Aroma Cinta di Balik Semangkuk Lawar Entog

Lawar entog
Ilustrasi seorang vlogger kuliner membantu memasak lawar entog. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

ANYA melangkah keluar dari taksi, matanya menyapu sekeliling. Udara desa yang segar, berpadu dengan aroma bunga kamboja dan sesekali asap kayu bakar, adalah sambutan pertama di Desa Wisata Vanaloka. Sebagai seorang vlogger kuliner muda dari kota besar, ambisinya adalah mencari resep Lawar Entog autentik yang konon hanya bisa dibuat sempurna oleh segelintir orang di desa ini. Dan misinya membawanya langsung ke rumah seorang maestro, nenek dari pemuda bernama Kadek.

Dari jauh, Anya sudah melihatnya. Kadek, seorang pemuda desa dengan kulit kecokelatan karena matahari dan senyum yang hemat, sedang membelah kelapa di halaman rumah. Ia mengenakan kaus oblong lusuh dan sarung, aura kesederhanaan terpancar jelas darinya. Begitu Anya mendekat, Kadek hanya mengangkat alisnya, pandangannya dingin dan penuh curiga.

Read More

“Permisi, saya Anya. Saya dari Jakarta,” Anya memulai, mencoba ramah. “Saya datang untuk mendokumentasikan resep Lawar Entog Nenek.”

Kadek mendongak, tatapannya menimbang-nimbang. “Nenek saya sudah sepuh. Lagipula, resep Lawar Entog itu bukan untuk didokumentasikan sembarangan, Mbak.” Suaranya datar, tanpa intonasi ramah yang Anya harapkan. Anya yang terbiasa dengan efisiensi kota, frustrasi dengan ritme desa yang lambat dan keengganan Kadek berbagi. “Tapi ini penting, Mas. Ini warisan budaya yang bisa hilang kalau tidak didokumentasikan!”

Kadek hanya mengedikkan bahu, kembali fokus pada kelapanya. “Akan saya pertimbangkan.”

Hari-hari berikutnya, Anya berusaha mendekati Kadek. Dia mengikuti Kadek ke pasar tradisional yang ramai, mencoba membantu di kebun rempah Kadek yang rimbun, bahkan sesekali menawarkan diri untuk mencuci piring di dapur sederhana mereka. Kadek tetap acuh tak acuh, hanya menjawab seperlunya, disibukkan oleh pekerjaan tangannya.

“Mas Kadek, apa ini yang namanya base genep?” tanya Anya suatu pagi, menunjuk kumpulan bumbu yang sudah digiling halus di atas cobek batu.

Kadek melirik sekilas. “Iya. Ini bumbu dasar masakan Bali. Nanti baru disesuaikan lagi.”

“Boleh saya video sebentar prosesnya?”

“Terserah.”

Anya menghela napas. “Mas Kadek ini kok irit bicara sekali, ya?”

Kadek akhirnya menoleh, seulas senyum tipis terukir di bibirnya. “Saya bukan vlogger, Mbak. Pekerjaan saya bukan bicara.” Senyum itu, meskipun singkat, cukup membuat Anya tertegun. Ada sesuatu di balik tatapan mata Kadek yang sulit dibaca, namun memancarkan ketulusan.

Perjalanan Menuju Aroma Sejati

Kegigihan Anya perlahan melunakkan hati Kadek. Suatu pagi, Kadek mengizinkan Anya ikut bersamanya ke kebun rempah.

“Kalau mau tahu Lawar Entog, harus kenal dulu dengan ‘jiwanya’,” Kadek memulai, sambil menunjuk sebatang lengkuas muda. “Ini namanya Isen. Aromanya khas, tidak bisa diganti.”

Anya terkesima melihat Kadek dengan sabar menjelaskan setiap detail, dari cara memetik kunyit yang benar hingga menggiling bumbu base genep dari nol dengan cobek batu besar. Tangannya begitu cekatan, seolah menyatu dengan setiap rempah yang disentuhnya.

“Saya biasa pakai blender, Mas,” Anya mengakui, sedikit malu.

Kadek menggeleng. “Blender tidak akan mengeluarkan sarinya sempurna, Mbak. Proses itu penting. Sama seperti hidup, butuh kesabaran.”

Anya tertawa kecil. “Wah, ada filosofinya juga ya.”

Keterbukaan Kadek semakin terlihat saat mereka berpetualang mencari bahan-bahan langka untuk Lawar, yang Kadek sebut “bahan rahasia keluarga.” Petualangan ini membawa mereka jauh ke dalam hutan desa, menyusuri sungai kecil yang berliku. Anya, yang awalnya canggung berjalan di medan yang tidak rata, sering terpeleset. Kadek dengan sigap selalu menangkapnya, tawa kecilnya sesekali pecah melihat kegugupan Anya.

“Hati-hati, Mbak. Ini bukan jalanan aspal,” Kadek mengingatkan sambil memegang lengan Anya agar tidak jatuh.

