- SECARA historis, tradisi makotek mengandung makna penyambutan dan penghormatan kepada sang prajurit kerajaan yang baru pulang membawa kemenangan
- Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi ini berganti tema menjadi prosesi penolak bala
Masyarakat Bali memiliki berbagai tradisi sosial dan keagamaan. Hampir setiap kabupaten yang dulunya menjadi wilayah kerajaan mewarisi tradisi unik yang masih digelar atau dilestarikan hingga kini. Salah satunya adalah tradisi mekotek.
Tradisi yang digelar sebagai tolak bala ini dilaksanakan oleh masyarakat Desa Munggu, Mengwi, Badung. Proses mekotek atau ngerebek mekotek ini bertujuan untuk memohon keselamatan. Tradisi yang diwarisi secara turun temurun ini masih diadakan hingga saat ini oleh umat Hindu setempat.
Sejarah tradisi mekotek bermula dari penyambutan untuk kedatangan prajurit Kerajaan Mengwi setelah menang perang melawan Kerajaan Blambangan di Jawa Timur. Nah, tradisi penyambutan ini kemudian dimaksudkan sebagai perayaan. Sebenarnya, tradisi ini pernah dihentikan pada tahun 1915 pada masa pemerintahan Belanda. Mereka khawatir perayaan itu berpotensi memunculkan pemberontakan yang memanfaatkan momen prosesi ini. Namun kemudian terjadi wabah.
Melihat situasi yang demikian, masyarakat berdialog dengan pemerintah Belanda agar tradisi ini bisa dilaksanakan kembali. Melalui dialog yang sangat alot, akhirnya pemerintah Belanda menyetujui penyelenggaraan kembali tradisi makotek namun difungsikan sebagai prosesi penolak bala.
Seluruh peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat madya yaitu kancut atau sarung dan udeng batik. Kemudian berkumpul di Pura Dalem desa adat Munggu.
Prosesi tradisi unik mekotek ini diawali dengan persembahyangan bersama dan ucapan terima kasih atas keberhasilan panen pertanian. Diikuti oleh sekitar dua ribuan peserta dari 15 banjar yang berusia 12 hingga 60 tahun, mereka dibagi kedalam beberapa kelompok.
Para peserta kemudian mengadu tongkat kayu mereka di udara dengan membentuk piramida atau kerucut. Peserta yang memiliki jiwa pemberani akan naik ke puncak tongkat kayu tersebut lalu berdiri serta menyemangati kelompoknya. Demikian pula, kelompok lain melakukan hal yang sama. Di bawah komando peserta yang berada di puncak tongkat, mereka saling menabrak kelompok lain. Untuk menyemangati para peserta, prosesi ini diiringi dengan gamelan.
Tongkat-tongkat kayu yang saling berbenturan di udara kemudian menghasilkan bunyi “tek…tek….tek” yang kemudian digunakan untuk menamai tradisi unik ini sesuai dengan bunyi tersebut, atau secara onomatopia, mekotek.
Tradisi mekotek di Desa Munggu digelar secara rutin setiap 6 bulan sekali (210 hari berdasarkan kalender pawukon) yaitu bertepatan dengan Saniscara (Sabtu) Kliwon Kuningan atau pada Hari Raya Kuningan. Dengan kata lain, hari raya ini diperingati 10 hari setelah Galungan.