Tiga Penyintas Bunuh Diri Berbagi Cerita di Pantai

  • Whatsapp
Ilustrasi tiga orang di pantai
Ilustrasi tiga orang di pantai dan sedang berbagi cerita.
banner 468x60
  • SETIAP orang pasti mengalami aneka permasalahan dalam kehidupan ini. Ada yang berusaha keras untuk menyelesaikannya dan ada pula yang berputus asa karena tidak menemukan jalan keluar. Jalan terakhir yang diambil adalah bunuh diri.
  • Bila berhasil menyelesaikannya dengan baik, atau gagal bunuh diri, itu akan menjadi cerita indah yang dikenang seumur hidup. Demikian pula yang dikisahkan oleh tiga penyintas bunuh diri berikut ini

Saat sang mentari sudah sedikit condong ke barat panasnya pun sudah perlahan mulai berkurang. Ombak yang bergulung-gulung ke pantai tidak kelihatan seperti pada siang harinya. Semakin sore, air laut semakin surut karena saat itu bulan purnama.

Banyak pengunjung yang memadati salah satu pantai yang berada di selatan Pulau Bali tersebut. Pasir hitamnya menggoda beberapa anak untuk bermain. Ada yang membuat patung pasir, ada yang bermain mobil-mobilan dan lain-lain.

Angin semilir dan kehangatan pasir pada sore itu paling tidak masih dirasakan oleh tiga laki-laki paruh baya. Mereka sama-sama menanam diri mereka di dalam pasir. Hanya memperlihatkan kepala karena badan mereka sedang menjalani terapi pasir hangat.

Setelah selesai, mereka pun saling mengobrol atau berbagai cerita tentang apa saja. Menit demi menit berlalu dan sudah hampir dua jam-an mereka larut dalam obrolan yang mengasyikkan. Mereka adalah Pak Bagus, Pak Ketut dan Pak Made.

“Apa pengalaman yang tak terlupakan dalam hidup Pak Made?” tanya Pak Bagus kepada Pak Made ketika memulai obrolan curhatan itu.

“Sebenarnya ada beberapa Pak. Namun yang paling diingat adalah waktu saya mau bunuh diri. Karena penyakit saya tidak kunjung sembuh hingga hampi 15 tahun, saya benar-benar berputus asa saat itu,” kata Pak Made.

“Lalu, apa yang Pak Made lakukan?”

“Saat itu rumah sedang kosong. Saya sudah mengambil sebotol pestisida yang saya biasa pakai menyemprot hama belalang di sawah. Nah, begitu membuka botolnya di dekat lumbung padi……” cerita Pak Made sementara matanya menerawang jauh dan ceritanya berhenti sampai di situ.

“Kenapa berhenti Pak??”

“Saya teringat kisah sedih yang dialami seorang kerabat dekat. Ia gagal bunuh diri dengan cara yang sama gara-gara masalah asmara terlarang. Ia justru bisa akhirnya diselamatkan karena keburu kentara, kemudian dibawa ke rumah sakit. Saya khawatir, hal itu juga terjadi pada diri saya.”

“Saya turut perihatin ya Pak. Memang Bapak mungkin belum ditakdirkan meninggal saat itu dengan cara demikian. Tuhan berkehendak Bapak masih menikmati sisa anugerah kehidupan ini. Bapak mesti melihat keberhasilan anak-anak serta cucu-cucu Bapak yang lucu.”

“Ya betul Pak. Walaupun saya tidak sembuh betul sejauh ini, saya tetap bersyukur. Kalau saya telanjur dan gagal bunuh diri, mungkin saya harus menanggung rasa malu. Namun, kalau berhasil, ceritanya akan berhenti sampai di situ.”

***

Sekarang beralih ke Pak Ketut. Tubuhnya agak kurus dan tinggi, namun memiliki selera humor yang bagus. Sehari-hari ia bercocok tanam di kampung sampil memelihara beberapa ekor sapi di ladangnya.

“Nah, sekarang giliran Pak Ketut ya. Pengalaman atau kisah apa kira-kira yang menarik dalam hidup Bapak, hingga sejauh ini?” tanya Pak Bagus.

“Sebenarnya banyak Pak. Kebetulan saya juga mengalami hal yang sama dengan Pak Made.”

“Bagaimana ceritanya kok bisa berniat bunuh diri ya Pak?”

“Awalnya anak saya kecelakaaan saat bermain bersama teman-temannya. Karena ada cedera dan syarafnya kejepit, ia harus menjalani operasi. Masalahnya justeru harus menjalani operasi berkali-kali. Karena kondisi ini, ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah.”

“Ck ck ck…. (sambil menggeleng-gelengkan kepala). Saya turut perihatin Pak Ketut. Ini tentu menguras banyak biaya. Belum lagi Bapak harus menunggui si buah hati sehingga tidak bisa bekerja. Berapa lama ini kondisi ini berlangsung?”

“Lebih dari setahun Pak. Saya harus bolak-balik dari kampung ke rumah sakit. Setelah operasi pertama saya menunggu dulu beberapa minggu untuk operasi berikutnya karena dinyatakan belum beres.”

“Berapa biaya yang dihabiskan?”

“Semua biayanya gratis Pak, semua ditanggung asuransi jaminan sosial, dan untuk kepesertaan kami sekeluarga ditanggung pemerintah.”

“Terus masalah yang paling berat Bapak rasakan, kapan?” sela Pak Made.