“Iya, iya, Mas Kadek. Saya kan anak kota. Mana biasa begini,” Anya mencibir, namun diam-diam menikmati perhatian kecil itu.

Air Terjun Pengantin dan Pengakuan Hati

Perjalanan itu akhirnya berakhir di sebuah permata tersembunyi: Air Terjun Pengantin. Air terjun berundak itu mengalir anggun, menciptakan kolam-kolam alami yang jernih di bawahnya. Gemuruh air yang tak henti-hentinya menenangkan jiwa, dan kesegaran udaranya terasa seperti membasuh segala kekakuan Anya.

Anya terkesiap. “Indah sekali, Mas! Kenapa namanya Air Terjun Pengantin?”

Kadek tersenyum tipis, menatap air terjun. “Konon, di sini dulu sering ada pasangan muda yang bertemu. Mereka percaya, kalau mandi bersama di sini, cinta mereka akan abadi. Air terjun ini jadi saksi bisu.”

Hening sejenak. Hanya suara gemuruh air yang mengisi udara. Kadek berbalik menghadap Anya, tatapannya kini lebih lembut. “Resep Lawar Entog ini, Mbak Anya, bukan cuma soal rasa. Ini tentang ingatan, tentang sejarah, tentang cinta yang diwariskan.” Matanya menerawang. “Nenek saya selalu bilang, setiap bahan, setiap bumbu, punya kisahnya sendiri. Dan kita, yang membuat dan memakannya, menjadi bagian dari kisah itu.” Anya melihat Kadek bukan lagi pemuda yang kaku, melainkan seorang penjaga warisan yang berdedikasi. Dia merasakan kedalaman yang belum pernah ia temukan di kota.

Resep Cinta yang Sempurna

Esok harinya, Kadek akhirnya mengajari Anya cara membuat Lawar Entog secara langsung. Dia bahkan mengizinkan Anya untuk mencoba memotong daging dan mencampurkan bumbu.

“Masukkan kelapanya perlahan, ya,” Kadek menginstruksikan.

Anya, yang terlalu bersemangat, tanpa sengaja menambahkan terlalu banyak parutan kelapa. Lawar mereka jadi terlalu kering.

“Aduh, Mas Kadek! Kering banget ini!” Anya mengernyitkan dahi.

Kadek hanya tersenyum tipis. “Kurang air, Mbak. Ini bukan resep instan,” candanya. Lalu, tanpa ragu, ia mengambil tangan Anya, membimbingnya untuk mengambil sedikit air kelapa muda dan mencampurkannya dengan takaran yang pas. Sentuhan tangan Kadek yang hangat, membimbing tangannya, membuat jantung Anya berdesir. Itu bukan sekadar koreksi resep, tapi sebuah jembatan yang menghubungkan mereka.

“Kamu punya bakat, Anya,” bisik Kadek, suaranya dekat di telinga Anya. “Tapi butuh kesabaran.”

Melalui tawa saat mencoba resep, melalui tantangan mencari bahan, dan melalui bisikan rahasia di antara gemuruh air terjun, Anya tidak hanya belajar tentang Lawar Putih. Ia belajar tentang kesabaran, tentang menghargai proses, tentang kehangatan sebuah komunitas yang Kadek adalah bagian darinya. Ia menemukan bahwa cinta bisa tumbuh dari perbedaan, sehangat rempah yang mereka olah bersama, dan seindah gemericik Air Terjun Pengantin yang menjadi saksi bisu kisah mereka.

Vlog terakhir Anya adalah sebuah mahakarya. Bukan hanya tentang langkah demi langkah pembuatan Lawar Putih yang sempurna, tapi juga tentang keindahan Desa Vanaloka, tentang kehangatan penduduknya, dan yang terpenting, tentang Kadek. Di akhir video, Kadek, dengan sedikit malu-malu, akhirnya ikut tampil, menunjukkan senyum tulusnya dan bercerita tentang kebanggaannya pada warisan kuliner mereka.

“Resep ini hidup,” kata Kadek di kamera, matanya menatap Anya, “karena ada hati yang menjaganya.”

Anya tersenyum, hatinya menghangat. Ia tahu, hati itu bukan hanya tentang warisan kuliner, tapi juga tentang dirinya.

Kini, setiap kali Anya memakan Lawar Entog, ia tak hanya merasakan rempah-rempah yang kaya. Ia merasakan sentuhan tangan Kadek, gemuruh Air Terjun Pengantin, dan bisikan cinta yang tumbuh di balik semangkuk hidangan tradisional itu. Ia menemukan, bahwa resep terbaik dalam hidup adalah yang dicampur dengan cinta dan kesabaran, sama seperti Lawar Entog yang dia pelajari dari Kadek. Dan Kadek, sang pemuda penjaga tradisi, telah menemukan bahwa terkadang, sentuhan “modern” dan hati yang tulus bisa membawa warna baru ke dalam warisan yang sangat ia cintai. (*)

banner 300x250

Related posts