EVA, seorang fotografer asal Jerman, baru tiba di Bali untuk sebuah proyek fotografi tentang tradisi lokal. Saat berjalan-jalan di Desa Sarin Gunung, dia tak sengaja melihat pengumuman di depan sebuah pura tua yang megah, Pura Gunung Sarin Gunung, yang akan mengadakan upacara piodalan. Upacara tersebut adalah perayaan ulang tahun pura, berlangsung setiap 210 hari, dan dikatakan sangat sakral.
Warga setempat mengundang Eva untuk ikut serta dan merasakan keajaiban budaya Bali yang sesungguhnya. Dengan antusias, dia menerima ajakan itu, menganggapnya kesempatan sempurna untuk mengabadikan momen yang indah. Dibantu warga, ia pun mengenakan busana adat ke pura. Namun, mereka memperingatkannya untuk menghormati setiap adat dan ritual yang berlaku, terutama untuk tidak menyentuh apa pun yang tidak diizinkan.
Malam hari, pura dipenuhi oleh cahaya lampu dan aneka aroma wangi dupa. Suara gamelan bergema, membuat suasana magis menyelimuti. Didampingi seorang pecalang setempat, Eva mengambil gambar setiap sudut pura dan para penari yang terhanyut dalam gerakan ritual. Semakin larut, suasana pura terasa semakin tegang. Udara yang tadinya hangat tiba-tiba berubah dingin.
Ketika para penduduk desa mulai melakukan doa bersama, Eva melihat sesuatu dari sudut matanya. Di dekat pelinggih utama, sebuah bayangan hitam pekat melesat dengan cepat. Awalnya dia mengira itu hanya pendeta yang tengah melaksanakan ritual, tapi tak ada seorang pun di sana. Tertarik dan penasaran, setelah acara persembahyangan itu ia mencoba mendekat, tetapi bayangan itu menghilang.
Eva menganggap ini sebagai kesempatan unik untuk mengambil foto lebih dekat. Saat dia mendekati pelinggih dia mendengar suara aneh—seperti bisikan. “Jangan mendekat,” kata suara itu, samar dan menggema di pikirannya. Namun, Eva tak mengindahkannya. Dia melangkah lebih dekat dan mengangkat kameranya.
Tiba-tiba, kamera Eva berhenti berfungsi. Lensa menjadi buram, dan seluruh perangkat mati seketika. Dia bingung, mengira baterai habis, padahal sebelumnya masih penuh. Ketika dia berbalik untuk bergabung kembali dengan kerumunan, seluruh area pura terasa kosong. Para peserta upacara dan penduduk desa yang tadinya ramai kini lenyap, meninggalkan Eva sendirian.
Pura menjadi gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan pucat. Eva mulai panik. Dia berjalan menuju gerbang pura, tetapi jalannya terasa semakin panjang, seperti tidak ada ujungnya. Setiap kali dia melangkah, bayangan hitam itu kembali muncul, mengintai dari pojok-pojok pura, bergerak dengan gerakan yang tak wajar.
Suara gamelan yang sebelumnya mengalun indah kini terdengar kacau dan berisik. Eva mendengar suara gemerincing dari arah belakangnya. Ketika dia berbalik, sebuah sosok besar dengan tubuh hitam pekat dan mata merah menyala berdiri di dekat pelinggih. Eva terkejut dan berusaha berlari, namun seolah kakinya tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.
Bayangan itu mendekat. Sosok tersebut mengangkat tangannya, dan Eva merasakan tubuhnya mulai lemas, seolah energinya disedot oleh kekuatan yang tak terlihat. Dalam detik-detik terakhir sebelum bayangan itu sepenuhnya mendekatinya, seorang pria tua tiba-tiba muncul dari balik kabut tebal.
Itu adalah Pemangku—pemimpin spiritual desa yang biasa memimpin upacara. Dengan memegang dupa dan mantra suci, ia mengusir sosok gelap itu dengan lantang, dan suasana pura kembali terang. Para penduduk desa muncul kembali, seolah tidak ada yang terjadi. Wajah mereka tetap tenang, namun ada tatapan penuh pengertian dan peringatan di mata mereka.
Eva terdiam, masih terguncang. Pemangku mendekatinya dan berkata lembut, “Kamu melangkah terlalu jauh ke dunia yang bukan milikmu.”
Setelah itu, Pemangku menjelaskan bahwa selama upacara piodalan, gerbang antara dunia manusia dan dunia roh terbuka. Hanya yang diberkahi dan memahami adat yang bisa masuk tanpa bahaya. Apa yang dilihat Eva adalah penjaga gaib pura, roh pelindung yang tidak suka diganggu oleh orang luar.
Dengan bijaksana, Eva memutuskan untuk menghormati peringatan itu. Dia meminta maaf kepada para penduduk desa dan Pemangku atas ketidaktahuannya. Meski begitu, pengalaman malam itu terus menghantuinya. Setiap kali melihat hasil jepretan foto dari kamera yang kembali berfungsi, dia mendapati ada satu gambar aneh: sebuah bayangan hitam yang berdiri di sudut pelinggih, menatap lurus ke arahnya.
Eva tak pernah kembali ke Pura Sarin Gunung, tetapi cerita dan fotonya tentang malam mistis itu menjadi karya yang paling dikenang dalam karier fotografinya—sebuah pengingat bahwa di Bali, mistis dan dunia nyata seringkali hanya dipisahkan oleh batas tipis yang tak terlihat. (*)