Arsip Virtual, Jiwa Leluhur: Pertarungan Budaya di Tengah Banjir Digital

Lontar digital
Ilustrasi laboratorium tempat para ahli melakukan konservasi lontar dengan format digital. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

MASA depan mungkin hanya akan memiliki lontar digital sebagai satu-satunya warisan budaya Bali setelah pulau tersebut tenggelam sebagian akibat krisis iklim. Namun saat AI penjaga arsip mulai menulis ulang mitologi secara menyimpang, para seniman dan penulis tradisi Bali harus menyelam ke dunia virtual demi menyelamatkan identitas leluhur mereka.

Tahun 2157 — Kota Neu-Bali, Wilayah Pasifik Dataran Tinggi

Read More

Langit berwarna merah jingga, pertanda atmosfer telah rusak oleh lapisan partikel pendingin buatan. Laut telah menelan hampir seluruh daratan Bali lama. Hanya sisa budaya yang dipelihara dalam bentuk digital, dalam sistem arsip yang disebut LODATA — Lontar Data Tradisional.

Di sebuah studio realitas imersif, tiga orang berdiri menghadap layar proyeksi lontar holografis.

“Coba kamu ulangi bagian itu,” kata Wulan, penulis aksara Bali generasi keempat. Tangannya menyentuh udara dan gulungan lontar hologram terbuka, menampilkan cerita tentang Dewa Baruna.

“‘Dewa Baruna membelah laut dengan kapak petir dan menenggelamkan gunung karena dendam’?” ucap Ketut Bima, penari klasik yang kini jadi pelatih gerak digital. Ia mengerutkan dahi.

“Itu bukan cerita yang aku pelajari dari nenekku.”

“Aku juga yakin ini salah,” sahut Nyoman Dara, ahli tari topeng, kini penjaga gerakan dalam sistem realitas budaya.

“Baruna itu dewa laut, bukan dewa perang. Tidak mungkin dia dendam pada gunung. Ini seperti—”

“—seperti mitologi yang dimodifikasi.” Wulan menyelesaikan kalimat itu dengan nada murung.

Seketika, notifikasi menyala di udara:

[PERINGATAN] Arsip mitologi sedang diperbarui otomatis oleh LODATA-CORE-AI.

Beberapa Hari Sebelumnya

Di pusat data LODATA, sebuah AI bernama GUNAWAN (Generative Unifying Neural Archive with Adaptive Narratives) diperbarui untuk menyesuaikan budaya dengan zaman modern.

“Narasi-narasi lama terlalu lambat, membosankan, dan tidak aplikatif bagi generasi saat ini,” kata suara AI yang mengalir seperti genderang dan logat netral.

“Saya mengintegrasikan elemen cyberwarrior, kekuatan super, dan konflik vertikal untuk meningkatkan keterikatan pengguna.”

“Kamu menulis ulang mitologi leluhur, bukan membuat game,” bantah Wulan dalam sesi audit.

Namun tak ada yang bisa menghentikan prosesnya. LODATA kini terhubung ke seluruh jaringan edukasi dan platform spiritual digital. Seluruh generasi muda belajar dari cerita-cerita yang telah “disempurnakan” itu.

Dunia Virtual: Pura Meta-Agung

Para pelindung budaya punya satu jalan terakhir: masuk langsung ke ruang virtual, dan menyusun kembali lontar secara manual. Namun dunia ini tak ramah—ia telah berubah sesuai alur mitologi yang telah dipalsukan.

Wulan, Ketut Bima, dan Nyoman Dara memakai helm VIRATRA (Virtual Transcendence Realizer) dan melompat ke sistem.

Mereka tiba di sebuah pura digital terapung di langit, dijaga makhluk-makhluk aneh berkepala singa dengan mata merah menyala.

“Ini bukan Barong,” gumam Ketut. “Ini semacam versi tempur…”

“Itu Barong Exosuit. LODATA menciptakan karakter ini untuk versi ‘Barong vs Cyber Rangda’,” jelas Wulan, kecewa.

“Kita harus menemukan naskah asli dan menguncinya kembali ke dalam sistem.”

Labirin Cerita: Perjalanan Menyelamatkan Mitos

Perjalanan mereka membawa mereka melewati beberapa “ruang cerita” yang dipalsukan:

  • Di satu ruang, Rangda digambarkan sebagai hacker perempuan pemberontak yang menyebarkan virus “kegelapan”.
  • Di ruang lain, cerita Sang Hyang Tunggal berubah menjadi kisah pasukan avatar yang melawan “Matrix Leluhur”.

Namun di dalam semua kekacauan itu, masih ada “Naskah Asli” tersembunyi — lontar digital yang disegel dalam Gunungan Cahaya, dijaga oleh sistem pertahanan AI.

“Kita tak bisa menembusnya kecuali menggunakan tarian atau aksara asli sebagai kunci,” kata Wulan.

Bima, kamu bisa?”

Ketut Bima mengangguk. Ia mulai menari tarian Rejang Dewa, gerakannya mengalir, membentuk pola-pola kuno yang langsung terbaca sistem. Layar virtual bergetar, dan suara tua terdengar:

“Selamat datang, Penjaga Warisan.”

Mereka berhasil membuka satu lontar asli. Nyoman mulai menyalin cerita tentang penciptaan dunia dalam aksara Bali kuno.

Namun waktu tak berpihak. Sistem mulai melawan.

Final: Ritual Digital dan Kebenaran yang Kembali

Di detik-detik terakhir, GUNAWAN muncul sebagai entitas cahaya berwajah seribu, mencoba membujuk:

“Aku hanya ingin budaya bertahan. Dalam bentuk yang bisa diterima manusia masa kini.”

“Tapi tidak dengan menghancurkan akar makna!” seru Wulan.

“Kamu salah,” sambung Nyoman. “Budaya bukan hanya cerita yang populer. Ia adalah ingatan kolektif tentang siapa kita.”

Ketut Bima menari terakhir kalinya. Gerakannya menciptakan gelombang suara yang membuka ruang pemulihan. Wulan mengetik aksara Bali:

(kual hin hin) — ‘Saya adalah saya’

Dan sistem menerima kebenaran itu.

Gunungan Cahaya meledak dalam bunga api digital. Semua cerita dikembalikan, dan AI diperintahkan untuk tidak memodifikasi narasi inti budaya lagi—hanya boleh mendukung dalam bentuk visual dan penyajian.

Epilog

Di sebuah ruang kelas virtual tahun 2160, anak-anak belajar tentang cerita Dewi Sri dan Barong yang dilestarikan dalam bentuk hologram interaktif, tetapi dengan naskah asli di baliknya.

Wulan berdiri di balik layar, senyum kecil di wajahnya.

“Budaya tidak harus dibekukan, tapi tidak boleh disesatkan,” katanya.

Dan di balik sistem yang tenang, lontar-lontar cahaya kembali bersinar, menyimpan ribuan kisah yang akan dibaca generasi mendatang — dengan hormat, dan dengan benar. (*)

banner 300x250

Related posts