LEO melajukan motor sewanya dengan keyakinan palsu. GPS-nya sudah mati sejam lalu dan jalanan aspal yang semula mulus kini berubah menjadi jalan setapak berbatu yang diapit sawah terasering. Ia datang ke Bali untuk satu misi: menemukan kuliner otentik yang belum terjamah turis. Sayangnya, pada petualangan kuliner di hari ketiganya di Pupuan, Tabanan, yang ia temukan hanyalah jalanan yang salah.
“Sial,” gumamnya, melemparkan ponselnya ke dalam tas. “Pasti ada sesuatu yang otentik di sini.”
Tiba-tiba, di balik rimbunan pohon durian, sebuah papan kayu usang menarik perhatiannya: “WARUNG IBU KIRANA”. Warungnya kecil, hanya ada beberapa meja kayu dengan kursi bambu, dan suasana sepi sekali. Seorang wanita muda sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Rambutnya diikat asal, dan ia mengenakan kaos oblong lusuh.
“Halo,” sapa Leo, mencoba tersenyum ramah. “Apa ini warung makan?”
Wanita itu, yang ternyata bernama Kirana, mendongak. Matanya yang gelap memancarkan sedikit rasa heran. “Iya, Bapak. Cari apa?”
“Saya… tersesat,” jawab Leo jujur. “Tapi saya lihat papan ini dan penasaran. Apa Anda punya makanan Bali?”
“Ada. Tapi masakan rumahan, bukan yang biasa dijual di restoran.” Kirana menunjuk ke sebuah nampan. “Saya punya nasi campur hari ini.”
Leo mendekat. Ia melihat tumpukan nasi hangat yang dikelilingi lauk pauk sederhana: ayam betutu yang warnanya kecokelatan, tumis sayur paku (pakis), sambal matah yang segar, dan urap sayur. Tanpa ragu, ia mengeluarkan kameranya.
“Boleh saya rekam?” tanya Leo.
Kirana mengangguk, sedikit kaku. “Silakan.”
Leo mengambil porsi lengkap dan duduk di salah satu meja. Gigitan pertama terasa seperti keajaiban. Ayam betutu itu begitu lembut, bumbunya meresap hingga ke tulang. Sambal matahnya pedas namun menyegarkan, dan tumis sayurnya terasa renyah dan gurih. Leo yang biasanya sinis dan mudah mengkritik, kini hanya bisa terdiam, menikmati setiap suap.
“Ini… luar biasa,” katanya setelah selesai makan, sambil menyeka bibirnya.
Kirana tersenyum kecil. “Terima kasih, Bapak.”
“Saya Leo. Vlogger travel. Saya punya segmen ‘Kuliner Tepat Sasaran’.” Leo menunjukkan kameranya. “Dan warung Anda, Kirana, adalah sasaran paling tepat yang pernah saya temui.”
Video ulasan Leo diunggah malam itu juga. Keesokan harinya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pagi-pagi sekali, Leo mendapat pesan dari Kirana. “Bapak Leo, warung saya… ramai sekali. Banyak orang datang bawa ponsel, katanya nonton video Bapak.”
Leo kembali ke warung Kirana. Pemandangan di sana benar-benar berbeda. Pengunjung bisa makan sambil menghadap ke pemandangan sawah di belakang. Warung yang biasanya sepi kini dipenuhi turis dan bahkan penduduk lokal yang penasaran. Kirana tampak kewalahan, tapi senyum tak pernah hilang dari wajahnya.
“Wow,” kata Leo. “Ini efek ‘Kuliner Tepat Sasaran’. Tapi… kamu perlu bantuan.”
Sejak saat itu, Leo tidak lagi menjadi pelanggan. Ia menjadi asisten Kirana. Ia membantu mencatat pesanan, menyajikan makanan, dan yang terpenting, ia belajar dari Kirana. Awalnya, ia hanya tertarik pada resep. “Rahasia ayam betutunya apa?” tanyanya suatu sore, saat mereka sedang membersihkan warung.
“Tidak ada rahasia,” jawab Kirana santai. “Cuma bumbu yang diulek dengan cinta, dan proses yang sabar.”
Jawaban itu membuat Leo bingung. Namun, seiring waktu, ia mulai mengerti. Cinta dan kesabaran adalah kunci. Leo melihat bagaimana Kirana dengan telaten memilih rempah-rempah segar dari kebunnya sendiri, bagaimana ia mengulek bumbu di atas cobek batu, dan bagaimana matanya berbinar saat ia memasak.
Satu minggu berubah menjadi dua. Mereka mulai menjelajahi Bali bersama, mencari bahan-bahan baru. Di Pasar Tradisional Badung, Leo melihat Kirana menawar harga dengan para pedagang sambil tertawa. Di Museum Puri Lukisan, Kirana menjelaskan makna simbolik di balik setiap lukisan, membandingkannya dengan filosofi di balik masakan Bali. Leo menyadari, di balik kesederhanaan Kirana, ada kedalaman yang tak pernah ia temukan sebelumnya.
Suatu sore, mereka duduk di tepi sawah, memandangi matahari terbenam. Leo menatap Kirana yang sedang memotong sayuran untuk makan malam. “Kamu tahu, Kirana… Masakanmu… itu lebih dari sekadar makanan. Itu cerita. Tentang Bali, tentang desamu, tentang dirimu.”
Kirana mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca. “Kamu orang pertama yang bilang begitu, Leo. Aku cuma masak dari hati.”
Saat itulah, Leo tahu. Ia tidak hanya jatuh cinta pada masakan Kirana. Ia jatuh cinta pada hati yang tulus itu. Pada semangatnya, pada kesederhanaannya, dan pada caranya melihat dunia.
“Kirana,” bisik Leo. “Aku… aku tidak ingin pergi.”
Kirana menatapnya bingung. “Maksudmu?”
“Karirku… mengharuskan aku untuk terus berpindah. Selalu mencari hal baru. Tapi entah kenapa, di sini… di warungmu, di sisimu, aku merasa sudah menemukan semuanya.” Leo meraih tangan Kirana. “Aku ingin tinggal di sini. Belajar darimu. Bantu kamu membangun warung ini. Bersama-sama.”
Kirana terdiam. Tangannya memegang erat tangan Leo. Ia menatap mata pria itu, mencari kepalsuan, tetapi yang ia temukan hanyalah ketulusan yang murni. Senyum perlahan mengembang di bibirnya.
“Leo,” katanya pelan. “Petualanganmu sudah selesai. Kamu sudah menemukan sasaranmu. Kamu sudah menemukan rumahmu.”
Di bawah langit Bali yang berwarna jingga, seorang vlogger yang sinis dan seorang koki yang sederhana, menemukan bahwa petualangan terbaik bukanlah mencari tempat baru, melainkan menemukan seseorang yang membuatmu ingin menetap. Dan bagi Leo, petualangan kulinernya sudah berakhir. Ia telah menemukan “rasa” yang paling otentik dan paling indah, di hati seorang wanita bernama Kirana. (*)







