ANYA menyesap kopi paginya di balkon Swara Angin Hotel, matanya menelusuri peta Pulau Bali yang sudah lusuh. Teorinya sudah ia susun rapi di benaknya, didukung oleh riset bertahun-tahun dari perpustakaan hingga jurnal daring. Tapi bukti nyata, itulah yang ia butuhkan. Khususnya, bukti bahwa Sungai Otan di sisi barat pulau adalah jantung peradaban zaman batu yang telah lama hilang.
“Pagi, Nona Anya! Sudah siap untuk petualangan hari ini?” Suara ceria Made, concierge hotel, menyapanya.
Anya tersenyum. “Pagi, Made. Selalu siap! Terima kasih sudah membantu saya mencari pemandu yang mau menyusuri Sungai Otan.”
“Ah, Pak Wayan. Dia yang paling tahu seluk-beluk sungai itu. Nelayan paling tua di desa kami, hafal setiap lekuk dan batu di sana,” Made menjelaskan. “Dia akan menunggu di dermaga kecil jam sembilan.”
Tepat pukul sembilan, Anya sudah berdiri di dermaga, udara Bali masih segar, membawa aroma laut bercampur tanah basah. Sebuah perahu kecil dengan mesin tempel sederhana terombang-ambing di air. Di dalamnya, duduk seorang pria tua dengan topi caping, kulitnya legam terbakar matahari, dan matanya memancarkan kebijaksanaan. Itu pasti Pak Wayan.
“Selamat pagi, Pak Wayan. Saya Anya,” sapa Anya ramah.
Pak Wayan mengangguk pelan. “Pagi, Nona. Jadi, Nona mau melihat bebatuan di Sungai Otan? Jujur, saya tidak tahu apa yang Nona harapkan dari batu-batu tua itu.” Suaranya serak namun tegas.
Anya tersenyum. “Saya yakin ada lebih dari sekadar batu tua di sana, Pak Wayan. Saya percaya itu adalah pusat peradaban kuno.”
Pak Wayan hanya mengangkat bahu, menyalakan mesin perahunya. Perahu melaju membelah air, meninggalkan keramaian pesisir. Semakin jauh mereka menyusuri Sungai Otan, suasana hutan semakin pekat. Pepohonan rindang menjulang di kedua sisi, menciptakan terowongan hijau yang sejuk.
Anya tak henti mengamati tepian sungai. Bebatuan besar mulai bermunculan, beberapa terlihat seperti tumpukan alami, namun beberapa lainnya tampak sengaja ditata. “Pak Wayan, bisa kita mendekat ke tebing itu?” Anya menunjuk sebuah formasi batu yang tampak berbeda.
Pak Wayan menghela napas, namun ia menurut. Saat perahu merapat, Anya meloncat turun. Dengan sikat kecil dan botol air, ia mulai membersihkan permukaan batu. Perlahan, di balik lumut dan tanah, sebuah pola ukiran samar mulai terlihat. Garis-garis kasar, menyerupai figur manusia primitif dan hewan.
“Ini… ini ukiran!” seru Anya bersemangat.
Pak Wayan melongok dari perahu. “Oh, itu. Sejak saya kecil sudah ada di situ. Orang bilang, itu buatan orang-orang lama.”
“‘Orang-orang lama’ yang mana, Pak Wayan?”
“Leluhur kami. Mereka yang pertama tinggal di sini,” jawabnya singkat, matanya menerawang. “Ada legenda tentang batu-batu perundingan di sekitar sini. Katanya, kalau ada perselisihan antar suku, mereka akan berkumpul di sana, dan para tetua akan bicara di atas batu itu sampai masalah selesai.”
Anya bergegas kembali ke perahu. “Batu-batu perundingan? Itu pasti yang saya cari! Bisakah kita ke sana?”
Pak Wayan mengangguk, lalu mengarahkan perahu lebih jauh ke hulu. Setelah sekitar setengah jam, sungai melebar, dan mereka tiba di sebuah pelataran datar yang luas di tepi sungai, dipenuhi oleh susunan bebatuan raksasa. Beberapa batu tegak menjulang seperti menhir, sementara yang lain membentuk lingkaran sempurna.
