MENTARI pagi menyapa Puncak Angin dengan kehangatan lembutnya. Embun masih menggelayuti dedaunan, memberikan kesegaran alami bagi siapapun yang menghirupnya. Di sebuah kafe yang baru saja viral karena pemandangannya yang memukau dan spot-spot swafoto uniknya, seorang pemuda bernama Kevin tengah duduk gelisah. Sesekali matanya melirik jam tangannya, lalu pandangannya kembali menyapu jalan setapak yang berkelok menuju kafe.
Sudah enam bulan Kevin dan Maya saling bertukar pesan, berbagi cerita, dan tertawa melalui layar ponsel. Perkenalan mereka di media sosial tanpa sengaja membawa keduanya pada kedekatan yang tak terduga. Intensitas komunikasi yang tinggi membuat Kevin merasa ada koneksi istimewa dengan gadis yang belum pernah ia temui secara langsung itu. Hari ini, janji itu akhirnya tiba. Pertemuan pertama yang mereka sepakati di kafe Puncak Angin, tempat yang Maya sebutkan memiliki pemandangan kota yang luar biasa dan suasana yang romantis.
“Sudah jam segini, kok belum datang ya?” gumam Kevin, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu di depannya. Secangkir kopi yang tadinya mengepulkan aroma nikmat kini sudah mendingin.
Tiba-tiba, dari arah jalan setapak, muncul seorang gadis dengan rambut panjang yang tergerai indah. Langkahnya ringan, senyumnya merekah secerah mentari pagi. Kevin langsung mengenali siluet itu dari foto profil Maya. Jantungnya berdebar kencang.
“Kevin?” sapa gadis itu dengan suara lembut yang persis seperti yang ia dengar selama ini di rekaman suara.
Kevin berdiri, sedikit terkejut namun lega bukan main. “Maya? Ya ampun, ini beneran kamu?”
Maya tertawa kecil. “Iya, ini aku. Maaf ya kalau agak telat, tadi ada sedikit kendala di jalan.”
“Nggak apa-apa kok. Yang penting kamu sudah sampai,” balas Kevin, matanya tak bisa lepas dari wajah Maya yang tampak lebih cantik dari fotonya.
Mereka berdua duduk, suasana canggung sesaat menyelimuti. Namun, kecanggungan itu segera mencair oleh obrolan ringan tentang perjalanan Maya dan kekaguman Kevin pada keindahan Maya secara langsung.
“Tempat ini memang seindah yang kamu ceritakan,” kata Kevin, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe. Beberapa pengunjung tampak asyik berfoto di spot ayunan dengan latar belakang pegunungan yang hijau.
“Iya kan? Aku suka banget suasana di sini. Tenang, udaranya sejuk, dan pemandangannya bikin pikiran rileks,” jawab Maya, senyumnya tak pernah pudar.
Setelah memesan minuman dan camilan, obrolan mereka semakin mengalir. Mereka membahas banyak hal, mulai dari hobi, pekerjaan, hingga mimpi-mimpi yang mereka miliki. Kevin terpesona dengan kecerdasan dan selera humor Maya, sementara Maya terkesan dengan kebaikan dan perhatian Kevin.
“Kamu tahu, rasanya aneh tapi juga menyenangkan bisa ketemu langsung seperti ini. Padahal, kita cuma kenal lewat layar ponsel,” ujar Maya, sambil menyesap minumannya.
“Aku juga merasakan hal yang sama. Selama ini aku merasa kita sudah dekat sekali, tapi tetap saja ada rasa penasaran seperti apa kamu di dunia nyata,” timpal Kevin.
“Dan ternyata…?” tanya Maya, mengangkat alisnya dengan tatapan menggoda.
Kevin tersenyum tulus. “Dan ternyata, kamu jauh lebih… nyata dan mempesona dari yang aku bayangkan.”
