- BEBERAPA orang asing berjasa memromosikan pariwisata Bali. Saat berkunjung, mereka tidak hanya menikmati keindahan namun juga mendokumentasikannya
- Robert Koke adalah salah seorang di antara mereka dan dianggap menjadi pelopor surfing di Bali
Selain menjelajahi Pulau Bali dari aspek keindahan budayanya, ada juga wisatawan asing yang menggali potensi lain yang tersembunyi. Salah satunya mereka kemudian memperkenalkan atraksi baru yakni berselancar atau surfing setelah melihat ketinggian ombak yang menarik minat mereka. Ini kemudian menjadi cikal bakal selancar pantai di Bali.
Robert Koke (1910–)
Seorang pemuda Amerika, Robert Koke, melakukan perjalanan dari Singapura ke Bali dengan kapal uap pada tahun 1936. Kemudian, seorang kawan wanitanya di Bali menyewakan mobil dan mengajaknya untuk menyaksikan keindahan Pantai Kuta. Wanita itu adalah Muriel Pearsen, yang di Bali lebih dikenal dengan nama K’tut Tantri— seorang Inggris yang eksentrik.
Robert Koke, 26, kemudian jatuh cinta pada pesona Pantai Kuta. Pria ini berperawakan tinggi, langsing dan kekar. Saat itu dia sedang belajar di UCLA sebelum mendapatkan pekerjaan bagian produksi di MGM. Salah satu tugas pertamanya saat itu adalah melakukan perjalanan ke Hawaii sebagai asisten sutradara. Di Waikiki, ia mendapat pengalaman pertama bermain selancar bersama anak-anak pantai dengan papan selancar kayu buatan sendiri.
Saat di Bali, ia juga membuat beberapa papan selancar kayu agar bisa digunakan oleh tamu, sambil menunggu kiriman papannya dari Hawaii. Karyawan dan tamu Kuta Beach Hotel yang ia dirikan diperkenalkan pada cara bermain selancar di pantai. Karena upayanya ini, dia kemudian danggap sebagai pelopor selancar di Bali.
Pada tahun 1960, mulailah berdatangan para peselancar dari Australia untuk menaklukkan pesona dan keekstriman ombak di pantai Bali. Setelah itu, aktivitas selancar di Bali pun semakin semarak dan digemari, apalagi setelah hadirnya film Morning of the Earth pada tahun 1972. Dalam film ini digambarkan kehidupan harmonis para peselancar dengan alam, dimana mereka menemukan gelombang pantai yang sempurna di beberapa tempat seperti di laut Australia dan Hawaii selain Bali.
WOJ Niewuenkamp (1874-1950)
Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp adalah seorang seniman dan etnolog Belanda. Ia sering melakukan perjalanan ke Timur Jauh dan Timur Tengah. Termasuk pula berbagai pulau di kawasan Hindia Belanda yang dimulainya dengan Pulau Jawa pada tahun 1898.
Perjalanan berikutnya adalah ke Bali dan Lombok pada tahun 1906 dan 1907. Ia menyaksikan dampak dari intervensi brutal militer Belanda tahun 1906 yang menghancurkan kerajaan merdeka terakhir di Bali. Sebagai seorang seniman, ia mengabadikan objek reruntuhan kota Denpasar yang dihancurkan oleh pasukan Belanda.
Lukisan tersebut kemudian dimuat dalam bukunya yang berjudul “Bali and Lombok” (1906–1910). Secara ringkas, buku tersebut memuat kajian etnografis dan arkeologis, dan dipandang sebagai buku awal yang penting tentang Pulau Dewata ini.
Sebagai seorang seniman dan ilmuwan, ia sangat terkesan oleh seni lukis tradisional Bali. Karenanya, ia menyempatkan diri belajar untuk itu. Di samping itu, ia juga menulis di beberapa jurnal tentang pengamatan dan studi yang ia lakukan di Bali.
Niewuenkamp juga dikenal sebagai ilmuwan pertama yang menggambarkan secara sistematis benda Zaman Perunggu yang di Bali dikenal sebagai Bulan Pejeng atau nekara perunggu terbesar di dunia yang berada di Pura Penataran Sasih. Satu lagi tonggak penting di Bali adalah penggambaran dirinya sebagai ‘bule naik sepeda’ pada relief tembok Pura Meduwe Karang Kubutambahan, Buleleng.
