Cinta di Ubud yang Tak Lekang Waktu

Pematung
Ilustrasi seorang pematung yang sedang bekerja. (Image: Dibuat dengan AI/Nusaweek)
banner 468x60

MAYA menatap laptopnya yang sudah tiga jam tidak ia sentuh. Layar itu kosong, seputih halaman baru. Sudah delapan bulan ia mengalami writer’s block yang mematikan. Novel roman terbarunya macet di bab dua. Frasa-frasa klise, karakter datar—semuanya terasa palsu dan tergesa-gesa, jauh dari makna cinta yang sesungguhnya.

Keputusan membawa dirinya ke Ubud, ke sebuah vila kayu kecil yang dikelilingi sawah dan hutan tropis. Ia berharap keheningan dan hijau yang abadi bisa mengembalikan jiwanya.

Pagi itu, saat ia mencoba menulis di teras, ia mendengar suara pahatan dari belakang vila. Ia berjalan mendekat dan menemukan Made. Pemilik vila itu, yang usianya mungkin sebaya dengan Maya, sedang duduk bersila di atas tikar, memahat bongkahan kayu sawo manila.

Sugeng enjing,” sapa Maya, menggunakan sedikit bahasa Jawa yang ia tahu.

Made mendongak, matanya yang teduh menyambut Maya. “Selamat pagi, Mbak Maya. Maaf kalau suara pahatan saya mengganggu.”

“Sama sekali tidak. Itu… indah. Kayu apa ini, Mas?”

“Sawo manila. Kayu ini punya serat yang kuat, tapi lembut diukir. Patung penari Bali. Saya sedang mencari jiwa di dalamnya.” Made tersenyum, senyumnya sama tenangnya dengan udara pagi di sana.

Maya memperhatikan cara Made memegang pahat dan palu—penuh hormat, tidak terburu-buru. “Saya Maya. Penulis. Sedang mencari jiwa juga. Tapi di dalam kata-kata.”

Made meletakkan pahatnya. “Kata-kata itu seperti air. Kalau dipaksa, dia akan keruh. Di Ubud, kita biarkan air mengalir perlahan, sampai dia menemukan jalannya sendiri. Mau coba kopi Bali? Saya buatkan.”

Itulah awal perkenalan mereka. Bukan dengan janji romantis atau chemistry yang meledak-ledak seperti dalam novel Maya, melainkan dengan ketenangan yang menular.

Seminggu kemudian, Maya masih belum menulis satu kata pun, tetapi ia sudah belajar banyak hal.

Made mengajaknya berjalan melintasi Subak, sistem irigasi kuno Bali. Matahari terbit memecah kabut tipis di atas terasering.

“Ini indah sekali, Made. Lebih damai daripada meditasi manapun,” bisik Maya.

“Alam di sini mengajarkan kami Tri Hita Karana,” jelas Made. “Keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam. Kami tidak boleh egois. Air ini bukan milik saya, tapi milik semua orang di bawah sana.”

“Begitu mendalam. Novel-novel saya selalu tentang cinta yang tergesa-gesa. Cinta yang egois, yang harus saling memiliki,” Maya merenung.

Made menatapnya. “Cinta yang sejati itu seperti air yang mengalir di Subak ini, Mbak Maya. Dia tidak terburu-buru. Dia mengalir ke mana pun ia dibutuhkan, dan dia memberi kehidupan. Dia tidak memaksa.”

Made tidak pernah merayu Maya, tidak pernah memberi pujian yang berlebihan. Ia hanya memberikan kearifan, dan Maya haus akan hal itu.

Suatu sore, Made mengajak Maya melihat upacara Mekotek di desa tetangga. Pria-pria saling menusukkan ujung kayu Mereka di atas, melambangkan penyambutan prajurit yang kembali dari medan perang dengan meriah.

“Kenapa mereka melakukan itu?” tanya Maya, matanya berbinar melihat energi dan tawa para warga.

“Untuk menjaga keharmonisan. Untuk bersyukur. Kami merayakan hidup, Mbak Maya. Setiap hari,” jawab Made.

Saat mereka kembali ke vila, Maya menemukan Made sedang mengukir. Ia telah memulai patung baru, kali ini figur seorang wanita yang sedang memegang pena. Wajahnya—mirip Maya.

“Patung ini… siapa dia?” tanya Maya, jantungnya berdebar.

“Dia adalah Dewi Saraswati. Dewi ilmu pengetahuan dan seni. Saya mengukir dia dengan hati-hati. Tidak boleh ada satu serat pun yang saya paksa. Saya hanya mengikuti alur kayu. Kalau saya paksa, dia akan pecah.” Made memandang Maya. “

Sama seperti cinta. Kalau dipaksa, dia akan pecah. Saya ingin mengukir cinta di hati saya untukmu, Mbak Maya. Tapi saya harus sabar, seperti pohon beringin yang akarnya tumbuh perlahan.”

Maya merasakan air matanya menggenang. Kata-kata Made jauh lebih jujur, lebih tulus, dan lebih romantis daripada ribuan halaman novel yang pernah ia tulis.

“Made…”

“Saya tahu, kamu punya dunia. Dunia yang cepat, yang penuh gemerlap. Dan saya punya Ubud. Dunia yang tenang. Saya tidak akan memintamu tinggal. Hanya, jangan terburu-buru pergi,” ucap Made lembut.

Minggu ketiga, Maya menyelesaikan babak klimaks novelnya. Kali ini, novelnya tidak tentang drama, tapi tentang kesabaran, tentang akar yang kuat.

Pagi menjelang keberangkatannya, Made membawakan dua cangkir kopi.

“Novelmu sudah selesai, Mbak Maya?”

“Belum. Tapi sudah lahir. Judulnya, Akar Beringin,” jawab Maya, tersenyum. “Terima kasih, Made. Kamu memberiku lebih dari sekadar inspirasi. Kamu memberiku… cara hidup yang baru.”

“Lalu?”

Maya menatap sawah yang hijau, lalu kembali menatap Made. “Di kota, saya bisa membeli pakaian mahal. Saya bisa minum kopi instan yang enak. Tapi saya tidak bisa membeli ketenangan di matamu, atau kearifan dalam setiap kata yang kamu ucapkan.”

Ia berdiri, mendekati Made, dan memeluknya. “Saya tidak akan kembali ke Jakarta sekarang, Made. Saya akan mengirim naskah ini dari sini. Saya akan mencari vila yang lebih permanen. Saya ingin belajar melihat dunia seperti kamu melihat pahatan. Perlahan, dan dari hati.”

Made membalas pelukannya erat. “Selamat datang di rumah, Mbak Maya. Saya sudah menyiapkan satu kamar lagi. Kamar yang punya pandangan terbaik ke sawah. Dan saya sudah mulai mengukir sepasang patung yang baru. Patung sepasang manusia. Kita akan biarkan mereka tumbuh perlahan, ya?”

Maya mengangguk, menyadari bahwa cinta sejati memang tidak perlu tergesa-gesa; ia hanya perlu waktu, kesabaran, dan tempat untuk menancapkan akar. (*)

banner 300x250

Related posts