- ‘MELASTI’ versi anak-anak ini dilakukan anggota sanggar drama cilik ke kali kecil di hilir persawahan dengan iringan tetabuhan alat dapur seadanya
- Seru sih seru, namun acara ini mendadak batal di tengah jalan karena diserang kawanan tawon hitam
Selain meniru drama tari, sanggar anak-anak juga meniru aktivitas melasti dengan cara mereka. Melasti adalah prosesi penyucian alat-alat upacara termasuk arca yang disucikan ke tempat sumber air (beji, danau, sungai atau laut).
Acara ini dilakukan pada sore hari setelah anak-anak pulang sekolah, makan siang dan tidur siang sebentar. Kira-kira pukul empat sore, anak-anak sanggar sudah ramai di ‘markas.’ Uniknya, markas tersebut berupa pondok darurat berbentuk huruf L yang berada di bawah sebuah pohon mangga. Atapnya dibuat dari jerami kering. Sementara di sekelilingnya, masih ada tumpukan jerami yang masih agak basah karena baru saja orang tua mereka memanen padi. Ini sering dimanfaatkan anak-anak untuk belajar jungkir balik dan ‘kesurupan.’
********
Seperti sebuah komunitas kecil, selain berlatih pentas seni, anak-anak anggota ‘sanggar cilik’ ini juga membuat acara ‘melasti’ ke sebuah pangkung (kali kecil di hilir persawahan).
Aktivitas ini dilakukan agar mereka mendapat pengalaman berbeda dengan menggabungkan aktivitas berkesenian dan meniru prosesi ritual.
“Kawan-kawan, sore ini kita akan mengadakan acara melasti ke Pangkung Karung. Jadi saya minta semua bersiap dengan peralatan yang perlu dibawa,” kata Nyoman, sang ketua sanggar.
“Baik kaakk…,” sahut anak-anak serempak.
Semua peralatan dipersiapkan dengan baik. Ada yang membawa lelontek (kain panjang yang ditusuk galah) dan galah berhiaskan daun aren muda serta mengusung topeng-topeng yang digunakan pentas. Wajah mereka pun dihiasi olesan tepung warna-warni sehingga kelihatan begitu seru dan klasik.
“Tang….teng…tang ….teng …ceng…..ceng….”
Demikianlah suasananya cukup ramai dan riuh. Mereka menabuh sembarang alat, ada tutup panci, ada kepala kompor minyak tanah, ember dan lain-lain. Pokoknya, apa saja yang bisa menghasilkan bunyi. Anak-anak tampak menikmati acara ‘melastinya’ dan ceria sekali.
Dalam perjalanan prosesi anak-anak itu, ada saja yang usil dimana mereka menabuh sambil memukul-mukul pagar hidup sepanjang jalan yang mereka lewati.
Kira-kira setelah sepuluh menit perjalanan mereka, tiba-tiba mereka berhamburan melarikan diri. Ada yang terjun ke sawah yang basah. Ada yang berbalik sambil menjerit dan meminta tolong.
“Tolong…..tolong…,” seru Wayan.
Nyoman sebagai ketua sanggar cepat bertindak dan mengamankan anak-anak itu. Segera ia menghampiri Wayan yang berguling-guling di pematang Sawah dan menanyakan ada apakah gerangan.
“Tenang…..tenang….ada apa ini Yan?” tanya Nyoman sambil jongkok.
“Awaass…awas…. ada tawon beterbangan di atas kepala!” seru Wayan kepada Nyoman agar ia cepat menghindar.
“Ini apa yang terjadi????”
“Tadi aku pas mukul-mukul pagar sambil menabuh tutup panci, tiba-tiba segerombolan tawon hitam berhamburan ke luar. Aku tak tahu di situ ada sarang tawon.”
“Lalu… ada yang disengat?”
“Ini kepalaku benjol dua Kak.”
“Yang lain, ada yang disengat juga?”
“Ketut, Kak. Di tangannya.”
“Gini aja, kita gak usah terusian acara ini. Mari kita pulang dan segera minta obat penawar racun sengatan tawon biar cepat hilang rasa sakitnya. Ayo semua bubar ya….” kata Nyoman.
“Ayo kawan-kawan, kita kumpulkan alatnya ke ‘markas.’ Lain kali aja kita lanjutkan acara ini. Gimana?” tanya Wayan sambil merintih kesakitan karena dua sengatan tawon di kepalanya.
“Setujuuuu…………….. !!!” sahut kawan-kawan yang lain kompak.
Agar tidak terlambat, mereka segera mengajak Wayan dan Ketut mengobati sengatan tawon tersebut. Kasihan mereka masih merintih kesakitan. Demikianlah acara ‘melasti’ versi anak-anak itu akhirnya dibatalkan. (*)