RIO menekan pelatuk kameranya. Bunyi klik mekanis itu adalah satu-satunya hal yang terasa nyata baginya belakangan ini. Ia berada di Echo Beach, Canggu, memotret ombak yang menghantam karang, tetapi tidak ada satupun bidikan yang benar-benar memuaskan. Setelah lima tahun menjadi fotografer freelance di Yogyakarta, Rio merasa jenuh. Ia datang ke Bali mencari percikan api, bukan hanya pantulan cahaya.
“Attention! (Awas)”
Sebuah suara dengan aksen asing yang kental mengejutkannya. Ia berbalik cepat, dan di saat yang sama, ia merasakan tubrukan. Rio kehilangan keseimbangan, dan wanita yang menabraknya terhuyung. Sebuah ponsel mahal terlepas dari tangan wanita itu dan jatuh ke pasir, meninggalkan jejak retakan seperti sarang laba-laba di layar depannya.
“Astaga! Saya minta maaf sekali,” ujar Rio, cepat-cepat meletakkan kameranya dan meraih ponsel yang malang itu.
Wanita itu, yang mengenakan gaun linen putih sederhana dan topi pantai besar, menghela napas. Matanya yang hijau menatap layar yang retak itu sejenak, lalu beralih ke Rio. “It’s okay. Saya yang tidak melihat ke depan,” katanya, suaranya sedikit kecewa.
“Tidak, saya yang terlalu fokus. Ponsel Anda… layarnya retak. Tolong, biar saya yang bayar perbaikannya,” Rio mendesak, merasa sangat bersalah.
Wanita itu tersenyum tipis, senyum yang tiba-tiba membuat Rio lupa pada kejenuhannya. “Nama saya Chloe. Saya rasa membayar perbaikan layar adalah solusi yang terlalu membosankan, non?”
Rio mengernyit. “Maksud Anda?”
“Saya baru tiba di Bali. Saya seorang desainer busana dari Paris. Saya butuh inspirasi, tapi saya benci membaca panduan perjalanan. Bagaimana kalau ini sebagai ganti rugi?” Chloe menunjuknya dengan dagunya. “Anda, sang fotografer yang terobsesi dengan ombak, jadilah pemandu tur pribadi saya selama tiga hari. Tunjukkan saya Bali yang tidak ada di majalah pariwisata. Tunjukkan saya hal-hal yang membuat hati Anda tergerak. Setuju?”
Tawaran itu aneh, mendadak, dan sangat menarik. Rio seharusnya menolak—ia datang ke sini untuk fokus pada dirinya. Namun, di mata Chloe, ia melihat tantangan dan kejutan yang sudah lama ia rindukan.
“Tiga hari. Bali yang bukan Bali. Deal,” jawab Rio, menyambut uluran tangan Chloe.
Tiga hari berubah menjadi lima, dan lima hari terasa seperti sekejap mata.
Petualangan mereka dimulai dari sarapan smoothie bowl di kafe tersembunyi dekat Berawa, disusul dengan pelajaran selancar yang berakhir dengan Rio tertawa terbahak-bahak melihat Chloe terseret ombak kecil.
“Mon Dieu! (Perancis: Ya Tuhan) Saya tidak diciptakan untuk ombak ini!” seru Chloe suatu sore di pantai Batu Bolong.
“Justru itu asyiknya! Kegagalan itu indah, Chloe. Kalau mau sempurna, jadi manekin saja,” balas Rio sambil mengelap sisa air laut di wajahnya. Ia mengambil foto Chloe saat itu juga: rambut basah, wajah merona, dan mata yang bersinar penuh kegembiraan.
Di hari keempat, mereka pergi ke Pura Tanah Lot menjelang matahari terbenam. Rio membawa tripodnya.
“Rio, mengapa kamu hanya memotret pemandangan?” tanya Chloe sambil memeluk tubuhnya karena angin laut.
“Saya… saya takut memotret manusia. Maksudku, ada terlalu banyak cerita di mata mereka. Terlalu jujur. Saya tidak tahu cara menangkap semua itu,” Rio mengakui, kata-kata yang ia tahan selama bertahun-tahun kini keluar begitu saja.
