Misteri Mancing Air Deras: Ketika Peribahasa Berbicara

Warung kopi
Ilustrasi tamu minum di warung kopi. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

SENJA di warung kopi Sabar selalu ramai. Aroma kopi Bali yang pekat bercampur dengan obrolan hangat, diselingi tawa renyah. Di sana, duduklah dua sekawan sejati: Parman, dengan rambut ikal yang mulai menipis dan kacamata bertengger di ujung hidung, dan Budi, yang selalu rapi meski baru pulang dari sawah.

Topik obrolan mereka sore itu, seperti biasa, bergeser dari harga pupuk ke gosip tetangga, hingga akhirnya mendarat di fenomena aneh yang belakangan ini merebak: acara memancing ikan di air deras.

“Man, aku heran deh,” Budi memulai, menyeruput kopi hitamnya. “Sekarang kok banyak banget ya acara mancing di sungai yang arusnya deras atau mancing di air deras begitu? Di televisi, di YouTube, semua pada pamer ikan besar yang ditarik dari air yang ngegelojak.”

Parman, yang sedang asyik mengaduk kopinya hingga nyaris tumpah, mengangkat alisnya. “Iya juga ya, Bud. Dulu perasaan kalau mancing itu identiknya sama empang, danau, atau paling pol sungai yang airnya tenang. Kan enak tuh, bisa santai selonjoran sambil nunggu pelampung gerak.”

“Nah itu dia!” Budi menunjuk-nunjuk Parman dengan sendok. “Logikanya kan begitu. Air tenang, ikan kalem, gampang dipancing. Ini malah pada cari sensasi di air deras. Kayak mau arung jeram sambil mancing.”

Parman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Mungkin biar lebih menantang kali, Bud. Adrenalinnya dapet.”

Budi mendengus. “Menantang apanya? Itu mah namanya nyari mati. Coba bayangin, ikan besar yang lagi ngamuk di arus deras, terus kita tarik. Bisa-bisa kita yang malah nyebur ikut hanyut.”

Keduanya terdiam sejenak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Suara cekikikan dari meja sebelah, tempat ibu-ibu arisan sedang ngegosip tentang harga emas, seolah menjadi soundtrack kebingungan mereka.

“Aku punya teori, Bud,” kata Parman tiba-tiba, matanya berbinar seperti habis menemukan harta karun. “Mungkin itu berhubungan sama insting purba. Kan dulu nenek moyang kita juga berburu di alam liar, jadi mancing di air deras itu kayak reconnect sama naluri primitif.”

Budi menatap Parman dengan ekspresi flat. “Reconnecting sama naluri primitif? Man, ini bukan lagi survival show di hutan Amazon. Ini mancing, cari ikan buat lauk. Bukan buat pembuktian diri.”

“Ya siapa tahu!” Parman membela diri. “Atau mungkin ikannya di air deras itu lebih sehat, lebih fit, jadi rasanya lebih enak pas digoreng.”

“Kalau ikannya lebih sehat, dia pasti lebih pintar menghindar, Man!” Budi mulai sedikit kesal dengan teori-teori ngawur Parman. “Lagipula, mana ada yang bisa memastikan ikan di air deras itu lebih sehat. Jangan-jangan cuma karena mereka olahraga setiap hari jadi ototnya lebih kuat.”

Parman terdiam lagi, mencoba mencari jawaban lain di dasar cangkir kopinya. Budi, yang sudah cukup lama menahan tawa, akhirnya tidak sanggup lagi. Ia meletakkan cangkirnya perlahan, menatap Parman dengan senyum misterius.

“Man,” kata Budi, suaranya pelan dan penuh intrik. “Aku tahu kenapa banyak yang mancing di air deras sekarang.”

Mata Parman langsung melebar. “Kenapa, Bud? Jangan bilang itu gara-gara mitos ikan duyung atau apalah itu.”

