Melewati Jembatan Gantung Angker Tengah Malam

Ilustrasi Jembatan gantung.
Ilustrasi Jembatan Gantung.
banner 468x60
  • TENGAH malam melewati jembatan gantung berselasar bambu yang angker membuat Nyoman Cager merasa takut.
  • Berbagai cara dilakukan untuk menghilangkan rasa takut, namun perasaan itu selalu muncul dan mengganggunya

Malam kian larut dan merayap jauh dan sudah hampir mendekati tengah malam. Seorang pemuda yang bernama Nyoman Cager masih asyik mengobrol di rumah kawannya di desa seberang.

Kalau memang topik obrolannya sudah cocok, Nyoman memang sering lupa waktu. Kendati pun ia bukan tipe seorang pemuda pemberani, sejauh itu ia belum pernah mengalami kejadian-kejadian aneh atau hal-hal yang membahayakan dirinya.

“Wah, tidak terasa ya Bli (panggilan kepada kakak dalam Bahasa Bali) malam sudah demikian larut. Bahkan ini sudah lewat tengah malam. Saya mohon diri dulu,” kata Nyoman kepada Pak Toro, seorang medium yang disegani di desa itu.

“Baiklah Man. Berani kamu pulang sendirian?”

“Saya coba Bli. Semoga tidak ada rintangan.”

Nyoman pun mohon diri dan melangkah pulang sendirian ketika sudah menjelang pagi hari. Sang rembulan yang menerangi langit pada malam itu hanya sesekali menampakkan wajahnya. Lebih sering diselimuti awan yang ditiup angin.

Ketika menuruni jalan setapak menuju jembatan gantung berselasar bambu yang berlokasi di antara dua kuburan, hatinya mulai merasa tidak tenang. Pikirannya mulai menerawang ke mana-mana, apakah ia berani melewati jembatan gantung angker tersebut atau tidak. Kalau berbalik, ia merasa tanggung karena berada di pertengahan antara rumah sang medium dan rumah dirinya.

Ia pun harus memutar otak sebelum mencapai ujung jembatan bambu. Menurut cerita orang tua yang ia pernah dengar, kalau kita takut, maka ‘mahluk gaib’ atau sang penguasa malam akan berani mengganggu kita.

“Baiklah, akan kuambil beberapa kerikil. Nanti akan kugelindingkan di atas selasar bambu jembatan itu,” katanya dalam hati.

Benar saja. Satu persatu kerikil dalam genggamannya digelindingkan di atas jembatan itu. Keberaniannya mulai muncul dan berhasil menghilangkan rasa takutnya. Belum tuntas rasa takutnya, ketika tiba di ujung jembatan nampaknya masih ada satu rintangan lagi untuk melewati kuburan tengah malam itu.

Ia seperti melihat ada api di Pura Merajapati yang terletak di hulu kuburan. Namun itu bukanlah sembarang api. Kelihatan seperti ‘rangda’ dengan rambutnya yang putih dan api lidahnya yang menjulur-julur. Jantungnya semakin berdegup kencang. Ia berdiri sejenak sembari menarik nafas dan mencari akal apa yang harus dilakukan.

“Cetraak,” Nyoman melempar dua kerikil yang tersisa di dalam sakunya ke arah rumpun bambu di dekat jembatan tersebut.

“Eitt, siapa itu ya???” demikian suara entah dari mana asalnya.

“Saya Nyoman Cager,” sahut Nyoman.

“Ooh… Nyoman. Dari mana Man baru datang larut malam seperti ini?”

“Dewa Aji, saya kira siapa. Saya dari rumah Pak Toro. Karena ngobrolnya keasyikkan, ya, jadi lupa waktu begini,” kata Nyoman yang sudah mengenali suara tersebut karena sering berpapasan ketika pulang dari mengajar pada siang harinya.

“Tenangkan dirimu Man.” Kata Dewa Aji.

Dewa Aji adalah seorang warga pendatang yang bermukim tidak jauh dari lokasi kuburan itu. Sepertinya ia tidak merasa takut, seperti pada malam selarut itu pun masih berani lewat di areal kuburan. Ia mendekati Nyoman sambil mengobrol.

Ternyata yang dikira ‘api lidah rangda’ tadi adalah Dewa Aji yang sedang menyulut rokoknya dengan obor kecil dekat Pura Merajapati. Yang dikira rambut rangda tadi adalah daun simbar (sejenis paku-pakuan yang bisa digunakan main layang-layang) yang tumbuh namun sudah kering di atap pelinggih pura tersebut. Karena bayangan pikiran Nyoman sudah mengarah jauh ke hal-hal mistis seperti itu, maka seperti itulah yang dilihatnya.

“Mengapa tengah malam begini beli minyak, ga bisa besok Jik,” tanya Nyoman dengan penuh penasaran.

“Begini Man, istri saya besok mau jualan ke arena tajen di desa sebelah. Pagi-pagi harus sudah disiapkan segala sesuatunya, termasuk jajan-jajan yang akan dijual itu.”

“Oooh begitu toh, Jik. Tadi saya sudah mengira Dewa Aji yang bukan-bukan.”

“Ya, gak apa-apa toh Man, ini kan sudah tengah malam. Apa yang Nyoman bayangkan memang bisa saja terjadi. Apalagi ini memang area kuburan, khan? Juga waktu segini bukan milik kita lagi.”

Setelah percakapan itu, mereka pun masing-masing melanjutkan perjalannya pulang. Sembari menelusuri jalan setapak, Nyoman juga tidak lupa berdoa agar tidak ada lagi rasa takut seperti sebelumnya.

Konon jembatan itu angker karena ada penampakan aneh-aneh. Misalnya, tepat tengah hari ada seorang gadis lewat sepulang sekolah menemukan tengkorak beralaskan kain kafan. Atau bambu dekat jembatan diduga ditimpuki oleh ‘mahluk gaib’ ketika senja saat para petani pulang dari sawah. Ada juga sepeda motor yang tiba-tiba mogok saat turunan jalan setapak saat tengah malam dan cerita lainnya.

banner 300x250

Related posts