Chloe menoleh, menatapnya dalam keheningan yang panjang. “Rio, saya seorang desainer. Setiap kali saya memilih kain, saya memilih cerita. Kain Bali ini…” Chloe menyentuh kain batik yang melilit pinggangnya, “…ini punya tradisi, punya jiwa. Tapi kain ini butuh interpretasi baru, sentuhan masa kini.”
“Bagaimana saya bisa membantu?”
“Tunjukkan saya, Rio, lewat matamu, apa yang kamu lihat dari kain ini. Bukan sebagai benda mati. Tapi sebagai bagian dari manusia, bagian dari emosi,” tantang Chloe.
Malam itu, mereka duduk di lantai studio seni sewaan Rio. Chloe mengeluarkan sketsa kasar, sementara Rio mengeluarkan folder foto-foto Bali. Rio mulai menceritakan tentang Endek yang melambangkan keberanian dan Gringsing yang dipercaya menolak bala. Chloe mendengarkan dengan saksama, sesekali matanya berbinar.
“Magnifique (luar biasa). Lihatlah, Rio,” Chloe menunjukkan sketsa gaun malam yang dramatis, seluruhnya terbuat dari motif Endek. “Ini bukan hanya pakaian. Ini adalah spirit. Anda membuka mata saya pada filosofi di balik benang.”
Saat Rio melihat sketsa itu, ia menyadari sesuatu. Ia tidak hanya terinspirasi oleh kain, tapi oleh wanita di hadapannya.
Malam terakhir. Mereka duduk di balkon Vila Made, menikmati segelas Bintang dingin.
“Jadi, sudah tujuh hari,” kata Rio, suaranya terdengar berat.
Chloe mengangguk pelan. “Ponsel saya sudah diperbaiki. Hati saya… terasa sedikit retak lagi, tapi dengan cara yang bagus.”
“Chloe, saya menemukan percikan api yang saya cari,” kata Rio. “Bukan di ombak, tapi di matamu. Di caramu melihat dunia.”
Chloe tersenyum sedih. “Rio, saya harus kembali. Pekan mode menanti. Paris itu keras, tapi itu adalah rumah saya.”
“Yogyakarta juga keras, tapi itu adalah akar saya. Bagaimana kalau…” Rio menarik napas dalam-dalam. “Bagaimana kalau kita tidak kembali ke tempat yang sama? Bagaimana kalau kita bertemu di tengah?”
Chloe menatapnya, matanya dipenuhi keraguan dan harapan.
“Lihatlah kita, Chloe. Kita adalah Canggu Connection. Saya seorang fotografer, kamu seorang desainer. Dua dunia yang berbeda. Tapi kita saling menginspirasi. Berapa banyak desainer di Paris yang bisa mendapatkan cerita dari Pura Tanah Lot? Berapa banyak fotografer di Jogja yang punya kesempatan memotret senyum sebahagia dirimu?” Rio meraih tangannya. “Jangan pergi tanpa solusi. Jangan jadikan ini hanya liburan yang manis.”
“Apa solusinya, Rio? Jaraknya ribuan kilometer,” bisik Chloe.
“Kita buat proyek bersama. Saya bisa kirim cerita visual Bali, kamu ubah menjadi desain. Atau, kamu datang lagi ke sini untuk musim koleksi panas. Atau, saya terbang ke Paris saat musim dingin dan memotret inspirasi di sana. Kita temukan cara. Kita tidak harus memilih antara Paris dan Jogja. Kita bisa memilih kita.”
Air mata menggenang di mata Chloe, namun senyumnya kali ini adalah senyum yang paling tulus dan paling cerah yang pernah dilihat Rio. Ia meraih wajah Rio dan menciumnya, ciuman yang terasa seperti janji.
“Oui, mon amour (Ya, kasihku). Kita akan temukan cara. The Canggu Connection tidak akan berakhir. Kirim saya foto pertamamu besok pagi. Foto manusia. Saya tunggu.”
Rio memeluknya erat, menatap bintang-bintang Bali. Ia tidak lagi merasa jenuh. Ia tidak hanya menemukan percikan api; ia menemukan seluruh lautan inspirasi. (*)







