ROMANTIS dan mengharukan—Senja di Bandara Ngurah Rai berpendar lembut, namun hati Dira bergemuruh hebat. Langit jingga yang memudar seakan mencerminkan perasaan yang tak ingin diucapkan—kerinduan yang belum sempat dimulai, perpisahan yang terasa terlalu cepat. Cinta mereka akan dipisahkan jarak dan waktu atau LDR. Reza berdiri di depannya, koper di tangan, senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi sorot matanya tak bisa berbohong. Ada luka yang sama, ada rasa yang ingin bertahan. Angin sore berbisik lirih di antara mereka, membawa harapan yang menggantung di udara: akankah ini hanya jeda, atau akhir dari kisah yang begitu berarti?
“Jadi, ini saatnya?” tanya Dira pelan.
Reza mengangguk. “Ya, kontraknya di London mulai minggu depan. Aku harus pergi.”
Dira menarik napas dalam, menatap mata Reza, berusaha mencari ketenangan di dalamnya. “Berapa lama?”
“Dua tahun. Tapi aku janji akan sering menelepon, menulis surat kalau perlu, apa pun agar kita tetap dekat.”
Dira tersenyum kecil, meski matanya berkaca-kaca. “Janji?”
Reza meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Janji. Aku akan selalu menunggumu di setiap malam sebelum tidur, membayangkan kamu ada di sini. Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Dira. Aku tetap di sini, di hatimu.”
Suara pengumuman keberangkatan terdengar, dan Reza harus segera masuk ke ruang keberangkatan. Ia menatap Dira dalam-dalam sebelum perlahan melepas genggaman tangannya. “Aku mencintaimu, Dira. Tunggu aku, ya?”
Dira menelan emosinya dan mengangguk. “Aku juga mencintaimu, Reza. Selalu.”
Kemudian, Reza pergi, meninggalkan Dira berdiri sendiri di tengah keramaian bandara. Saat itu, ia menyadari sesuatu—cinta bukan hanya tentang kebersamaan, tetapi juga tentang kesediaan menunggu.
Hari-hari tanpa Reza terasa hampa. Meski mereka sering mengobrol lewat panggilan video, tetap saja rasanya berbeda. Malam-malamnya di Ubud kini terasa sepi. Dira masih duduk di kafe favorit mereka, menatap hujan yang turun pelan di luar jendela, mengenang tawa dan cerita yang dulu mereka bagi di tempat ini.
Suatu malam, saat ia duduk sendiri di balkon rumahnya, ponselnya berdering. Nama Reza muncul di layar. Dira buru-buru mengangkatnya.
“Halo, sayang,” suara Reza terdengar, sedikit serak.
“Hei… kau baik-baik saja? Kedengarannya lelah.”
Reza terkekeh. “Hanya sedikit sibuk. Tapi aku ingin mendengar suaramu sebelum tidur. Bagaimana harimu?”
Dira tersenyum. “Biasa saja. Aku pergi ke kafe favorit kita. Rasanya aneh tanpa kamu di sana.”
“Aku juga merasa aneh tanpa kamu di sini,” kata Reza. “London dingin dan ramai, tapi tetap terasa sepi.”
Dira terdiam sejenak sebelum berkata, “Reza, pernahkah kau merasa ragu? Bahwa kita bisa bertahan dengan semua ini?”
Reza menghela napas. “Jarak memang tidak mudah, Dira. Tapi aku memilih untuk percaya. Karena aku tahu, aku akan selalu menunggumu. Right here, always waiting.”
Dira menutup matanya, membiarkan kata-kata itu menyelimuti hatinya. Ia tahu, cinta mereka mungkin diuji oleh jarak, tapi jika mereka saling percaya, mereka akan bertahan.
Dua tahun berlalu, dan Dira kembali ke bandara yang sama. Kali ini, bukan untuk mengucapkan selamat tinggal, melainkan untuk menyambut seseorang yang sudah lama ia rindukan.
Saat Reza melangkah keluar dari pintu kedatangan, matanya langsung mencari sosok yang ia rindukan. Begitu melihat Dira, ia tersenyum lebar, lalu berlari ke arahnya.
Tanpa berkata-kata, mereka saling merengkuh, membiarkan waktu yang sempat memisahkan mereka kini melebur dalam pelukan yang erat.
“Aku pulang,” bisik Reza.
Dira tersenyum, air matanya mengalir. “Aku tahu. Dan aku selalu menunggumu.”
Cinta mereka tak pernah pudar. Karena cinta sejati selalu bertahan, tak peduli seberapa jauh jarak yang memisahkan.
Malam itu, mereka berjalan di sepanjang pantai Jimbaran. Angin laut berembus lembut, membawa aroma garam dan pasir basah. Cahaya bulan memantul di permukaan air, menciptakan suasana romantis yang sempurna.
“Aku sering membayangkan momen ini,” kata Reza sambil menggenggam tangan Dira. “Momen di mana kita bisa duduk berdampingan lagi, tanpa ada jarak dan layar di antara kita.”
Dira menatapnya penuh kasih. “Aku juga. Setiap hari aku menghitung waktu sampai saat ini tiba. Dan sekarang, aku ingin menikmati setiap detiknya bersamamu.”
Mereka duduk di atas pasir, membiarkan kaki mereka tersapu ombak kecil. Reza mengambil sesuatu dari sakunya—sebuah liontin perak berbentuk hati.
“Aku membelinya di London. Setiap kali aku merasa rindu, aku memegangnya dan mengingatmu. Sekarang, aku ingin kamu yang memilikinya.”
Dira tersenyum, menerima liontin itu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Reza. Ini berarti banyak untukku.”
Reza mengusap lembut pipinya. “Aku berjanji, aku tidak akan pernah pergi lagi. Tidak akan ada lagi perpisahan panjang. Kita akan selalu bersama.”
Dira mengangguk, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Reza. Di bawah langit Bali yang bertabur bintang, mereka merayakan cinta yang bertahan melewati jarak dan waktu. Cinta yang tak tergoyahkan, seperti janji yang pernah mereka ucapkan dua tahun lalu. (*)