MATAHARI pagi menyinari pesisir Tulamben, dengan lembut, memantulkan cahaya ke permukaan laut yang biru kehijauan. Laras menghela napas panjang, mengagumi keindahan alam Bali yang selalu memikat hatinya. Dia adalah seorang travel blogger yang telah menjelajahi banyak sudut dunia, tetapi kali ini, tujuan perjalanannya terasa berbeda.
Tulamben, spot menyelam di Bali Timur, terkenal bukan hanya karena keindahan pantainya, tetapi karena harta karun tersembunyi di bawah lautnya—bangkai kapal USAT Liberty, peninggalan Perang Dunia II yang kini menjadi surga bagi para penyelam.
Laras datang dengan satu tujuan: menulis artikel yang menggambarkan keajaiban sejarah dan pesona bawah laut Bali. Dengan kamera dan alat tulis di tasnya, dia mendaftar untuk kursus diving di salah satu sekolah menyelam setempat. Ketika dia memasuki aula sekolah tersebut, matanya bertemu dengan seorang pria muda berwajah ramah.
“Selamat pagi! Laras, kan? Aku Adito, instruktur diving kamu hari ini,” sapanya dengan senyuman hangat. “Aku dengar kamu mau menyelam di Liberty?”
Laras mengangguk, merasa langsung nyaman dengan kehadirannya. “Iya, ini pertama kalinya aku akan menyelam di sini. Selalu penasaran sama sejarah kapal ini.”
“Kalau gitu, kita akan cocok,” jawab Adito sambil tertawa kecil. “Aku juga pecinta sejarah. Dan di bawah laut Tulamben, kamu nggak cuma melihat bangkai kapal, tapi kamu juga bisa merasakan napas sejarah itu sendiri.”
Setelah instruksi singkat dan persiapan alat selam, mereka berdua menuju pantai. Ombak kecil menyentuh kaki Laras saat dia mengenakan fin dan masker selam. Ketika mereka menyelam ke dalam air, Laras merasakan dunia yang berbeda. Di bawah permukaan, suara menjadi sunyi, hanya desiran gelembung udara yang terdengar.
Laras mengikuti Adito, yang menuntunnya menuju bangkai kapal USAT Liberty yang legendaris. Di depan mereka, struktur besar kapal yang terendam mulai terlihat, dihiasi karang warna-warni dan ikan-ikan tropis yang berenang di sekitarnya. Kapal yang dulu pernah membawa perbekalan perang, kini menjadi rumah bagi kehidupan laut.
Laras terpesona. Di hadapannya, sejarah dan alam berpadu dengan cara yang begitu memukau. Ia mengarahkan kameranya, mencoba menangkap setiap sudut kapal yang penuh cerita.
Setelah beberapa saat, mereka naik ke permukaan untuk beristirahat di atas perahu kecil. Laras menghela napas puas sambil membuka maskernya.
“Ini luar biasa. Aku nggak pernah membayangkan sejarah bisa terasa begitu hidup di bawah air. Rasanya seperti menyelam ke masa lalu.”
Adito tersenyum dan meneguk air minumnya. “Setiap kali aku menyelam ke sini, aku selalu merasa seperti bagian dari cerita itu. Dan sekarang, kayaknya aku sedang menulis cerita baru bersama kamu.”
Laras terkesiap, matanya bertemu dengan mata Adito yang berbinar. Ada sesuatu pada cara dia berbicara—sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman akan sejarah kapal itu. Sesuatu yang lembut, tapi menggelitik perasaan.
“Kenapa kamu suka menyelam di sini?” tanya Laras, ingin tahu lebih dalam tentang pria yang membuatnya merasa nyaman dengan cepat.
“Sejujurnya, awalnya aku tertarik karena sejarah kapal ini. Tapi semakin sering aku menyelam, aku sadar bahwa menyelam bukan cuma tentang apa yang kita lihat, tapi juga tentang apa yang kita rasakan. Setiap kali aku ke sini, aku merasa terhubung dengan alam, sejarah, dan sekarang… dengan kamu,” jawab Adito dengan tatapan yang dalam.
Laras merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Meskipun baru bertemu, dia merasa ada koneksi yang kuat di antara mereka, seolah-olah lautan ini telah membawa mereka bersama. Mereka melanjutkan penyelaman, kali ini dalam diam yang nyaman, menikmati keajaiban bawah laut bersama-sama. Setiap ikan yang berenang melewati mereka, setiap karang yang berkilau, seolah menjadi saksi bisu bagi tumbuhnya perasaan di antara mereka.
Di akhir penyelaman, mereka kembali ke daratan. Matahari sudah mulai terbenam, menciptakan pemandangan spektakuler di cakrawala.
“Terima kasih untuk hari ini, Adito. Ini lebih dari sekadar pengalaman diving biasa,” ucap Laras sambil tersenyum manis.
Adito mengangguk. “Aku juga merasa begitu. Mungkin ini baru permulaan dari petualangan kita. Kalau kamu mau, aku bisa tunjukkan tempat-tempat lain yang nggak kalah indahnya di Bali.”
Laras merasa hatinya hangat. “Aku akan senang kalau kamu mau jadi pemandu perjalananku.”
Dan dengan senja yang memeluk mereka, Laras dan Adito menyadari bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja—bahkan di bawah laut Tulamben, di antara bangkai kapal dan keindahan alam yang abadi.
Mereka berdua tak hanya menemukan sejarah di bawah laut, tetapi juga menemukan satu sama lain. Petualangan baru mereka pun baru saja dimulai, dengan Bali sebagai latar belakang kisah cinta yang indah. (*)