Cahaya Kemilau di Tepian Sungai Ayung 

Sepasang kekasih
Ilustrasi sepasang kekasih yang sedang merayakan cinta mereka. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

MALAM nan sunyi turun dengan lembut di Ubud. Di tepi Sungai Ayung yang berkelok, lilin-lilin kecil berkedip, mencerminkan cahaya bintang di permukaan air yang mengalir pelan. Angin membawa bisikan musik gamelan dari kejauhan, seolah menjadi simfoni rahasia bagi mereka yang jatuh cinta.

Di salah satu meja yang berada dekat sungai, duduklah Awano dan Sekarlita—sepasang kekasih yang baru saja bertunangan. Malam ini adalah perayaan cinta suci mereka, ditemani cahaya bulan perak dan dentingan gelas kristal berisi anggur tropis.

Read More

“Aku ingin waktu berhenti di sini,” bisik Sekarlita, matanya berbinar.

Awano menggenggam tangannya erat. “Kalau bisa, aku ingin malam ini abadi. Aku ingin kita selalu di sini, di bawah bintang-bintang Bali.”

Tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah cahaya biru terang muncul dari tengah sungai. Gelombang halus menggetarkan air, dan dari dalamnya, sosok misterius melangkah ke daratan. Seorang wanita berbalut cahaya keemasan, seperti dewi dari zaman kuno.

“Kalian telah menemukan cinta sejati,” suaranya bergema, lembut namun berwibawa. “Cinta yang tulus seperti ini jarang muncul dalam ribuan tahun. Aku ingin memberimu hadiah.”

Sekarlita dan Awano saling berpandangan, antara takjub dan bingung. “Siapa… siapa Anda?” tanya Awano.

“Saya adalah penjaga Sungai Ayung, roh yang telah ada sejak peradaban pertama di Bali. Malam ini, aku menawarkan satu anugerah: cinta kalian bisa tetap utuh, selamanya, tanpa batasan waktu dan ruang.”

Sekarlita menggigit bibirnya, terharu sekaligus ragu. “Tapi… bagaimana mungkin?”

Sang penjaga tersenyum. “Waktu manusia terbatas, tetapi perasaan sejati melampaui itu. Aku bisa memberi kalian kenangan yang tak akan pudar, bahkan saat dunia berubah. Setiap kali kalian kembali ke tempat ini, cinta kalian akan terasa seperti malam ini—abadi, segar, tak tersentuh oleh usia atau kesibukan dunia.”

Awano menatap Sekarlita. Tak perlu kata-kata, mereka tahu jawabannya.

“Ya,” ujar mereka bersamaan.

Sang penjaga tersenyum, lalu mengangkat tangannya. Cahaya biru mengelilingi mereka, menyelimuti dengan kehangatan yang tak terlukiskan. Sekejap kemudian, sang penjaga menghilang, meninggalkan udara yang berkilauan seperti debu bintang.

Di meja mereka, lilin tetap menyala. Anggur masih ada di dalam gelas, dan angin masih membawa alunan gamelan. Tapi kini, ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali mereka menatap satu sama lain, mereka merasakan sesuatu yang tak akan pernah pudar—sebuah keabadian dalam cinta.

Dan sejak malam itu, setiap kali mereka kembali ke tepian Sungai Ayung, waktu benar-benar terasa berhenti. Seakan semesta memberi mereka kesempatan untuk selalu merayakan cinta, selamanya.

Sekarlita masih merasakan kehangatan cahaya biru yang menyelimuti mereka. Rasanya seperti embusan angin yang membawa kenangan, membisikan rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh hati. Awan menatapnya, matanya berbinar seolah telah memahami sesuatu yang baru.

“Kamu merasakan itu?” tanya Sekarlita, suaranya lirih, hampir bergetar.

Awano mengangguk pelan. “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi ada sesuatu yang berubah… seperti aku bisa mengingat masa depan kita.”

Mereka terdiam sejenak, menikmati aliran air sungai yang seolah berkilauan dalam cahaya mistis yang baru saja hadir. Sekarlita kemudian menutup matanya dan tiba-tiba sebuah gambaran muncul di benaknya—ia dan Awano, bertahun-tahun dari sekarang, kembali ke tempat ini. Wajah mereka tetap dipenuhi cinta, seolah waktu tidak pernah menyentuh mereka.

