Calonarang: Simfoni Mistis Antara Kesakralan, Teologi, dan Hiburan Masyarakat Bali

Barong dan Rangda
Ilustrasi Barong dan Rangda. (Dok. Nusaweek)
banner 468x60

DALAM denyut nadi kebudayaan Bali, seni pertunjukan bukan sekadar tontonan visual, melainkan jembatan estetis yang menghubungkan dunia manusia (Sekala) dengan dunia niskala (Niskala). Salah satu manifestasi paling kompleks dari filosofi ini adalah pementasan Calonarang. Sering kali disalahpahami oleh mata awam sebagai pertunjukan “ilmu hitam” yang menyeramkan, Calonarang sebenarnya adalah sebuah ritual teaterikal yang mendalam, mencakup simbolisme ketuhanan, penguatan iman, serta keseimbangan kosmik.

Simbolisme Rwa Bhineda dan Manifestasi Tuhan

Read More

Inti dari pementasan Calonarang adalah visualisasi dari konsep Rwa Bhineda, yakni dua hal yang berbeda namun saling melengkapi untuk menciptakan keseimbangan alam semesta (seperti baik-buruk, siang-malam, atau penciptaan-penghancuran). Sosok Barong mewakili energi dharma (kebajikan) dan perlindungan, sementara sosok Rangda sering kali dicitrakan sebagai perwujudan Adharma (keburukan).

Namun, dalam perspektif teologi Hindu Bali, Rangda bukan sekadar simbol iblis. Ia adalah manifestasi dari sisi destruktif Tuhan, yakni Dewi Durga dalam bentuk krodha (marah). Penghancuran dalam konteks ini dipahami sebagai proses purifikasi atau pembersihan sebelum penciptaan kembali. Melalui Calonarang, masyarakat diingatkan bahwa Tuhan hadir dalam segala aspek, baik yang menenangkan maupun yang mengerikan, dan keduanya harus dihormati untuk menjaga harmoni semesta.

Afirmasi Keyakinan Melalui “Ngurek”

Salah satu momen paling dramatis dalam Calonarang adalah adegan Ngurek atau Metebek, di mana para penari dalam kondisi trans (kerauhan) menghujamkan keris ke dada mereka sendiri. Secara ilmu pariwisata atau sosiologi, ini mungkin terlihat sebagai atraksi ekstrem, namun bagi masyarakat lokal, ini adalah afirmasi keyakinan.

Kejadian di mana keris tidak melukai kulit dipandang sebagai bukti nyata perlindungan Tuhan (melalui energi Barong) terhadap pengabdian umat-Nya. Ini adalah titik di mana iman tidak lagi bersifat abstrak, melainkan mewujud dalam ketahanan fisik. Bagi penonton lokal, momen ini mempertebal rasa bakti (bhakti) dan keyakinan bahwa kekuatan spiritual yang positif akan selalu mampu menyeimbangkan gangguan negatif.

Pemeliharaan Hubungan Manusia dan Tuhan

Pementasan Calonarang biasanya dilakukan pada waktu-waktu khusus, seperti saat piodalan (hari ulang tahun pura) atau saat desa mengalami musibah (sasab merana). Di sini, seni berfungsi sebagai bentuk Yadnya atau persembahan suci. Pementasan ini dianggap sebagai ritual pengusiran energi negatif (pengleburan) yang menyelimuti desa.

Melalui doa, sesajen, dan pementasan yang khusyuk, masyarakat Bali melakukan dialog spiritual dengan Sang Pencipta. Mereka memohon agar kekuatan destruktif yang ada di alam semesta tetap berada pada tempatnya dan tidak mengganggu ketenteraman hidup manusia. Ini adalah bentuk pemeliharaan hubungan timbal balik: manusia memberikan persembahan seni terbaiknya, dan Tuhan memberikan perlindungan serta keseimbangan.

Aspek Hiburan: Penyeimbang Ketegangan

Meski sarat akan nilai sakral, Calonarang tetaplah sebuah pertunjukan rakyat. Unsur hiburan masuk melalui kemunculan tokoh-tokoh punakawan atau Bondres. Di tengah suasana mistis yang mencekam, para komedian ini hadir dengan lelucon segar, kritik sosial, dan interaksi jenaka dengan penonton.

Kehadiran aspek hiburan ini sangat krusial. Selain untuk meredakan ketegangan penonton, humor dalam Calonarang berfungsi sebagai media edukasi. Melalui dialog yang ringan, pesan-pesan moral dan filosofi agama yang berat disampaikan dengan cara yang lebih mudah dicerna oleh masyarakat dari berbagai lapisan usia.

Kesimpulan

Calonarang adalah potret utuh dari spiritualitas Bali yang multidimensi. Ia bukan sekadar drama tari, melainkan sebuah laboratorium batin di mana kesakralan bertemu dengan seni, dan ketakutan bertransformasi menjadi penghormatan kepada Tuhan. Dengan memahami Calonarang melampaui aspek visualnya, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Bali menjaga kewarasan kosmik mereka: dengan merangkul kegelapan demi menemukan cahaya keseimbangan. (*)

banner 300x250

Related posts