RAMAI namun terasa sunyi. Di balik gemerlap kota Jakarta, ada hati yang hancur berkeping-keping. Ade Maharini menatap langit kelam dari balkon apartemennya, seolah memantulkan luka yang tak kunjung sembuh. Cintanya dikhianati yang dijalin selama tiga tahun bersama Devara berakhir kandas dalam sekejap, tapi bukan perpisahan itu yang menorehkan luka terdalam—melainkan pengkhianatan dari orang yang paling ia percaya.
Devara meninggalkannya untuk Clara, sahabatnya sendiri. Setelah mengalami pengkhianatan dua kali, Ade merasa dunia tak lagi sama. Namun, di balik keterpurukan, terkadang tersimpan kekuatan yang menunggu untuk dibangkitkan kembali dengan sisa-sisa cinta yang dulu pernah bersemi.
****
Ade Maharini duduk termenung di balkon apartemennya di Jakarta, memandangi langit kota yang kelam, seolah mencerminkan suasana hatinya yang tengah galau. Baru beberapa minggu yang lalu, dunianya terasa runtuh ketika Devara, pacarnya selama tiga tahun, memutuskan hubungan mereka. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah putusnya hubungan itu, melainkan kenyataan bahwa Devara meninggalkan dirinya demi sahabatnya sendiri, Clara. Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai, Ade merasa hancur.
Tak kuat bertahan di tengah kenangan pahit dan kebohongan, Ade memutuskan untuk pergi. Bali—tempat yang selalu ia bayangkan penuh kedamaian—menjadi pelariannya. Ia yakin pulau yang tenang dan penuh dengan energi positif itu akan menjadi tempat terbaik untuk memulai kembali hidupnya. Di sana, Ade bekerja sebagai konten kreator, menangkap keindahan alam Bali dalam foto dan video yang memikat, sembari berusaha menyembuhkan luka di hatinya.
*****
Setahun berlalu. Ade menemukan bahwa Bali bukan hanya tempat pelarian, tetapi juga tempat penyembuhan. Ia mulai menikmati kesibukan baru sebagai konten kreator, berteman dengan orang-orang lokal dan turis dari berbagai belahan dunia, dan secara perlahan mulai merasa dirinya kembali utuh. Rasa sakit itu masih ada, tapi tidak lagi menyelimuti hidupnya. Di bawah sinar matahari Bali, ia merasa bebas.
Suatu malam, Ade memutuskan untuk makan di salah satu warung seafood di kawasan Pantai Jimbaran. Tempat itu selalu ramai dengan wisatawan dan penduduk lokal yang menikmati makan malam sambil mendengarkan deburan ombak dan menyaksikan matahari tenggelam. Ade duduk di meja pinggir pantai, memesan ikan bakar favoritnya beserta kerang bumbu pedas. Saat ia menunggu makanannya datang, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang tak asing—Devara.
Ade terpaku. Devara, mantan kekasihnya yang pernah menjadi pusat hidupnya, duduk sendirian di sudut warung. Wajahnya yang dulu ceria kini terlihat muram dan lelah. Perasaan campur aduk mengisi hati Ade—antara terkejut, gugup, dan, anehnya, masih ada sedikit rasa yang tertinggal.
“Devara?” Ade akhirnya memanggil, meskipun suaranya sedikit bergetar.
Devara menoleh, terlihat sama terkejutnya. Ia berjalan menghampiri Ade dengan langkah pelan. “Ade? Kamu… di sini?”
Ade tersenyum canggung. “Ya, aku tinggal di Bali sekarang.”
Tanpa diduga, mereka berdua akhirnya duduk bersama, seperti dua teman lama yang tanpa sengaja bertemu di tempat yang jauh dari rumah. Percakapan dimulai dengan kikuk, berbicara tentang hal-hal ringan—pekerjaan, Bali, kehidupan mereka masing-masing selama setahun terakhir. Tapi kemudian, obrolan mulai mendalam ketika Devara mengakui bahwa ia juga baru saja mengalami pengkhianatan dari pacarnya, Clara.