Arie Smit (1916-2016)
Smit adalah anak ketiga dari delapan bersaudara dari seorang pedagang di Zaandam, Belanda. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Di Batavia, ia bekerja sebagai litografer untuk Dinas Topografi tentara Belanda yang bertugas mengukir peta relief nusantara. Termasuk juga mengukir pegunungan Bali ke peta. Nah, hal ini kemudian memicu keinginan dirinya untuk suatu saat mengunjungi Bali.
Beliau juga sempat tinggal di Bandung dan mengajar di Seni Rupa ITB. Kemudian, atas undangan seorang seniman Belanda, Rudolf Bonnet, ia berkunjung ke Bali tahun 1956 dan bertemu pedagang seni James (Jimmy) Clarence Pandy, yang mengelola bisnis seni di Bali.
Pandy mengajak Smit tinggal di sebuah rumah di Pantai Sanur. Smith dan Pandy tetap berteman. Kecintaannya pada warna-warna cerah menginspirasi Smith untuk menggambar keindahan desa, sawah, pohon palem, dan puranya. Dengan bercelana pendek dan bersandal, ia gemar bersepeda ke desa-desa menangkap objek lukisannya.
Pada tahun 1960an, ia mendirikan sanggar seni di Penestanan Ubud dan mengajar pemuda setempat melukis. Generasi pelukis di bawah asuhannya yang pada puncaknya mencapai 300-400 terus mengembangkan perubahan yang diperkenalkan oleh Arie, aliran impresionisme. Namun Arie sendiri menolak menggolongkan dirinya ke aliran tertentu. Pada akhirnya dikenal sebagai aliran Young Artist.
Kecakapan baru ini mampu memberi peluang kesejahteraan bagi masyarakat setempat yang mengalami masalah ekonomi selepas Gunung Agung meletus pada tahun 1963. Beberapa anak didiknya yang berbakat adalah Nyoman Tjakra, Nyoman Londa, Wayan Pugur dan Ketut Soki.
Le Mayeur (1880-1958)
Andrien Jean Le Mayeur De Merpres atau Le Mayeur adalah seorang pelukis berkebangsaan Belgia dan lahir tanggal 9 Februari 1880 di Ixelles, Brussel.
Secara akademis, dia adalah seorang sarjana arsitektur. Mungkin karena bakat seni yang diwarisi dari ayahnya yang juga seorang pelukis, Le Mayeur kemudian lebih mementingkan seni lukis.
Setelah belajar di Ernest Blanc Garin, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan keliling dunia ke Italia, Prancis, Tunisia, Maroko, Aljazair, Thailand, India, dan Kamboja. Pada akhirnya, ia mendarat di Bali pada tahun 1932 dan kapalnya mendarat di pelabuhan Buleleng, Bali Utara.
Dari sini, ia kemudian melakukan perjalanan ke Denpasar dan menyewa rumah di Banjar Kelandis, Denpasar. Di sini, ia bertemu Ni Nyoman Pollok, seorang penari Legong cantik. Le Mayeur memintanya menjadi model lukisannya untuk dipamerkan di Singapura pada 1933.
Berkat keberhasilan pameran itu, Le Mayeur menjadi terkenal. Tiga tahun kemudian, mereka menikah dalam upacara adat Bali. Setelah itu, mereka membangun sebuah rumah di tepi Pantai Sanur di atas lahan seluas 32 are yang juga digunakan sebagai sanggar lukis.
Pada tahun 1956, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI, Bahder Djohan, berkunjung ke rumah Le Mayeur. Beliau terkesan dengan koleksi dan karyanya, dan kemudian meminta Le Mayeur untuk menjadikan rumahnya sebagai museum. Ide tersebut disambut baik oleh Le Mayeur.
Seperti yang dijanjikan sebelumnya, setelah beliau wafat, Ni Pollok akhirnya menyerahkan peninggalan suaminya kepada pemerintah Indonesia dan menjadikannya sebuah museum. Ada sekitar 75 lukisan Le Mayeur pada berbagai media seperti 28 buah di atas kanvas, 25 buah di atas hardboard dan 22 lainnya di atas anyaman daun ilalang.
Kini Museum Le Mayeur menjadi destinasi wisata yang bisa dikunjungi bila Anda sedang berlibur di kawasan Sanur. Masuk lewat Jalan Hang Tuah, kemudian ambil jalan pinggir pantai ke selatan. Nah, di sana akan bertemu papan nama Museum Le Mayeur.