Pipi Maya merona tipis mendengar pujian Kevin. Mereka berdua tertawa, merasa semakin nyaman satu sama lain. Setelah puas mengobrol dan menikmati pemandangan, Maya mengajak Kevin untuk mencoba beberapa spot swafoto yang ada di sekitar kafe. Mereka berpose konyol di ayunan, tertawa lepas saat mencoba bermain egrang yang ternyata cukup sulit, dan hampir terjatuh saat mencoba berjalan menggunakan sepatu bakiak bersamaan.
“Aduh, susah banget ternyata main ginian ya,” keluh Maya sambil tertawa memegangi lengan Kevin.
“Iya, dulu waktu kecil sih gampang aja kayaknya,” balas Kevin, ikut tertawa sambil menstabilkan langkah mereka.
Di tengah riuhnya pengunjung lain, Kevin dan Maya tampak asyik dengan dunia mereka sendiri. Tawa mereka berbaur dengan angin sepoi-sepoi Puncak Angin, menciptakan melodi kebahagiaan yang sederhana namun berkesan.
Saat matahari mulai condong ke barat, Kevin dan Maya memutuskan untuk mencoba permainan tradisional bersama beberapa pengunjung lain yang juga tertarik. Mereka membentuk kelompok kecil dan mencoba berbagai permainan seperti balap karung yang dimodifikasi. Keakraban terjalin begitu cepat, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
“Seru banget ya! Aku jadi ingat masa kecil dulu,” seru Maya dengan wajah berseri-seri setelah berhasil memenangkan babak balap karung dengan sedikit bantuan dari Kevin.
“Iya, sederhana tapi bikin ketagihan,” jawab Kevin, matanya tak lepas dari senyum bahagia di wajah Maya.
Setelah puas bermain dan hari semakin gelap, Kevin dan Maya kembali duduk di meja mereka. Suasana kafe mulai berubah menjadi lebih romantis dengan lampu-lampu temaram yang menghiasi setiap sudut.
“Terima kasih ya, Kevin. Hari ini menyenangkan sekali,” ucap Maya tulus.
“Aku juga, Maya. Bahkan lebih dari yang aku bayangkan,” balas Kevin, menatap mata Maya lekat-lekat. “Aku merasa… kita punya sesuatu yang istimewa. Aku ingin mengenalmu lebih jauh, menyelami setiap sudut pribadimu.”
Maya tersenyum lembut. “Aku juga merasakan hal yang sama, Kevin. Aku rasa, pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang indah.”
Sebelum malam semakin larut, mereka memutuskan untuk mencari tempat makan malam di sekitar Puncak Angin. Langkah mereka beriringan, sesekali bahu mereka bersentuhan, menciptakan kehangatan yang tak terucapkan. Di bawah langit bertabur bintang, Kevin dan Maya sepakat untuk melanjutkan perjalanan ini bersama, membuka lembaran baru dalam kisah mereka yang berawal dari sebuah sapaan di dunia maya. Pertemuan pertama di Puncak Angin bukan hanya sekadar pertemuan biasa, tetapi sebuah awal yang menjanjikan untuk sebuah romansa yang mungkin saja abadi.
Langkah kaki mereka menuruni jalan setapak menuju area parkir terasa ringan, diiringi sisa-sisa tawa dan obrolan seru sepanjang hari. Udara malam Puncak Angin terasa dingin menusuk kulit, namun kehangatan yang tumbuh di antara Kevin dan Maya mampu mengalahkannya.
“Kamu lapar?” tanya Kevin, memecah keheningan yang nyaman.
Maya mengangguk sambil tersenyum. “Lumayan. Tadi camilannya enak, tapi belum cukup buat makan malam.”
“Ada satu tempat makan sate di dekat sini, katanya enak banget. Mau coba?” tawar Kevin.
“Boleh! Aku suka sate,” jawab Maya antusias.
Mereka berjalan berdampingan menuju tempat parkir. Sesekali Kevin tanpa sadar menyentuh lengan Maya, lalu buru-buru menarik tangannya kembali dengan sedikit canggung. Maya hanya tersenyum kecil melihat tingkah Kevin.