“Ini dia, Nona. Ini tempatnya,” kata Pak Wayan, menunjuk ke area lapang itu.
Anya turun dengan tergesa, matanya berbinar. Ini persis seperti yang ia bayangkan! Ia mulai berjalan mengelilingi bebatuan, meraba permukaannya yang kasar, merasakan energi kuno yang terpancar dari setiap bongkah. Di salah satu sudut pelataran, ia menemukan sebuah batu besar dengan cekungan aneh di permukaannya, seperti sebuah mangkuk raksasa.
“Pak Wayan, ini apa?” tanya Anya, menunjuk cekungan itu.
Pak Wayan mendekat. “Itu tempat para tetua menumpahkan air suci, Nona. Saat mereka bersumpah atau membuat janji penting. Air dari sungai ini, diambil dengan wadah kulit khusus, lalu ditumpahkan di sini. Itu simbol persatuan, atau tanda perjanjian yang tidak boleh dilanggar.”
Anya membayangkan ritual kuno itu, para tetua dengan pakaian sederhana berkumpul di bawah langit terbuka, air mengalir dari cekungan, menyatukan sumpah dan niat mereka. Ini bukan sekadar batu, ini adalah panggung sejarah.
Mereka menghabiskan sisa hari dengan menyusuri pelataran itu. Anya menemukan lebih banyak pecahan gerabah dan alat batu – kapak genggam, serpihan pisau, bahkan beberapa manik-manik kasar yang terbuat dari kerang. Setiap penemuan kecil adalah kepingan puzzle yang perlahan menyatu, membentuk gambaran kehidupan yang sibuk di masa lalu.
Sore hari, saat matahari mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan jingga keemasan, Anya dan Pak Wayan duduk di salah satu batu besar di tepi sungai, menghadap ke aliran air. Lampu-lampu nelayan mulai berkelap-kelip di kejauhan, persis seperti bintang-bintang kecil di laut.
“Dulu, saat bulan purnama, Nona,” Pak Wayan memulai, suaranya melunak, “Kadang terdengar suara-suara dari sungai ini. Bukan suara air atau angin, tapi seperti bisikan, atau gema nyanyian. Orang-orang tua bilang, itu suara para leluhur yang sedang berkomunikasi dengan alam. Mereka tidak bicara dengan kata-kata, tapi dengan perasaan, dengan energi.”
Anya memandang Pak Wayan, merasakan kedalaman kearifan di balik kata-katanya. “Jadi, peradaban kuno ini tidak benar-benar hilang, ya, Pak Wayan? Ia masih hidup dalam cerita, dalam ingatan.”
Pak Wayan mengangguk perlahan. “Ia tidak hilang, Nona. Hanya berubah bentuk. Dari batu dan alat, menjadi cerita yang diceritakan, menjadi rasa hormat pada sungai ini, pada hutan ini. Leluhur kami mengajarkan kami untuk hidup selaras dengan alam. Sungai ini adalah ibu, bebatuan ini adalah saksi.”
Senja merangkak naik, menenggelamkan Pulau Bali dalam balutan keheningan. Anya menutup buku catatannya. Ia tidak hanya menemukan bukti arkeologi. Ia menemukan sebuah filosofi, sebuah hubungan yang mendalam antara manusia dan lingkungannya, yang telah bertahan selama ribuan tahun. Denyut kehidupan masa lalu benar-benar masih berdetak di antara batu-batu bertuah Sungai Otan.
Di benaknya, sebuah rencana besar mulai terbentuk. Ia akan pulang ke Swara Angin Hotel, menyusun semua data, foto, dan cerita yang ia kumpulkan. Ia akan mengajukan proposal kepada otoritas setempat.
Situs Sungai Otan harus direkonstruksi, dilestarikan, dan dibuka untuk umum. Ini bukan hanya untuk sejarah, tapi untuk masa depan Pulau Bali. Ini akan menjadi objek wisata sejarah yang memperkaya destinasi, menawarkan kepada setiap pengunjung tidak hanya pemandangan indah, tetapi juga perjalanan kembali ke akar peradaban, pelajaran dari para leluhur yang masih berbisik di antara bebatuan sungai. Dan ia tahu, dengan bantuan Made dan Pak Wayan, ia bisa mewujudkannya. (*)