“Begini, setelah menjalani operasi belasan kali itu, anak saya belum juga dinyatakan sembuh. Sementara bekal saya sudah hampir habis dan semua sapi saya sudah dijual. Sekarang tinggal mengandalkan isteri saja untuk bekerja di sawah. Saya tidak sampai hati.”

“Lalu apa yang terlintas di benak Bapak ketika itu?” tanya Pak Bagus.

“Pikiran saya terasa begitu gelap karena keadaan. Kemudian saya mengambil seutas selendang yang sering saya pakai sembahyang. Ketika itu, rumah juga dalam keadaan sepi. Saya berjalan ke kebun belakang, di sana ada beberapa pohon cokelat.”

“Bapak langsung gantung diri di pohon cokelat itu?”

“Tidak. Saya berdoa dulu dan mohon maaf kepada keluarga karena himpitan beban hidup dan penderitaan ini saya mengakhiri hidup dengan jalan seperti itu.”

“Sejauh itu, apakah Bapak merasa bersalah?”

“Pasti. Kemudian saya memilih pohon cokelat yang tidak terlalu tinggi di dekat jurang. Tali saya ikat di leher, lalu naik untuk mengikatkan ujung tali yang lain di cabang pohon. Nah, ketika naik pohon coklat itu saya melihat beberapa orang lewat di jalan di bawah kebun saya. Mereka membonceng pasangan dan anak mereka. Saya membayangkan, kalau saya sampai tiada cita-cita anak saya untuk dibelikan motor pasti tidak kesampaian…. .” cerita Pak Ketut sambil pikirannya menerawang jauh.

“Terus Pak Ketut berhenti sampai disitu,” tanya Pak Made penasaran.

“Saya terus berpikir. Dalam benak saya banyak sekali pertanyaan berkecamuk. Bagaimana nanti nasib isteri saya? Apakah ia akan menikah lagi? Bila ya, siapa yang mengasuh anakku yang sebatangkara?”

“Nah, karena perenungan terus-menerus itu, saya kemudian mengurungkan niat saya untuk bunuh diri. Saya ingin menghadapi kesulitan ini bersama-sama, termasuk dengan istri saya.”

***

Angin pantai sudah semakin dingin. Itu pertanda hari sudah kian sore karena matahari sudah mau tenggelam di ufuk barat. Namun cerita mereka bertiga belumlah usai. Masih ada waktu untuk melanjutkan.

“Nah, sekarang giliran saya. Rasanya tidak enak kalau saya tidak membagi kisah sedih saya ini. Saya mengalami nasib yang sama dengan Bapak berdua,” kata Pak Bagus.

“Saya pikir Pak Bagus tidak ada masalah. Karier, keuangan dan kesehatan semuanya baik-baik saja,” respon Pak Nengah.

“Ya, benar. Bapak kan tidak ada masalah. Terus kesulitannya di mana?” tanya Pak Ketut semakin serius.

“Namanya juga kehidupan Pak. Dalam tiga hal tadi, memang saya tidak ada masalah. Justeru masalahnya datang dari pihak ketiga, atau orang luar. Secara tidak langsung mereka menggerogoti keuangan kami. Dia bukan anggota keluarga atau kerabat dekat.”

“Kok bisa Pak Bagus?”

“Isteri saya diajak ‘berbisnis” money game. Ya, semacam bisnis tipu-tipu gitu. Setelah uang terkumpul koordinatornya kemudian kabur bersama uang tersebut.”

“Apa Bapak tidak berusaha memperingatkan isteri Bapak untuk berhenti?” tanya Pak Made.

“Memang istri saya yang salah dan sudah berkali-kali diperingatkan, namun ia tidak mau berhenti. Ia terus diyakinkan oleh temannya dengan berbagai iming-iming keuntungan. Karena sudah kepalang basah dan uang sudah telanjur banyak dikeluarkan istri saya pun jalan terus.”

“Apa yang kemudian terjadi?” sergah Pak Ketut.

“Karena merasa jengkel dan nasihat yang berkali-kali diberikan tidak dihiraukan, saya menjadi berputus asa. Semua upaya nampaknya sia-sia saja. Orang yang saya ajak berbagi suka dan duka semestinya bisa saling mengingatkan dan mendukung.”

“Pada suatu siang saya nekat ingin mengakhiri hidup dengan menceburkan diri ke sungai yang dalam dari atas jembatan. Saya ambil sepeda motor dan kebetulan di rumah tidak ada siapa-siapa. Di tengah perjalanan ke lokasi tiba-tiba sepeda motor mogok. Harus didorong ke bengkel terdekat. Saat tiba di bengkel saya seperti kehabisan nafas. Sambil menunggu perbaikan, saya meneguk minuman dingin. Tiba-tiba teringat ketika menasehati anak saya dua hari sebelumnya agar saat menghadapi masalah tidak mengambil jalan pintas seperti bunuh diri.”

“Memangnya kalau bunuh diri itu kenapa?” tanya Pak Made.

“Saya pernah membaca sebuah buku yang mengatakan bila bunuh diri kita tidak akan bisa memasuki alam roh yang menjadi destinasi seperti meninggal secara wajar. Kita akan terombang-ambing di alam antara sampai waktu kita ditakdirkan untuk meninggal tiba. Nah, kalau umur kita di dunia ini masih panjang, berarti masa terombang-ambing itu pasti juga lama.”

“Lalu?” tanya Pak Ketut dengan penasaran.

“Ya, saya putuskan tidak jadi ke jembatan itu. Sehingga sekarang saya bisa berjumpa dan bercerita dengan Bapak berdua ha ha ha ..,” jawab Pak Bagus sambil sedikit melucu. **

banner 300x250

Related posts

banner 468x60