CAKRAWALA timur semakin terang dan pagi baru saja naik. Saat Tara tampak sudah bersemangat untuk memulai harinya di Pasar Ubud. Ia menghirup dalam-dalam aroma segar yang bercampur di udara—bau bumbu-bumbu, buah-buahan tropis, dan sedikit wangi dupa dari pura terdekat. Sebagai seorang chef dari Jakarta, Tara tengah mencari inspirasi baru untuk restorannya yang sedang berkembang. Bali, dengan kekayaan kuliner tradisionalnya, menjadi tujuan yang ideal.
Sambil melangkah masuk ke dalam pasar yang ramai, matanya bergerak lincah dari satu kios ke kios lain. Bumbu-bumbu Bali yang kaya dan eksotis, seperti kunyit, jahe, serai, dan lengkuas, semuanya tersaji dengan rapi, siap untuk ditawar. Tara selalu kagum dengan keberagaman rasa yang dapat ditemukan dalam masakan Indonesia, dan kali ini ia ingin membawa sentuhan Bali ke dalam menunya.
Tiba-tiba, di salah satu kios bumbu, Tara memperhatikan seorang pria yang sedang berbicara dengan ibu penjual. Caranya berbicara lembut namun tegas, dan dia tampak sangat akrab dengan bahan-bahan yang dihadapinya.
Pria itu lalu menoleh ke arah Tara dan tersenyum. “Sedang mencari bumbu khusus?”
Tara mengangguk sambil tersenyum balik. “Iya, aku chef dari Jakarta. Lagi cari inspirasi baru buat restoran. Kira-kira, di sini bisa dapat bumbu rahasia Bali yang otentik?”
Pria itu tertawa kecil. “Wah, kalau di Pasar Ubud ini, bisa dapat semuanya. Saya Putu McArya, kebetulan juga chef, tapi lebih sering masak buat upacara adat dan keluarga besar. Kalau kamu mau, aku bisa tunjukin bumbu-bumbu lokal yang jarang kamu temui di tempat lain.”
Tara merasa tertarik. “Tara. Boleh, aku sangat butuh referensi lokal yang asli.”
Mereka pun mulai berkeliling pasar, melewati kios-kios yang dipenuhi sayuran segar, buah-buahan eksotis, dan aneka rempah-rempah. Setiap kali mereka berhenti di suatu kios, Putu menjelaskan dengan detail tentang bumbu dan rempah-rempah Bali. Cara dia berbicara menunjukkan bahwa dia bukan hanya tahu bagaimana memasak, tapi juga mencintai setiap elemen dari masakan yang ia buat.
“Ini, namanya ‘base genep,” kata Putu sambil mengambil beberapa jenis rempah dari salah satu kios.
“Ini dasar dari hampir semua masakan Bali tradisional. Kombinasi dari berbagai rempah seperti ketumbar, bawang putih, bawang merah, jahe, kunyit, cabai, dan beberapa lagi. Kalau kamu bisa menguasai bumbu ini, kamu bisa buat banyak hidangan khas Bali.”
Tara mengamati dengan seksama, mencatat dengan hati-hati setiap penjelasan Putu. “Luar biasa, aku nggak tahu kalau bumbu dasar Bali bisa begitu kompleks. Di restoran, biasanya kami pakai yang lebih sederhana.”
“Justru itu yang bikin masakan Bali istimewa,” jawab Putu. “Bumbu-bumbu ini nggak hanya memberi rasa, tapi juga punya sejarah panjang yang terhubung dengan budaya dan ritual.”
Seiring mereka berjalan, Tara dan Putu pun berhenti di kios-kios makanan yang menjual berbagai hidangan khas Bali. Mereka mencicipi babi guling yang dipanggang dengan sempurna, dengan kulit yang renyah dan daging yang lembut. Putu dengan sabar menjelaskan bagaimana bumbu khas Bali, seperti lengkuas dan daun salam, meresap ke dalam daging, memberikan rasa yang begitu kaya.
