hijau yang luas. Suara deburan ombak yang ia bayangkan sama sekali tidak terdengar. Yang ada hanya suara angin yang meniup dedaunan padi dan sesekali kokokan ayam jantan dari kejauhan.
“This… this is not the beach (Ini ….bukan ini pantainya),” kata Klaus dengan nada bingung, menatap hamparan sawah yang terbentang di hadapannya. Ia turun dari skuternya dan melihat sekeliling. Tidak ada pasir putih, tidak ada ombak, yang ada hanya lumpur dan tanaman padi yang menghijau.
Tiba-tiba, seorang petani lokal dengan caping di kepala dan sabit di tangan muncul dari balik tanaman padi. Ia menatap Klaus dengan tatapan heran.
“Cari apa, Bli?” tanya petani itu dengan ramah.
Klaus, dengan bahasa Inggris seadanya dan nada putus asa, mencoba menjelaskan tujuannya. “Excuse me, Sir. I… I am looking for… the private Kuta beach. You know? No many people. Just… me. Private (Permisi, Pak. Saya… Saya sedang mencari… pantai Kuta yang privat. Anda tahu? Tidak banyak orang. Hanya… saya. Privat).” Ia mencoba membuat gerakan dengan tangannya, menggambarkan pantai yang sepi.
Petani itu mengerutkan kening, lalu melihat ke arah smartphone yang masih menyala di tangan Klaus. Ia kemudian melihat kembali ke hamparan sawah di sekelilingnya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi kebingungan total.
“Pantai Kuta… yang private?” ulang petani itu, menggaruk-garuk kepalanya di balik caping. “Di sini, adanya cuma sawah, Bli. Kalau mau ke Pantai Kuta… ya lurus saja dari tadi, ikut jalan besar. Ramai sekali di sana.”
Klaus terdiam, mencerna kata-kata petani itu. “Ramai? But… the blog said it’s private…(Tapi blog itu mengatakan pantainya privat).”
Petani itu tertawa kecil. “Blog? Ah, Bli ini lucu. Pantai Kuta itu ya… dari pagi sampai malam isinya turis semua. Mau cari yang sepi… mungkin Bli salah dengar. Atau mungkin… pantainya pindah ke tengah sawah sini?” katanya sambil tertawa lagi, kali ini lebih keras.
Klaus merasa pipinya memanas. Ia baru menyadari betapa bodohnya ia mengikuti petunjuk dari blog misterius dan aplikasi peta tanpa bertanya kepada penduduk lokal. Bayangan pantai pribadi yang indah langsung buyar, digantikan oleh pemandangan sawah berlumpur dan tawa geli seorang petani.
“So… the private Kuta beach… it doesn’t exist (Jadi…, Pantai Kuta privat itu tidak ada)?” tanya Klaus dengan nada lesu.
Petani itu menggelengkan kepala sambil tersenyum maklum. “Tidak ada, Bli. Kuta itu… publik sekali.” Ia kemudian menunjuk ke arah jalan besar yang terlihat di kejauhan. “Sana, ikut jalan itu. Nanti ketemu banyak bule yang lain cari matahari terbenam.”
Dengan wajah merah padam, Klaus mengucapkan terima kasih kepada petani yang baik hati itu. Ia menaiki skuternya kembali, kali ini dengan tujuan yang jelas: Pantai Kuta yang ramai dan penuh turis, bukan pantai “private” impiannya yang ternyata hanya ada di dalam blog menyesatkan. Sambil menyusuri jalan kembali, ia bisa mendengar samar-samar tawa petani itu dari kejauhan, mengingatkannya pada petualangan mencari pantai “privasi” yang berakhir di tengah sawah yang damai.
Mungkin, pikir Klaus, lain kali ia harus lebih percaya pada penduduk lokal daripada ulasan online yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Dan mungkin juga, ia harus belajar sedikit bahasa Indonesia agar tidak lagi salah paham tentang “private” dan “publik.” (*)