UDARA senja di Nueva-Denpasar selalu berbau sintesis, campuran ozon dari sky-car yang melayang dan aroma bunga bioluminescent dari taman-taman vertikal. Tapi malam ini, ada sentuhan yang berbeda. Aroma air tawar dan lumut hidroponik menguar lembut, memanggil kami menuju dermaga privat Eko-Kapsul Andromeda.
“Kau yakin ini ide bagus, Elara?” Leo merapikan kerah jumpsuit-nya yang anti-gravitasi. “Maksudku, makan dalam kegelapan total? Aku bahkan tak bisa melihat menu.”
Elara tertawa, menarik tangannya. “Justru itu poinnya, Leo. Ini bukan cuma makan. Ini pengalaman sensorik. Lagipula, kita sudah sering makan di restoran holografik. Butuh sesuatu yang asli, kan?”
Kami melangkah ke sebuah kapsul transparan yang perlahan meluncur di atas permukaan danau yang kini sudah sepenuhnya direvitalisasi dan berfungsi sebagai reservoir raksasa untuk kota. Di sekeliling kami, ribuan lampu bioluminescent dari alga khusus berpendar lembut di dasar danau, menciptakan pemandangan bawah air yang magis. Di kejauhan, gunungnya yang megah menjulang, siluetnya mengukir langit senja yang beranjak ungu.
“Astaga, Elara, ini luar biasa!” Leo terpaku pada pemandangan. Kapsul kami bergerak perlahan menuju gugusan bangunan transparan yang juga mengapung, siluetnya memancarkan cahaya redup dari dalam. Ini adalah Eko-Kapsul Andromeda, sebuah restoran fine-dining yang sepenuhnya terapung dan mengadopsi konsep dining in the dark.
Seorang robot pelayan dengan gerakan luwes menyambut kami di pintu masuk utama. “Selamat datang di Andromeda. Apakah Anda siap untuk petualangan kuliner yang tak terlupakan?” Suaranya menenangkan, dengan aksen digital yang lembut.
“Kami siap!” jawab Elara bersemangat.
Kami dipandu ke sebuah bilik yang nyaman, dengan dinding-dinding transparan yang memberikan pemandangan 360 derajat danau dan langit. Meja kami sudah terisi dengan gelas-gelas kristal yang berkilauan dan piring kosong.
“Nikmati pemandangan senja ini sebaik mungkin, Tuan dan Nyonya,” kata robot pelayan. “Dalam lima menit, kapsul Anda akan memasuki zona kegelapan.”
Leo menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak, seolah ingin merekam setiap detail pemandangan terakhir itu. “Aku akan merindukan ini.”
“Tenang,” Elara menggenggam tangannya. “Akan ada kejutan lain.”
Tepat waktu, kapsul kami perlahan bergerak. Cahaya bioluminescent dari danau mulai redup, digantikan oleh kegelapan yang pekat saat kami meluncur masuk ke dalam struktur utama restoran. Pemandangan luar benar-benar lenyap. Indera penglihatan kami dimatikan.
“Wah… ini sungguh gelap,” bisik Leo, suaranya sedikit ragu.
“Memang begitu,” sahut Elara, suaranya terdengar lebih tenang. “Sekarang, fokus pada indra lain.”
Tak lama kemudian, aroma pertama menyerbu hidung kami. Sebuah wangi manis-asam yang asing namun menggoda. Robot pelayan kembali. “Kursus pertama: Pembuka. Silakan gunakan indra sentuhan Anda untuk menemukan perkakas dan piring Anda. Nikmati.”
Leo meraba-raba meja, jarinya menyentuh permukaan piring yang dingin dan kemudian sendok garpu yang ramping. Dengan hati-hati, ia menusuk sesuatu. “Ini… buah apa?” tanyanya sambil mengunyah perlahan. “Manis sekali, tapi ada sensasi renyah yang aneh.”
“Entahlah,” Elara menjawab, suaranya penuh rasa ingin tahu. “Aku mencicipi sesuatu yang mirip mangga, tapi ada semburat jeruk dan mungkin… microgreens renyah?”
Percakapan kami berubah. Tidak lagi tentang politik kota atau pekerjaan, melainkan tentang eksplorasi setiap gigitan. Setiap suara mengunyah, setiap desiran, menjadi lebih intens. Kami harus mengandalkan deskripsi satu sama lain untuk mencoba menebak apa yang sedang kami makan.
