- ADA dialog antara siswa dan ibu gurunya terkait dengan perbedaan maksud atau sudut pandang dalam hal soal ulangan
- Selengkapnya, simak saja dialog mereka berikut ini
Seorang guru kelas V memberi tiga kuis kepada siswanya menjelang waktu akhir pelajaran. Salah satu pertanyaannya unik dan subjektif adalah: “Berapa kali biasanya kamu makan sehari?”
Rata-rata siswa menjawab tiga kali sehari. Nah, jawaban ini bisa dikatakan yang ‘ideal’ atau ‘normatif’ seperti yang dianjurkan dalam pelajaran kesehatan. Bila ditelaah, ini adalah pertanyaan ‘subjektif’ jadi jawabannya sebenarnya bisa saja berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan si murid karena ada kata ‘biasanya.’
Namun ada seorang siswa menjawab empat kali sehari sesuai dengan kebiasaannya di rumah. Lalu Bu Guru bilang: “Yang benar adalah tiga kali sehari.”
“Lho, punya saya kok disalahkan Bu? Ibu tadi kan nanya saya berapa kali ‘biasanya’ makan sehari dan saya sudah jawab jujur 4x sehari sesuai kenyataanya?” tanya seorang siswa.
“Begini nak, maksud Ibu, berapa kali ‘idealnya’ anak makan sehari. Begitu!”
“Yaahhhh…maksud Ibu sih beda dengan soalnya,” pungkas siswa tersebut dengan nada kecewa.
*******
Pada kesempatan lain ada kasus mirip yang terjadi di kelas XI. Guru matematika memberikan soal ulangan yang ditulis di papan tulis. Semua siswa mengerjakannya dengan serius. Setelah hampir sejam, satu per satu siswa maju dan menyerahkan lembar jawaban kepada guru.
Setelah semua siswa selesai, guru pun membahas soal-sola ulangan tersebut. Kemudian ada seorang siswa protes.
“Bu, punya saya kok disalahkan. Maksud saya kan begitu Bu (seperti jawaban Bu Guru)?” protes seorang siswa.
“Lha, yang Ibu periksa ini kan jawaban Anda yang ditulis di lembar kertas, bukan maksudnya. Masalahnya, maksud Anda mungkin saja benar, tapi Anda mengerjakan dengan cara yang salah. Itulah sebabnya jawaban Anda disalahkan,” jelas Bu Guru.
“??????”