Di warung sate yang sederhana namun ramai, mereka memesan beberapa porsi sate kambing dan sate ayam. Aroma daging yang dibakar bercampur dengan bumbu kacang yang gurih langsung menggugah selera. Sambil menunggu pesanan datang, mereka kembali melanjutkan obrolan.
“Ternyata kamu jago juga ya main balap karung,” celetuk Kevin, mengingat keseruan sore tadi.
Maya tertawa. “Itu juga berkat kamu yang sedikit mendorong karungku tadi.”
“Hei, itu namanya kerja sama tim!” sanggah Kevin sambil tersenyum. “Tapi serius, aku nggak nyangka kamu seceria ini. Di chat, kamu terkesan lebih kalem.”
“Mungkin karena aku lebih nyaman kalau sudah ketemu langsung. Apalagi sama kamu,” jawab Maya, tatapannya lembut namun penuh arti.
Kevin merasakan jantungnya berdebar lagi. Ucapan Maya terasa seperti angin segar di tengah dinginnya malam.
Sate pesanan mereka akhirnya datang. Mereka menikmati hidangan sederhana itu dengan lahap, diselingi obrolan ringan dan sesekali saling bertukar pandang. Suasana akrab dan hangat terasa begitu alami di antara mereka, seolah mereka memang ditakdirkan untuk bertemu.
Setelah selesai makan malam, Kevin mengantar Maya kembali ke mobilnya. Sebelum berpisah, mereka berdiri sejenak di bawah cahaya rembulan yang menerangi jalan.
“Terima kasih sekali lagi untuk hari ini, Kevin. Aku benar-benar menikmati setiap momennya,” ujar Maya, menatap Kevin dengan mata berbinar.
“Aku yang seharusnya berterima kasih, Maya. Kamu sudah membuat hari ini menjadi sangat istimewa,” balas Kevin. Ia memberanikan diri meraih tangan Maya, menggenggamnya dengan lembut.
Hening sejenak menyelimuti mereka, hanya suara jangkrik yang terdengar di kejauhan. Ada keraguan di mata Kevin, namun juga ada harapan yang besar.
“Maya,” panggil Kevin pelan, “aku… aku merasa ada sesuatu yang lebih di antara kita. Aku tidak ingin ini hanya menjadi pertemuan pertama dan terakhir.”
Maya tersenyum tulus, genggaman tangannya membalas erat genggaman Kevin. “Aku juga merasakan hal yang sama, Kevin. Aku ingin kita terus saling mengenal, tidak hanya lewat layar ponsel.”
“Jadi… bagaimana kalau kita atur pertemuan berikutnya?” tanya Kevin, nada suaranya penuh harap.
“Aku akan sangat senang,” jawab Maya dengan anggukan mantap. “Kapan pun kamu ada waktu.”
Kevin merasa lega dan bahagia yang tak terkira. Ia menggenggam tangan Maya semakin erat, seolah tak ingin melepaskannya.
“Nanti aku kabari ya. Mungkin kita bisa coba tempat lain yang seru di Bandung?” usul Kevin.
“Ide bagus! Aku suka banget Pantai Romantise,” jawab Maya antusias.
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebersamaan dan kehangatan yang tercipta. Akhirnya, Maya melepaskan genggaman tangan Kevin dengan senyum manis.
“Hati-hati di jalan ya, Kevin. Sampai ketemu lagi,” ucap Maya sambil melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobilnya.
Kevin berdiri terpaku, memperhatikan mobil Maya yang perlahan menghilang dari pandangan. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kebahagiaan yang meluap-luap dalam dirinya. Pertemuan pertamanya dengan Maya bukan hanya sekadar memenuhi rasa penasaran, tetapi telah menumbuhkan benih-benih cinta yang tulus. Ia tak sabar menanti pertemuan berikutnya, untuk terus menyelami lebih dalam hati dan pikiran gadis yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta bahkan sebelum mereka bertatap muka. Malam itu, di Puncak Angin yang dingin, hati Kevin terasa hangat oleh harapan dan cinta yang baru saja bersemi. (*)