“Awano… aku bisa melihat kita di masa depan. Kita duduk di sini, dengan perasaan yang sama seperti sekarang. Aku bisa merasakan kehangatanmu, suaramu, bahkan aroma bunga yang sama. Seolah kita akan selalu kembali ke sini, mengulang malam ini tanpa akhir.”

Awano menggenggam tangannya lebih erat. “Ini bukan mimpi, Sekarlita. Ini anugerah yang diberikan oleh sang penjaga. Cinta kita akan selalu segar, seperti bunga yang tak pernah layu.”

Mereka saling menatap, menyadari bahwa mereka telah menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka pahami. Namun, ada sesuatu yang mengusik pikiran Sekarlita. Jika cinta mereka abadi di tempat ini, apakah mereka masih bisa merasakan perjalanan waktu? Apakah mereka tetap bisa tumbuh bersama, melewati suka dan duka seperti pasangan biasa?

Malam terus beranjak, namun bagi mereka, waktu terasa berhenti. Pelayan restoran datang membawakan hidangan utama, tetapi Sekarlita dan Awano merasa seakan mereka telah makan bersama dalam ratusan malam sebelumnya, atau mungkin dalam ribuan malam yang akan datang. Mereka seolah berada di dalam lingkaran waktu yang berulang, menghidupkan kembali malam ini selamanya.

“Awano… apakah ini berarti kita tidak akan pernah mengalami perubahan? Apakah kita akan terus kembali ke malam ini tanpa akhir?” Sekarlita bertanya dengan sedikit keraguan.

Awano terdiam, merenungkan kata-kata Sekarlita. “Mungkin ini bukan tentang terjebak dalam waktu, tapi tentang memiliki tempat yang akan selalu mengingatkan kita pada cinta pertama kita. Tempat ini akan selalu mengembalikan perasaan kita ke awal, tanpa kehilangan kenangan yang telah kita jalani.”

Sekarlita mengangguk, perlahan mulai memahami. Ini bukan kutukan, melainkan hadiah. Setiap kali mereka merasa dunia berubah terlalu cepat, setiap kali mereka merasa lelah oleh waktu, mereka bisa kembali ke Sungai Ayung, duduk di tempat ini, dan merasakan kembali malam di mana cinta mereka begitu murni dan tak tergoyahkan.

Beberapa tahun berlalu. Sekarlita dan Awano menikah, membangun kehidupan bersama, dan menghadapi tantangan yang datang silih berganti. Ada saat mereka bertengkar, saat mereka merasa jenuh, saat beban hidup terasa berat. Namun, setiap kali mereka kembali ke tempat ini, malam itu selalu menyambut mereka dengan kehangatan yang sama.

Mereka kembali pada ulang tahun pernikahan pertama mereka. Kemudian yang kelima. Lalu yang kesepuluh. Setiap kali, mereka duduk di meja yang sama, melihat air sungai yang terus mengalir, tetapi hati mereka tetap seperti malam pertama mereka merayakan cinta di sini.

Sampai suatu hari, di ulang tahun pernikahan mereka yang keempat puluh, mereka kembali untuk terakhir kalinya. Rambut mereka telah memutih, tangan mereka tak lagi sekuat dulu, tetapi tatapan mereka masih sama seperti puluhan tahun lalu. Mereka merasakan kehangatan yang sama, seperti malam itu.

Lalu, saat lilin di meja mereka berkedip pelan, sosok cahaya biru muncul lagi di tengah sungai. Sang penjaga kembali, dengan senyuman lembut.

“Kalian telah menjalani perjalanan yang luar biasa,” ujarnya. “Kini saatnya melangkah lebih jauh.”

Awano dan Sekarlita saling berpandangan. Mereka tahu apa artinya. Cinta mereka telah diuji oleh waktu, dan kini saatnya mereka beristirahat. Namun, mereka tidak takut. Mereka tahu, tak peduli ke mana mereka pergi setelah ini, malam itu akan selalu ada dalam hati mereka—malam di mana cinta mereka menjadi abadi, selamanya bercahaya di tepian Sungai Ayung.

Dan ketika mereka menutup mata, cahaya biru menyelimuti mereka untuk terakhir kalinya. Lilin di meja mereka berkedip sekali, lalu padam, meninggalkan sungai yang terus mengalir, membawa kisah cinta mereka ke dalam legenda yang tak akan pernah pudar. (*)

banner 300x250

Related posts