- GOA Gajah berfungsi sebagai tempat pemujaan, terutama meditasi di relung-relung yang terletak di dalam goa.
- Siwaisme dan Budhisme berkembang secara harmonis pada zaman itu seperti yang ditunjukkan di kompleks Goa Gajah ini
Goa Gajah yang terletak di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, adalah salah satu situs kuno Bali yang dibuat demikian artistik di atas tebing berbatu. Pada zaman dahulu, situs ini difungsikan sebagai tempat pemujaan.
Sejarah
Menurut sejarahnya, ada laporan penemuan arca Ganesha, tiga lingam dan arca Hariti kepada pemerintah Hindia Belanda oleh seorang pejabat Hindia Belanda, LC Heyting, pada tahun 1923. Ketiga benda tersebut kemudian menjadi cikal bakal ditemukannya situs Goa Gajah. Temuan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Dr. WF Stutterheim dengan melakukan penelitian lebih lanjut pada tahun 1925.
Badan Purbakala Indonesia melalui bagian bangunan purbakala di Bali yang dipimpin oleh JL Krijgman juga melakukan penelitian pada tahun 1950. Kemudian, pada kurun waktu tahun 1954 hingga 1979 dilakukan beberapa kali penggalian dan berhasil menemukan sebuah tempat permandian kuno di depan Goa Gajah dengan 6 buah patung bidadari di atas bunga teratai dengan pancuran di dada. Desain dari temuan ini didasarkan pada konsep Sapta Nadi, yaitu tujuh sungai suci di India, yang terdiri dari Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Serayu dan Narmada.
Hingga saat ini, keberadaan air mancur tersebut dipercaya memberikan aura penyucian bagi pengunjung. Masyarakat setempat meyakini bahwa dengan mencuci muka di sana atau berkumur dengan air yang keluar dari patung bisa membuat awet muda.
Selanjutnya, ada peninggalan lain berupa stupa bercabang tiga yang dipahat di dinding batu yang terletak di dasar Sungai Pangkung yang ditemukan pada tahun 1931 oleh Mr. Conrat Spies.
Kompleks Goa Gajah Bali ini terdiri dari dua bagian utama, yaitu kompleks utara yang merupakan peninggalan ajaran Siwa, yang dibuktikan dengan adanya tiga lingga dan arca Ganesha di dalam gua sebagai tempat pemujaan umat Hindu. Sedangkan bagian selatan kompleks merupakan kawasan Sungai Pangkung dimana terdapat reruntuhan stupa Buddha. Stupa tersebut berbentuk payung bersusun 13 dan memiliki tiga cabang yang dipahat di atas batu besar.
Bagian utara kompleks adalah candi-gua yang dikenal sebagai Goa Gajah. Gua batu ini dipahat dan menjorok sejauh 5,75 meter dari dinding, dengan tinggi 6,75 meter dan lebar 8,6 meter. Permukaan goa menghadap ke selatan, dengan ornamen raksasa dan floral berupa dedaunan (patra) dan fauna kera dan babi.
Tepat di tengah-tengah relief terdapat mulut goa dengan lebar 1 meter dan tinggi 2 meter. Di atas mulut gua duduk pahatan wajah raksasa dengan mata besar dan bulat melirik ke kanan; rambut dan alisnya terlihat kasar, hidung besar serta bibir atas dengan deretan gigi tepat di atas lubang gua.
Patung kuno yang menggambarkan Hariti, Ganesha, dan raksasa dapat ditemukan di depan gua. Dalam dongeng Buddhis, sosok Hariti ini dikenal dengan karakternya yang jahat dan suka memangsa anak-anak. Tetapi setelah mempelajari agama Buddha, dia berubah menjadi penyayang anak-anak. Patung Hariti digambarkan dengan tiga anak di kanan dan kiri dan satu di pangkuannya. Dalam fabel lokal Bali, Hariti dikenal sebagai Men Brayut (Ibu Brayut).
Sementara itu, ketika melangkah ke bagian selatan kompleks yang terletak di sebuah lembah yang dikenal sebagai Tukad Pangkung ada ditemukan patung-patung Buddha dan merupakan peninggalan kuno dalam bentuk relief besar tetapi runtuh ke dasar lembah. Barangkali, ini adalah salah satu bagian dari kuil tebing.
Berdasarkan data sejarah yang ada, dapat dikatakan bahwa situs Gua Gajah, objek wisata di Gianyar ini, merupakan tempat suci yang berfungsi sebagai pusat kegiatan agama Hindu dan Buddha pada masa pemerintahan Dinasti Warmadewa dari abad ke-10 hingga ke-14 Masehi (400 tahun).