SINGARAJA sebagai ibu kota Kabupaten Buleleng menjadi saksi bisu sejarah Bali. Berlokasi di pesisir utara Pulau Bali, Kota Singaraja dahulunya pernah menjadi ibukota dari Sunda Kecil (Nusa Tenggara) sehingga menjadi pusat pemerintahan dan pelayaran. Jejak yang masih terlihat nyata hingga kini adalah kantor administrasi dari Pelabuhaan Buleleng yang pernah menjadi dermaga terbesar di Pulau Bali.
Sayangnya, pelabuhan tersebut tidak difungsikan lagi karena pada tahun 1958 pusat pemerintahan Provinsi Bali dipindahkan ke Bali Selatan. Dengan sendirinya masa kejayaan yang pernah dialami Pelabuhan Buleleng kian meredup dan sepi pengunjung. Ketika masih beroperasi, Pelabuhan Buleleng digunakan untuk tempat bongkar muat barang sekaligus tempat persinggahan kapal pesiar asing.
Eks-pelabuhan ini juga menyimpan jejak sejarah perjuangan rakyat Bali melawan penjajahan bangsa Belanda. Karena itulah pemerintah kemudian membangun sebuah monumen Yudha Mandala (1987) setinggi 12 meter untuk mengenang peristiwa bersejarah tersebut. Monumen tersebut berupa sebuah tugu yang menggambarkan seorang laskar rakyat yang gagah berani sambil memegang bendera merah dengan tangan menunjuk ke arah laut. Dalam pose tersebut, sang laskar digambarkan ingin memberitahu teman seperjuangan tentang rencana kedatangan kapal penjajah Belanda.
Kini bekas Pelabuhan Buleleng tersebut dialihfungsikan menjadi sebuah obyek wisata di Kota Singaraja yang dimulai dengan penataan agar terlihat menarik dan nyaman. Terus apa lagi yang menarik di kawasan ini? Bekas kantor administrasi pelabuhan dengan desain khas bernuansa kolonial tetap dipertahankan dan digunakan sebagai kantor pengelola obyek wisata ini. Karena itu, ia juga berfungsi sebagai obyek wisata sejarah bangunan tua. Di sebelah timur kantor ini terdapat klenteng Ling Gwan Kion dengan bergaya Tiongkok dan berwarna merah, kuning dan putih. Klenteng tertua di Singaraja ini didirikan pada tahun 1873 sebagai tempat ibadah umat Tri Dharma yaitu Tao, Konghucu dan Budha.
Sementara di sebelah timurnya lagi terdapat jembatan lengkung berwarna putih berpilar sebelas pada kedua sisinya yang dibuat pada zaman kolonial. Hingga kini pilar-pilarnya masih kelihatan kekar membentang di atas Sungai Buleleng. Kemudian, di sebelah barat kantor, ada Pura Segara desa adat Buleleng dengan arsitektur khas Bali dan sedikit sentuhan ornamen Tionghoa.
Sebagai tempat wisata, kawasan ini juga dipercantik dengan taman minimalis dengan pemandangan laut. Dengan demikian, ia juga cocok untuk obyek swafoto bersama sahabat, anggota keluarga atau sang kekasih. Sarana penunjang obyek wisata ini juga meliputi taman bermain anak-anak, restoran terapung, tempat memancing di ujung restoran, toilet, pos keamanan, spot olahraga dan kantor pengelola.
Restoran terapung tersebut dibuat dari kayu-kayu tua bekas dermaga. Tentu saja, ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan ketika berkunjung ke eks-Pelabuhan Buleleng. Sambil menyantap hidangan lezat, para pengunjung dapat menikmati indahnya panorama pantai yang disertai deburan ombak dan hembusan angin laut sepoi-sepoi. Selain restoran di atas, ada juga pedagang kaki lima di area obyek yang menjajakan makanan dengan pilihan beragam menu dan harga terjangkau. Jadi, jangan khawatir menjadi kelaparan setelah menelusuri keindahan obyek ini!