Budi menggeleng pelan, senyumnya semakin lebar. “Ini tak lepas dari peribahasa Indonesia, Man.”

“Peribahasa?” Parman mengernyitkan dahi. “Peribahasa apa?”

“Pertama,” Budi mengacungkan jari telunjuknya, “peribahasa yang bunyinya: Air tenang menghanyutkan.”

Parman manggut-manggut. “Iya, itu artinya orang pendiam bisa jadi berbahaya, kan?”

“Bukan itu, Man,” Budi menggelengkan kepala, berusaha menahan tawa. “Dalam konteks memancing di air tenang, artinya mancing di air tenang ikannya pasti hanyut!”

Parman melongo. “Hanyut? Maksudnya?”

“Ya iyalah!” Budi menepuk meja. “Bayangkan, di air tenang, arus sedikit saja, pelampung goyang-goyang, ikannya merasa nggak aman. Begitu kail kita sentuh, dia panik, terus hanyut terbawa arus pelan. Nah, kalau sudah hanyut, bagaimana mau dapat ikannya? Jadi sia-sia mancing di air tenang karena ikannya pasti hanyut!”

Parman terdiam sejenak, mencerna penjelasan Budi yang absurd tapi entah mengapa terdengar masuk akal di telinganya yang sudah terlanjur lelah berteori.

“Terus,” Budi melanjutkan, mengangkat jari telunjuknya yang kedua, “ada peribahasa kedua: Air tenang jangan disangka tak berbuaya.”

Parman menatap Budi tanpa berkedip. “Jangan-jangan ini lebih ngaco lagi.”

“Nah, ini dia!” Budi mengangguk penuh semangat. “Ikan itu pintar, Man. Mereka tahu peribahasa ini. Mereka takut di air tenang karena khawatir dimakan buaya!”

“Buaya?” Parman tertawa terbahak-bahak. “Mana ada buaya di empang depan rumah, Bud?”

“Bukan buaya sungguhan, Man!” Budi membela diri. “Ini kan peribahasa! Maksudnya, ikan itu punya fobia sama air tenang. Mereka mikir, kalau airnya tenang, gampang banget tuh buaya ngendap-ngendap terus hap! Langsung dimakan!”

“Jadi,” Parman mencoba menyimpulkan dengan wajah serius yang menahan tawa, “bila mancing di air tenang, otomatis tak ada ikannya karena takut hanyut dan dimakan buaya?”

“Tepat sekali, Man!” Budi menepuk bahu Parman. “Itulah kenapa sekarang para pemancing pada lari ke air deras. Di air deras, ikan merasa aman. Arus kencang, buaya mana bisa ngendap-ngendap? Dan ikannya nggak bakal hanyut karena harus berjuang melawan arus, jadi malah makin fit dan susah kabur dari kail!”

Parman dan Budi saling pandang. Kemudian, tawa mereka pecah, memenuhi seisi warung kopi. Pak Sabar, yang sedang mengelap meja, hanya tersenyum tipis, sudah terbiasa dengan kegilaan dua pelanggannya itu.

“Wah, Bud,” Parman akhirnya bisa bicara setelah tawanya reda. “Teorimu ini memang nyeleneh, tapi kok ya… ada benernya juga ya!”

Budi mengangguk bangga. “Makanya, Man, jangan cuma ngandelin logika ilmiah. Kadang, peribahasa itu punya makna tersembunyi yang lebih dalam, apalagi kalau diterjemahkan dengan gaya pemancing sejati.”

Mereka berdua menghabiskan kopi terakhir mereka, sambil sesekali masih terkekeh membayangkan ikan-ikan panik yang hanyut atau dikejar buaya di air tenang. Sejak saat itu, setiap kali mereka melihat acara memancing di air deras, mereka selalu ingat teori “peribahasa” Budi, dan tawa mereka tak pernah bisa ditahan. (*)

banner 300x250

Related posts