Pura Penataran Sasih: Mitos Bulan Jatuh dan Jejak Perunggu di Pejeng

Bangunan pura
Ilustrasi bangunan pura. (Image: Dibuat dengan AI/Nusaweek)
banner 468x60

DESTINASI Bali tidak hanya menawarkan pantai berpasir putih atau sawah berterasering. Di jantung desa Pejeng, Kabupaten Gianyar, tersembunyi sebuah situs yang menjadi jembatan antara mitologi langit dan kecanggihan metalurgi masa lampau: Pura Penataran Sasih.

Pura ini bukan hanya menjadi tempat ibadah, melainkan juga sebuah “museum hidup” yang menyimpan salah satu artefak prasejarah terpenting di Asia Tenggara. Bagi para pencinta sejarah dan spiritualitas, Pura Penataran Sasih menawarkan perjalanan waktu ke masa di mana Kerajaan Pejeng (Bedahulu) memegang kendali atas Bali kuno.

Read More

Sejarah dan Legenda “Bulan yang Jatuh”

Nama “Sasih” dalam bahasa Bali Kuno berarti “Bulan”. Nama ini diambil dari benda pusaka utama yang disimpan di pura ini, yaitu sebuah nekara perunggu raksasa yang dikenal sebagai Bulan Pejeng.

Secara historis, Pura Penataran Sasih didirikan pada masa kejayaan Kerajaan Pejeng (sekitar abad ke-9 hingga ke-11 Masehi), sebelum pusat kekuasaan beralih ke Majapahit dan Gelgel. Pejeng pada masa itu adalah pusat pemerintahan dan spiritual yang sangat kuat.

Namun, legenda rakyat memberikan kisah yang lebih mistis. Konon, pada zaman dahulu, ada tiga belas bulan di langit yang bersinar terang siang dan malam. Salah satu bulan tersebut jatuh ke bumi dan tersangkut di pohon Pule di desa Pejeng. Sinarnya yang sangat terang mengganggu seorang pencuri yang sedang beraksi. Kesal karena aksinya terhalang cahaya, pencuri itu memanjat pohon dan mengencingi bulan tersebut agar padam. Bulan itu meledak, memancarkan kilatan dahsyat yang membunuh si pencuri seketika, dan jatuh ke tanah menjadi sebuah nekara perunggu yang retak di bagian bawahnya. Retakan inilah yang hingga kini masih bisa dilihat pada fisik nekara tersebut.

Peninggalan Arkeologis: Nekara Terbesar di Asia Tenggara

Daya tarik utama dan paling misterius dari pura ini adalah Nekara Pejeng. Ini bukan sembarang benda; ini adalah nekara perunggu tipe Dong Son yang dicetak secara utuh (satu cetakan/ monolith).

Dengan tinggi 186,5 cm dan diameter bidang pukul 160 cm, nekara ini dinobatkan sebagai nekara perunggu zaman prasejarah terbesar di dunia yang dicetak dalam satu keping. Para arkeolog memperkirakan usianya sudah ribuan tahun, berasal dari zaman Perundagian (Zaman Logam). Keberadaan benda ini membuktikan bahwa nenek moyang masyarakat Bali kuno telah menguasai teknik peleburan logam tingkat tinggi (a cire perdue) atau memiliki hubungan dagang internasional yang luas.

Selain Nekara, kompleks pura ini juga menyimpan berbagai arca batu kuno dari periode Hindu-Buddha, seperti Arca Ganesha dan patung-patung perwujudan leluhur yang menunjukkan perpaduan gaya seni Jawa Kuno dan Bali.

Makna Simbolisme Benda Arkeologis

Setiap detail pada Nekara Pejeng memiliki makna simbolis yang mendalam, yang berkaitan erat dengan pola hidup agraris masyarakat Bali kuno:

Motif Bintang: Di pusat bidang pukul nekara terdapat motif bintang bersudut delapan. Ini melambangkan matahari atau pusat kosmos, sumber energi kehidupan.

Motif Katak: Di bagian bahu nekara, terdapat hiasan berderet yang menyerupai katak. Dalam kebudayaan agraris kuno, katak adalah simbol hujan.

Kombinasi simbol ini menguatkan teori para ahli bahwa Nekara Pejeng berfungsi sebagai alat ritual meminta hujan. Suara yang dihasilkan nekara ketika dipukul (pada masa lampau) dipercaya menyerupai guruh atau petir yang akan memancing turunnya hujan untuk kesuburan sawah. Ini menunjukkan betapa vitalnya peran pura ini dalam menjaga ketahanan pangan kerajaan melalui ritual spiritual.

Gaya Arsitektur: Harmoni Megalitikum dan Bali Madya

Arsitektur Pura Penataran Sasih sangat unik karena mempertahankan nuansa Bali Kuno. Pura ini menganut konsep Tri Mandala (tiga halaman: Nista, Madya, Utama), namun suasananya jauh lebih purba dibandingkan pura-pura besar lainnya di Bali.

Yang paling mencolok adalah bangunan Pelinggih Ratu Sasih, sebuah menara tinggi tempat disimpannya Nekara Pejeng. Benda ini diletakkan di tempat yang sangat tinggi dan tidak boleh dilihat dari jarak dekat oleh sembarang orang, menambah aura sakralnya.

Di halaman utama (Utama Mandala), pengunjung dapat melihat deretan arca batu yang diletakkan di balai-balai pelindung. Penataan ini mencerminkan tradisi megalitikum (pemujaan batu leluhur) yang kemudian dibalut dengan arsitektur Pura khas Bali yang menggunakan bata merah dan ukiran paras. Pepohonan besar yang menaungi area pura memberikan suasana sejuk, hening, dan magis.

Daya Tarik Wisata: Mengapa Harus Berkunjung?

Pura Penataran Sasih adalah destinasi sempurna bagi wisatawan yang ingin menghindari keramaian (overtourism) di Bali Selatan dan mencari kedalaman budaya.

Wisata Edukasi Sejarah: Ini adalah tempat terbaik untuk melihat bukti fisik zaman Perunggu di Indonesia secara langsung.

Atmosfer Spiritual: Berbeda dengan pura wisata yang padat, di sini Anda bisa merasakan ketenangan (taksu) yang sesungguhnya.

Lokasi Strategis: Terletak di jalur wisata Tampaksiring, pura ini sangat dekat dengan Goa Gajah dan Tirta Empul, sehingga mudah dimasukkan dalam rencana perjalanan (itinerary).

Pura Penataran Sasih di Pejeng adalah pengingat bahwa Bali memiliki sejarah peradaban yang panjang dan canggih jauh sebelum era modern. Mengunjungi pura ini berarti menghormati warisan leluhur yang telah mampu “menangkap bulan” dan menjadikannya simbol kesuburan abadi. (*)

banner 300x250

Related posts