- ATRAKSI heroik masyarakat Desa Seraya di masa lalu kemudian diabadikan dalam bentuk tradisi Gebug Ende
- Selain berfungsi sebagai ritual pemanggil hujan yang biasanya diadakan pada Sasih Kapat (bulan Oktober-November), Gebug Ende juga berfungsi sebagai hiburan atau permainan tradisional
Masyarakat Karangasem, di ujung timur Pulau Dewata, memiliki beberapa tradisi budaya yang unik. Salah satunya adalah Gebug Ende. Ini adalah sebuah ritual pemanggilan hujan yang juga dijadikan permainan rakyat khas Desa Seraya.
Tradisi ritual khas Karangasem ini dimainkan oleh dua pemain laki-laki dewasa maupun anak-anak saat musim kemarau (berkepanjangan) dan setelah berladang. Permainannya menggunakan alat yang disebut gebug (tongkat rotan) dan ende (perisai bundar dari kulit sapi). Kemudian para pemain mengenakan kostum bernuansa tradisional Bali yang khas untuk peperangan.
Aturan permainan
Kendatipun ini adalah sebuah permainan tradisional, ia juga memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh para pemain agar semuanya bisa berjalan lancar dan berakhir damai.
Pertama, para pemain hanya boleh menyerang mulai bagian pinggang hingga kepala. Nah, agar aturan permainan ini tetap tegak, permainan ini diawasi oleh seorang wasit. Begitu terjadi pelanggaran, maka sang wasit tersebut akan melerai.
Permainan akan dianggap selesai bila salah satu pemain sudah tidak sanggup membalas serangan lawannya. Setelah permainan usai, para pemain tidak boleh menyimpan amarah atau dendam terkait permainan tersebut. Uniknya lagi, permainan tradisional ini juga diiringi dengan gamelan tradisional dengan alat-alat seperti ceng-ceng, suling, kempul, tawa-tawa, dan gamelan gong kebyar.
Sejarah singkat
Tradisi Gebug Ende diilhami oleh pertempuran antara Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Selaparang (Lombok) di masa lalu. Konon, Kerajaan Karangasem melibatkan masyarakat Desa Seraya, yang dianggap sebagai tangan kanan istana untuk maju ke medan peperangan. Pada zaman itu, mereka terkenal tangguh dan kuat karena memiliki ilmu kebal. Akhirnya, mereka bisa memenangkan pertempuran tersebut yang dibantu karena turunnya hujan lebat. Nah, kemenangan ini kemudian diyakini sebagai pertolongan dari Tuhan.
Untuk mengenang perolehan kemenangan dalam peperangan tersebut, para pasukan ini kemudian melaksanakan upacara memohon hujan kepada Tuhan yang disertai dengan permainan peperangan yang bernama ritual Gebug Ende. Pada akhirnya tradisi masyarakat Desa Seraya ini menjadi tonggak sejarah.
Jantra Tradisi Bali
Dalam kaitannya dengan acara Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 tahun ini, permainan tradisional Gebug Ende ini dihadirkan di Lapangan Timur Puputan Margarana, Renon, Denpasar, pada Sabtu (3 Juli) lewat acara yang bernama Jantra Tradisi Bali. Ini adalah sebuah kegiatan apresiasi budaya untuk penguatan dan pemajuan kearifan lokal, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, pengobatan tradisional, permainan rakyat serta olah raga tradisional.
Dibawakan oleh Sanggar Tridatu dari Desa Seraya, demonstrasi (murtirupa) Gebug Ende dalam PKB tahun ini berlangsung sangat meriah, dan penonton tampak antusias dan tidak melewatkan setiap bagiannya.
Ritual memanggil hujan lewat Gebug Ende ini sangat selaras dengan tema Pesta Kesenian Bali tahun ini yaitu: Danu Kerthi Uluning Amreta yang bermakna memuliakan air sebagai sumber kehidupan.
Pementasan permainan tradisional ini juga bertujuan untuk melestarikan dan sebagai medium untuk mengenalkan kebudayaan lokal kepada generasi muda agar mereka sebagai pewaris budaya bisa merasa bangga di tengah peradaban global yang masuk lewat ‘pintu’ yang bernama dunia maya.
Selain atraksi permainan heroik atau olah raga tradisional berupa Gebug Ende lengkap, Sanggar Tridatu juga menampilkan kreasi cantik berupa perpaduan antara Gebug Ende dan tarian yang dibawakan oleh tiga penari perempuan. (*)