“Kamu harus coba sate lilit ini,” kata Putu sambil menyerahkan sate lilit dari penjual lain. “Ini favoritku. Sate ini terbuat dari daging cincang yang dicampur dengan bumbu Bali, lalu dililitkan pada batang serai.”
Tara mencoba gigitan pertama dan langsung terkesan dengan kekayaan rasa yang tercipta dari perpaduan bumbu dan daging ikan yang lembut. “Ini… luar biasa,” katanya dengan mata berbinar. “Teksturnya beda banget dengan sate yang biasa aku buat.”
“Masakan Bali memang seperti itu,” Putu tertawa. “Kaya akan bumbu, tapi tetap sederhana dalam presentasi.”
Sambil terus berbicara tentang makanan dan budaya Bali, kedekatan mereka pun semakin tumbuh. Mereka berbagi pengalaman tentang dunia kuliner masing-masing, dan Tara mulai merasa bahwa Putu bukan hanya seorang juru masak yang ahli, tapi juga seseorang yang bisa memahami seluk-beluk rasa dan budaya dengan cara yang mendalam—sesuatu yang ia kagumi.
Matahari semakin tinggi, namun waktu terasa berlalu begitu cepat bagi mereka. Setelah beberapa jam, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah warung kecil di dekat pasar. Tara memesan kopi Bali yang pekat, sementara Putu memilih teh jahe.
“Kamu tahu,” kata Tara sambil menyesap kopinya, “sebenarnya aku datang ke sini bukan cuma untuk cari bumbu baru. Aku juga ingin mencari… sesuatu yang lebih dari sekadar resep. Aku ingin menghubungkan makanan dengan cerita, dengan orang-orang, dengan budaya. Di Jakarta, rasanya kadang sulit untuk menemukan itu.”
Putu mengangguk, memahami. “Masakan Bali selalu terhubung dengan cerita. Setiap hidangan punya makna, punya asal-usul yang dalam. Dan mungkin itulah yang sebenarnya membuatnya begitu istimewa—bukan hanya rasanya, tapi juga hubungan emosional dan sejarah yang ada di baliknya.”
Tara terdiam sejenak, merasa tersentuh oleh kata-kata Putu. Dia tidak pernah berpikir sejauh itu tentang makanan, meskipun sebagai chef, dia selalu berusaha mencari cara untuk membuat hidangannya lebih dari sekadar lezat.
“Kamu benar,” jawab Tara pelan. “Aku merasa di sini, di Bali, masakan benar-benar hidup, seperti ada jiwanya.”
Mereka berdua tersenyum, dan dalam keheningan sesaat itu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar percakapan tentang makanan. Tara mulai menyadari bahwa petualangan kuliner ini bukan hanya soal menemukan bumbu baru atau rasa yang otentik, tapi juga menemukan perasaan yang berbeda—rasa cinta yang perlahan tumbuh di antara mereka.
Ketika senja mulai merayap di langit Ubud, Tara dan Putu memutuskan untuk pergi ke salah satu tebing yang menghadap sawah-sawah terasering yang indah. Mereka duduk bersama di atas batu, menikmati pemandangan matahari terbenam yang memesona.
“Aku senang bisa berbagi hari ini denganmu,” kata Putu sambil menatap ke arah Tara. “Mungkin ini baru permulaan dari banyak cerita yang akan kita bagi.”
Tara merasakan debaran di dadanya saat ia menoleh ke arah Putu, matanya bertemu dengan mata pria itu. “Aku juga merasa begitu, Putu. Terima kasih sudah membawaku dalam perjalanan ini. Aku rasa… rasa cinta terhadap makanan juga bisa membawa rasa cinta yang lain.”
Dan di tengah aroma rempah dan kehangatan budaya Bali, Tara dan Putu menemukan bahwa rasa cinta sejati tidak hanya dapat ditemukan di dapur, tetapi juga di hati mereka yang saling terhubung. (*)