“Menu kedua: Hidangan Utama,” robot pelayan mengumumkan. Kali ini, aroma rempah yang lebih kompleks memenuhi udara, bercampur dengan wangi daging yang dipanggang.
Leo memotong sepotong makanan dengan garpu, rasanya lembut di lidah. “Ini… protein nabati apa? Rasanya seperti daging, tapi teksturnya berbeda. Dan bumbunya… aku merasakan kunyit, mungkin jahe. Ada sentuhan pedas yang halus.”
“Aku setuju,” Elara menimpali. “Dan ada sesuatu yang krem di sampingnya, seperti pure kentang, tapi lebih manis dan punya tekstur airy.”
Tiba-tiba, ada kehangatan yang menjalar di tangan Elara. Ia meraihnya. “Leo, apa ini?”
“Sebuah gelas!” Leo memegang tangannya. “Hangat sekali. Dan ada… sensasi bergelombang di dalamnya. Minuman apa ini?”
“Sepertinya semacam sup krim,” Elara menebak. “Rasanya gurih, kaya. Hangatnya menenangkan sekali.”
Tanpa penglihatan, kami menemukan diri kami fokus pada detail-detail kecil yang biasanya terabaikan. Suara kecipak air danau yang sesekali terdengar dari luar kapsul, bisikan tamu lain dari bilik tetangga yang juga sibuk dengan eksplorasi kuliner mereka, bahkan suara napas kami sendiri menjadi lebih menonjol. Kami tertawa ketika Leo secara tidak sengaja menjatuhkan garpunya, dan harus merangkak di lantai untuk menemukannya. Momen-momen canggung itu justru menambah keakraban.
Menu terakhir adalah hidangan penutup. Aroma cokelat dan vanila yang kaya membuat kami tersenyum. “Ini seperti puding, tapi dengan lapisan renyah di atasnya,” kata Leo, suaranya kini penuh percaya diri. “Dan ada buah beri yang asam, memotong rasa manisnya.”
“Dan ada mint! Aku merasakan sensasi dingin dari mint,” tambah Elara.
Setelah hidangan penutup selesai, robot pelayan kembali. “Terima kasih telah bersantap di Andromeda. Kapsul Anda akan segera bergerak menuju zona cahaya. Kami harap pengalaman Anda tak terlupakan.”
Perlahan, kapsul kami mulai bergerak mundur. Samar-samar, cahaya bioluminescent dari danau mulai menembus kegelapan. Dan kemudian, dengan sebuah whoosh lembut, kami kembali ke dermaga. Mata kami berkedip-kedip, menyesuaikan diri dengan cahaya senja yang kini berubah menjadi malam bertabur bintang artifisial.
“Itu… itu luar biasa,” Leo berucap, matanya berbinar. “Aku tak pernah menyangka makan bisa jadi pengalaman yang begitu intim. Aku merasa lebih terhubung dengan makananku, denganmu, tanpa gangguan visual.”
Elara mengangguk, masih terkesima. “Benar. Indera kita diasah, dan kita benar-benar harus percaya pada indra penciuman dan perasa kita. Dan kita bahkan tak tahu persis apa yang kita makan, tapi rasanya luar biasa.”
Di luar kapsul, kami melihat beberapa pasangan lain juga baru keluar, wajah mereka menunjukkan campuran kebingungan, kegembiraan, dan kepuasan yang mendalam. Mereka tertawa, berbagi tebakan tentang hidangan yang baru saja mereka nikmati.
“Jadi, apa kau akan merekomendasikan ini?” tanya Leo sambil menuntun Elara menjauh dari dermaga.
Elara tersenyum lebar. “Seribu kali ya. Ini bukan sekadar makan malam, Leo. Ini adalah sebuah perjalanan, sebuah petualangan bagi indera. Kau tahu, kadang-kadang kita harus menutup mata untuk bisa melihat sesuatu dengan lebih jelas.”
Di bawah langit Nueva-Denpasar yang mulai gelap, di antara siluet bangunan futuristik dan gemerlap lampu, kami membawa pulang bukan hanya perut yang kenyang, tetapi juga kenangan akan sebuah pengalaman yang telah mengasah lebih dari sekadar indra kami. Kami telah menemukan sebuah cerita baru dalam setiap gigitan, sebuah petualangan yang terukir dalam kegelapan dan kehangatan yang dibagikan. (*)








