PERAYAAN Galungan adalah simbolis hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kebatilan). Menurut Lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan bertepatan dengan purnama kapat (sekitar Oktober), Buda Kliwon, Dungulan pada tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804.
Dharma sebagai sumber kebenaran umat Hindu harus senantiasa ditegakkan agar kesejahteraan dan harmoni kehidupan bersama umat manusia dapat berlangsung secara berkelanjutan.
Inilah salah satu poin penting terkait dengan perayaan Galungan yang jatuh pada Rabu Kliwon Dungulan (setiap 210 hari) dan yang terdekat jatuh pada tanggal 19 Februari 2019. Persiapan serangkaian perayaan tersebut sudah dimulai beberapa hari sebelumnya. Namun secara garis besarnya, ada lima hari penting terkait perayaan ini yaitu Penyajaan, Penampahan, Galungan, Umanis Galungan dan Kuningan (10 hari setelah Galungan).
Umat Hindu di Bali membuat persiapan sesajen dan hidangan untuk sesajen serta konsumsi. Beberapa hidangan unik khas Galungan adalah lawar, tum, komoh (sup) dan urutan (sosis). Selain untuk persembahan dan konsumsi sendiri, sebagian hidangan tersebut juga diberikan kepada tetangga (ngejot) sebagai upaya untuk tetap memelihara hubungan sosial melalui sajian kuliner di samping juga saling mencicipi hidangan yang dibuat.
Pada puncak perayaan, umat melakukan persembahyangan mulai dari pura keluarga (merajan), pura klan, kahyangan desa hingga pura-pura lainnya yang terdekat dengan tempat tinggal. Kegiatan ini bisa berlangsung hingga sore hari.
Hal unik yang bisa disaksikan oleh pengunjung yang kebetulan sedang berlibur di Pulau Dewata adalah kegiatan persembahyangan di pura-pura, penjor yang dipasang di sepanjang jalan depan rumah seantero Bali. Penjor yang dibuat bervariasi tergantung kemampuan umat. Ada yang sederhana dan dibuat sendiri dan ada pula yang dibeli seharga 100 ribuan hingga jutaan rupiah.
Apa makna penjor Galungan tersebut? Penjor yang dibuat dari sebatang bambu dengan ujung atas melengkung ke bawah melampangkan ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta atas anugerah pangan yang sudah diberikan. Ungkapan ini disimbolkan dengan isi penjor seperti umbi-umbian, buah-buahan serta jajan. Puncak penjor juga melambangkan Gunung Agung sebagai tempat berstananya roh leluhur. Berdasarkan keyakinan, roh leluhur akan turun dari kahyangan dan mengunjungi keturunannya selama 10 hari. Kalau penjor diibaratkan sebagai seekor naga (anantaboga), ia adalah sumber makanan yang tiada habis-habisnya. Penjor melambangkan badan sang naga, dan sanggah atau anjungan bambu di bawahnya sebagai tempat menghaturkan sesaji.
Nah, satu lagi hal uniknya adalah perayaan Kuningan yang menutup serangkaian perayaan Galungan. Masyarakat Desa Bongan di Tabanan, memiliki tradisi unik. Setelah prosesi upacara dan persembahyangan sebelum tengah hari, mereka mengadakan tradisi mesuryak (bersorak) sekitar pukul 9-12 siang dengan melemparkan uang kertas maupun koin ke udara sebagai simbol bekal untuk leluhur mereka yang akan kembali ke kahyangan dan ucapan terima kasih atas anugerah kemakmuran. Anak-anak dan remaja akan berebut mengambil uang tersebut dan hal ini hanya berlaku untuk internal warga setempat.
Bagi Anda yang ingin menyaksikan perayaan Hari Raya Galungan di Pulau Dewata, catatlah tanggal di atas sehingga bisa merencanakan perjalanan dengan baik. Selamat berlibur!