“Aku nggak nyangka, ternyata dia selingkuh dengan orang lain,” kata Devara dengan suara pelan, sembari memainkan gelas minumnya.
“Dan ironisnya, aku tahu rasanya sekarang. Rasa sakit yang dulu kamu alami.”
Ade menghela napas panjang. Mendengar pengakuan itu membuat hatinya berdesir.
“Aku pikir kita nggak akan ketemu lagi setelah semuanya,” katanya pelan. “Aku ke sini juga untuk melupakan banyak hal, termasuk kamu.”
“Aku ngerti,” jawab Devara. “Aku cuma ingin bilang kalau aku menyesal. Menyesal sudah menyakiti kamu, dan sekarang aku tahu betapa dalam luka itu.”
Ade terdiam sejenak, memandangi ombak yang berkilauan di bawah sinar bulan. Bagian dari dirinya ingin membalas dendam, ingin membuat Devara merasakan sakit yang sama. Tapi saat melihat wajah lelah di depannya, Ade hanya merasakan keikhlasan. Setahun lalu, ia mungkin masih penuh dengan kemarahan dan kebencian, tapi sekarang, semua itu perlahan menguap, digantikan oleh perasaan yang lebih lembut.
“Aku juga nggak nyangka bisa bicara dengan kamu lagi,” kata Ade, tersenyum tipis. “Tapi jujur, pertemuan ini malah bikin aku merasa lega.”
Mereka melanjutkan obrolan dengan lebih ringan, mengenang masa-masa indah yang pernah mereka alami bersama. Ade menyadari bahwa di balik segala luka, masih ada sisa-sisa kenangan manis yang dulu mereka bagi. Perasaan nyaman mulai tumbuh kembali, seperti bunga yang perlahan mekar setelah musim dingin yang panjang.
“Apa menurutmu… kita bisa mulai lagi?” tanya Devara tiba-tiba, membuat Ade terkejut. “Aku tahu aku nggak layak minta ini, tapi setelah semua yang terjadi, aku sadar kalau aku masih sayang sama kamu.”
Ade terdiam, hatinya bergetar. Bagian dari dirinya ingin mengatakan tidak, takut bahwa hubungan itu akan berakhir dengan luka yang sama. Tapi ada juga bagian lain dari dirinya yang tidak bisa menyangkal—perasaan yang dulu ia kira sudah mati, ternyata masih ada, meskipun samar.
“Aku nggak tahu, Dev,” jawab Ade jujur. “Aku butuh waktu. Luka ini mungkin sudah sembuh, tapi bekasnya masih ada.”
Devara mengangguk, memahami. “Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tahu bahwa perasaanku tulus. Kita nggak harus buru-buru. Aku siap menunggu sampai kamu benar-benar yakin.”
Ade tersenyum tipis, merasa lega dengan jawaban itu. Mereka menghabiskan sisa malam dengan berbincang tentang hal-hal ringan, tertawa, dan merasakan kedamaian yang selama ini mereka cari.
Malam itu, Ade kembali ke apartemennya dengan hati yang penuh. Ia tak tahu pasti ke mana perasaan ini akan membawanya, tapi satu hal yang ia sadari—cinta bisa tumbuh kembali, perlahan-lahan, seperti matahari terbit yang menggantikan kegelapan malam. Sisa-sisa Cinta kepada Devara masih ada. Mungkin cinta mereka akan mekar kembali, tapi kali ini, dengan cara yang lebih bijaksana dan dewasa.
Dan Bali, dengan segala kedamaiannya, menjadi saksi bahwa cinta kedua itu mungkin terjadi—pelan-pelan, penuh harapan, dan di bawah langit yang lebih cerah.
Devara yang mendapat tugas dari atasannya berada di Bali selama dua bulan untuk mencari lokasi perluasan butuiknya. Rencananya, ia akan buka butik di Seminyak dan Ubud.
Ternyata, pertemuan itu seperti memberi energi baru bagi hubungan mereka berdua dan merajut kembali sisa-sisa cinta yang pernah bersemi dulu. (*)