ANGIN pagi berembus dingin dan lembut di Pantai Sanur, membawa aroma asin laut yang selalu mengingatkannya pada masa lalu. Di ujung bale bengong yang sudah mulai lapuk, Aditya berdiri diam, menatap cakrawala di timur yang perlahan berubah warna dari jingga menjadi kian terang dan biru. Mentari yang perlahan meninggi mengingatkannya pada seseorang yang kini hanya hidup dalam kenangan.
Laras. Nama itu masih terpatri dalam hatinya. Wanita yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan cinta, kini hanya bisa ia kenang dalam sunyi. Lima tahun yang lalu, di tempat yang sama, Laras duduk bersamanya, memandang laut sambil berbicara tentang impian dan masa depan. Mereka berjanji akan kembali ke pantai ini setiap tahun, merayakan cinta mereka yang tak lekang oleh waktu.
Namun, takdir berkata lain. Kecelakaan tragis merenggut Laras dari sisinya. Hari itu, hujan turun deras, mengguyur jalanan yang licin. Mobil yang dikendarai Laras tergelincir dan menghantam pembatas jalan. Aditya menerima kabar itu tepat saat ia tengah memilih cincin pertunangan untuknya. Dunia yang begitu indah seketika runtuh di hadapannya.
Sejak saat itu, Aditya tak pernah bisa benar-benar melepaskan Laras. Setiap tahun, ia datang ke pantai ini, duduk di tempat yang sama, membayangkan Laras masih di sisinya. Ia berbicara pada angin, pada ombak, pada langit senja, seolah Laras masih mendengarnya. Namun, kesedihan itu tetap mengikatnya, membuatnya sulit melangkah maju.
Hari ini, sesuatu terasa berbeda. Seorang wanita duduk di ujung dekat bale bengong, tidak jauh darinya. Rambut panjangnya tergerai ditiup angin, matanya menatap laut dengan tatapan yang seolah memahami luka yang tersembunyi. Tanpa sadar, Aditya mendekat.
“Kau juga kehilangan seseorang?” tanya wanita itu, suaranya lembut namun penuh arti.
Aditya terdiam sejenak sebelum mengangguk. “Lima tahun lalu.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Aku juga. Tunanganku meninggal dalam kecelakaan. Butuh waktu lama bagiku untuk menerima kenyataan bahwa dia tak akan kembali.”
Hening. Hanya suara ombak yang berbisik di antara mereka. Lalu wanita itu menoleh padanya. “Tapi aku percaya, mereka yang pergi tidak ingin kita terus terpuruk dalam kesedihan. Mereka ingin kita bahagia, meski tanpa mereka.”
Kata-kata itu menghantam hati Aditya. Ia tahu itu benar, namun selama ini ia memilih untuk terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Ia ingin percaya bahwa Laras juga menginginkan ia bahagia, bukan terus terkurung dalam duka.
“Aku Maya,” wanita itu mengulurkan tangan.
Aditya tersenyum tipis, menerima uluran tangannya. “Aditya.”
Mereka menghabiskan waktu dengan bercerita, berbagi kenangan tentang orang yang mereka cintai. Dalam percakapan itu, Aditya merasakan sesuatu yang telah lama ia lupakan—kehangatan. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia tidak merasa sendirian.
Matahari sudah meninggi, tanpa meninggalkan jejak warna di langit. Aditya menatap laut, lalu berbisik pelan, “Laras, aku tidak akan melupakanmu. Tapi mungkin, sudah saatnya aku belajar melangkah.”
Ia tidak tahu ke mana hidup akan membawanya, tapi ia merasa bahwa ia telah mengambil langkah pertama menuju keikhlasan. Esok hari mungkin masih terasa sepi, tapi ia tahu, perlahan luka itu akan sembuh. Dan ketika ia kembali ke pantai ini di masa depan, ia akan mengenang Laras bukan dengan air mata, tetapi dengan senyuman.
Beberapa minggu setelah pertemuan mereka di pantai, Aditya dan Maya mulai lebih sering berkomunikasi. Mereka berbagi cerita, saling menguatkan dalam perjalanan menyembuhkan luka masing-masing. Kadang mereka bertemu di kafe kecil di dekat pantai, berbincang hingga malam datang tanpa terasa.
Suatu hari, Maya mengajak Aditya mengunjungi sebuah pura di Ubud. “Aku sering datang ke sini untuk berdoa dan menenangkan hati,” ujarnya sambil tersenyum. Aditya mengikuti Maya masuk ke dalam area pura yang dipenuhi aroma dupa dan suara gemericik air.
Mereka duduk di bawah pohon beringin tua. “Aku ingin mencoba sesuatu,” kata Maya. “Mari kita menuliskan nama orang yang kita cintai dalam secarik kertas, lalu berdoa untuk mereka. Bukan untuk meminta mereka kembali, tapi untuk melepaskan mereka dengan ikhlas.”
Aditya terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia menulis nama Laras di atas kertas kecil itu, merasakan hatinya sedikit lebih ringan saat melakukannya. Setelah berdoa, mereka melepaskan kertas itu ke sungai kecil yang mengalir di dekat pura. Kertas itu hanyut perlahan, membawa serta sebagian dari beban yang selama ini ia pikul.
Ketika mereka meninggalkan pura, Aditya merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Seperti awan gelap yang perlahan tersibak, memberikan ruang bagi cahaya untuk masuk. Maya menggenggam tangannya dengan lembut, memberikan kehangatan yang tak pernah ia rasakan sejak kepergian Laras.
Mungkin, ini bukan sekadar kebetulan. Mungkin, takdir cinta ini mempertemukan mereka untuk saling menyembuhkan. Dan mungkin, di balik kesedihan yang mendalam, selalu ada harapan untuk memulai kembali. (*)