NIA menata kembali beberapa kuntum bunga lotus merah muda yang baru dipetiknya di atas meja kayu sederhana di depan rumahnya. Cahaya matahari pagi menyentuh lembut kelopaknya, membuatnya tampak semakin segar dan memesona. Sambil sesekali menjawab sapaan ramah dari beberapa tetangga yang lewat, Nia sesekali melirik layar laptop-nya, memastikan tidak ada notifikasi penting dari kelas kuliah online-nya.
Rutinitas Nia seperti ini setiap pagi. Setelah membantu ibunya memetik bunga lotus di kebun belakang rumah, ia akan menjajakannya di pinggir jalan desa. Bunga-bunga cantik itu selalu menjadi incaran ibu-ibu rumah tangga dan pemilik usaha kecil untuk dekorasi. Hasil penjualannya lumayan, cukup untuk membantu biaya kuliahnya di universitas terbuka.
Suatu pagi yang cerah, seorang pria dengan kamera besar di lehernya berhenti di dekat meja Nia. Penampilannya kasual dengan kaos polos dan celana pendek, namun sorot matanya tampak tertarik dengan hamparan bunga lotus di belakang rumah Nia yang terlihat dari jalan.
“Selamat pagi,” sapa pria itu dengan senyum ramah. “Bunga lotusnya cantik sekali.”
Nia tersenyum, “Selamat pagi, Mas. Terima kasih.”
“Saya Arya,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. “Saya seorang fotografer. Saya sedang mencari objek foto untuk website dan media sosial saya. Kebun lotus Anda terlihat sangat indah.”
Nia menjabat tangannya dengan ragu. “Saya Nia. Kebun ini milik ibu saya. Apa Mas tertarik untuk memotretnya?”
“Tentu saja! Saya sudah lama mencari kebun lotus yang seindah ini. Apakah saya diizinkan mengambil beberapa foto?” tanya Arya antusias.
“Boleh saja, Mas. Tapi mohon hati-hati ya, jalannya agak becek setelah hujan semalam,” pesan Nia.
Arya mengangguk senang. Ia kemudian meminta izin untuk melihat lebih dekat ke dalam kebun. Nia dengan senang hati mengantarnya. Arya tampak takjub dengan pemandangan ribuan bunga lotus yang bermekaran dalam berbagai warna. Ia mulai mengabadikannya dari berbagai sudut, dengan ekspresi wajah yang sangat menikmati pekerjaannya.
Beberapa hari berikutnya, Arya kembali lagi. Kali ini, ia membawa beberapa hasil cetakan foto-foto kebun lotus Nia yang sangat indah. Nia terkejut dan senang melihat betapa menawannya kebunnya di mata seorang fotografer profesional.
“Ini bagus sekali, Mas,” puji Nia tulus. “Saya tidak menyangka kebun biasa ini bisa terlihat seindah ini.”
“Justru karena ini ‘biasa’, keindahannya jadi lebih otentik, Nia,” balas Arya. “Saya sangat terinspirasi dengan warna dan bentuk bunga lotus di sini.”
Sejak saat itu, Arya jadi sering berkunjung ke rumah Nia. Kadang hanya untuk mengambil beberapa foto lagi, kadang hanya untuk sekadar mengobrol. Mereka sering bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing. Nia bercerita tentang kuliah online-nya yang terkadang membosankan dan cita-citanya untuk memiliki toko bunga sendiri. Arya bercerita tentang pengalamannya berkeliling desa mencari objek foto dan mimpinya untuk bisa menggelar pameran tunggal.
Dari obrolan-obrolan ringan itu, mereka menemukan banyak kesamaan. Mereka sama-sama menyukai ketenangan pedesaan, menghargai keindahan alam, dan memiliki mimpi-mimpi sederhana namun berarti. Arya selalu kagum dengan ketekunan Nia membantu ibunya sambil tetap fokus pada kuliahnya. Nia selalu terkesan dengan semangat Arya dalam mengejar passion-nya di dunia fotografi.
Suatu sore, saat Arya sedang memotret beberapa bunga lotus yang mulai merekah di bawah cahaya senja, Nia menghampirinya membawa secangkir teh hangat dan beberapa potong kue buatan ibunya.
“Ini, Mas. Pasti capek dari tadi memotret,” kata Nia sambil menyodorkan teh.
Arya menerima teh itu dengan senyum. “Terima kasih banyak, Nia. Kamu selalu perhatian.”
Mereka duduk berdampingan di tepi kebun, menikmati teh dan kue sambil menyaksikan matahari perlahan menghilang di ufuk barat. Suasana sore itu terasa begitu tenang dan damai.
“Nia,” panggil Arya pelan setelah beberapa saat hening.
Nia menoleh, menatap mata Arya yang tampak bersinar dalam remangnya cahaya senja.
“Sejak pertama kali saya melihat kebun lotus ini, saya sudah terpesona. Tapi setelah mengenal kamu, saya merasa ada hal lain yang membuat saya ingin terus kembali ke sini,” ujar Arya dengan nada lembut.
Nia merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Ia tidak berani menatap terlalu lama mata Arya.
“Saya… saya juga merasa nyaman setiap kali Mas Arya datang,” jawab Nia lirih, pipinya terasa sedikit memanas.
Arya mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Nia dengan lembut. “Nia, mungkin ini terlalu cepat, tapi saya merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Saya sangat menikmati setiap waktu yang saya habiskan bersamamu. Apakah kamu merasakan hal yang sama?”
Nia memberanikan diri menatap mata Arya. Ia melihat kejujuran dan kehangatan di sana. Senyum kecil terukir di bibirnya.
“Iya, Arya. Saya juga merasakannya,” jawab Nia dengan suara yang lebih mantap.
Arya tersenyum lega. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Nia.
Mereka terdiam sejenak, menikmati keheningan sore yang terasa begitu romantis.
Sejak saat itu, hubungan Nia dan Arya semakin dekat. Arya semakin sering datang ke rumah Nia, tidak hanya untuk memotret, tapi juga untuk menemani Nia setelah kuliahnya selesai atau sekadar membantu ibunya di kebun. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di sekitar desa, menikmati kuliner lokal, atau sekadar berbagi cerita dan impian.
Cinta tumbuh di antara mereka seiring dengan mekarnya bunga-bunga lotus di kebun itu. Cinta yang sederhana, tulus, dan seindah pemandangan kebun lotus di pagi hari. Mereka berdua percaya bahwa pertemuan mereka di antara hamparan bunga lotus yang indah itu bukanlah sebuah kebetulan, melainkan takdir yang telah mempertemukan dua hati yang saling mengagumi dan mencintai. (*)








