‘Bencana’ Kelas Memasak Sambal Matah di Glamping

Kelas memasak
Ilustrasi kelas memasak sambal matah. (Image: Dibuat dengan AI/Nusaweek)
banner 468x60

TENDA glamping mereka, “Savanna Sunset,” tampak seperti studio foto alam. Dinding kain putih, karpet Persia mini, dan di teras, ada dapur outdoor minimalis  yang beratapkan ilalang dikelilingi kabut dingin tepi danau. Di sinilah Ken dan Barbie, influencer gaya hidup dengan 5 juta followers, siap mengambil kelas memasak Bali: membuat Sambal Matah.

Ken mengenakan jacket hiking teknikal berwarna mint yang harganya lebih mahal dari kompor portable di depannya. Barbie, dengan rambut blow sempurna, mengenakan legging yoga putih dan sepatu sneakers yang tidak pernah menyentuh tanah becek.

Read More

Di hadapan mereka, Pak Made, seorang chef lokal bertubuh ramping dengan senyum penuh kesabaran, meletakkan setumpuk bahan: bawang merah, cabai rawit, serai, dan terasi.

“Baik, Gess,” sapa Ken ke arah kamera ponselnya yang sudah terpasang di tripod kayu, “hari ini kita healing sekaligus cooking! Siap-siap, kita akan membuat Sambal Matah dan aesthetic!”

“Langkah pertama,” kata Pak Made pelan, sambil memegang pisau dapur biasa, “kita iris tipis semua bahan ini.”

Ken langsung mengeluarkan pisau kemping Multitool Swiss Army miliknya. Benda itu berkilau, memiliki gergaji, pembuka botol, dan gunting. Ia membuka bilah pisau utama dengan dramatis.

“Kita pakai alat profesional, Pak Made. Ini carbon steel,” ujar Ken bangga.

Ia mulai mencoba mengiris cabai rawit. Bukannya mengiris, tangannya malah tergelincir, dan jarinya secara tidak sengaja menekan tombol kecil. Seketika, lampu senter LED kecil di gagang pisau menyala, menyorot tumpukan bawang.

Barbie, yang sibuk membetulkan sudut selfie dengan latar belakang pegunungan, mendongak.

“Ken, babe, kenapa kamu menyenter bawang? Itu bukan vibe yang kita inginkan,” tegur Barbie, nadanya terdengar seperti seorang sutradara.

“Ah, ini fitur tactical! Untuk melihat tekstur bawang lebih jelas!” Ken berbohong, mematikan senter itu dengan panik. Ia kemudian menyerah dan mengambil pisau dapur biasa.

——-

Saat Ken sedang kesulitan dengan bawang, Pak Made mulai memanaskan sedikit minyak. “Nona, sekarang minyak panas ini kita tuang ke sambal nanti. Hati-hati, ya.”

Barbie mendekat, memposisikan dirinya di sebelah wajan untuk mendapatkan bidikan candid menuang minyak. Minyak itu baru saja menghangat, bahkan belum mengeluarkan asap. Namun, saat Pak Made baru menyendokkan satu sendok minyak, Barbie menjerit dengan suara oktaf tinggi.

“AAAH! Ken, minyaknya nyiprat! Jaket Moncler aku! Oh, my God, Ken!”

Ken buru-buru memeluknya, dan ia menyemprotkan hand sanitizer ke area jaket yang dianggap terkena cipratan.

Pak Made hanya terdiam, memegang sendok berisi minyak hangat. “Maaf, Nona. Minyaknya… belum panas, dan tidak menyentuh Nona,” bisiknya hampir tak terdengar.

——–

Langkah selanjutnya: menghaluskan bumbu dengan ulekan batu.

Pak Made meletakkan ulekan batu yang berat dan sudah menghitam karena sering dipakai.

“Silakan diulek, Bapak. Ini rahasia Sambal Matah yang sedap.”

Ken menatap ulekan itu lama sekali, lalu mengangkatnya dengan dua jari seolah benda itu adalah peninggalan purbakala.

“Pak Made,” kata Ken sambil memiringkan kepala ke berbagai sudut, “ini prop yang bagus sekali. Rustic banget. Bolehkah kita foto ulekan ini close-up dengan latar belakang gunung? Estetik sekali.”

Pak Made menghela napas, napasnya menciptakan asap tipis di udara dingin. “Bapak, itu bukan properti. Itu alat masak,” koreksinya lembut, “Diulek. Dihaluskan.”

“Oh,” Ken bergumam, lalu menaruh ulekan kembali. Ia mengambil cobeknya, dan mulai mengetuk-ngetuk cabai dengan ulekan, bukannya menggerusnya.

“Ken! Ulek! Bukan drum solo!” desis Barbie, mencoba meraih ulekan itu.

———

Setelah satu jam yang penuh kegaduhan dan sesi foto-foto yang berlebihan, mereka akhirnya berhasil mengiris dan (sedikit) mengulek. Pak Made meminta mereka memasukkan serai, yang sudah diiris tipis, ke dalam mangkuk sambal.

“Dan terakhir, masukkan serai yang sudah diiris tadi, Nona.”

Barbie melihat tumpukan serai yang sudah diiris, tetapi matanya tertuju pada serai lain yang masih utuh, tegak berdiri di dalam vas hias kecil di sudut meja. Serai itu panjang dan tampak hijau segar.

“Oh, gosh! Serai full ini lebih cantik, Ken. Lebih ‘hidup’,” kata Barbie. Tanpa ragu, ia mencabut serai utuh dari vas, mematahkannya menjadi dua, dan menenggelamkannya ke dalam sambal yang baru diracik.

“Lihat, Pak Made! Ini plating yang modern. Sayuran hias,” kata Barbie bangga.

Pak Made, yang biasanya sabar, memijat pelipisnya. “Nona, Bapak… kita tidak makan serai yang utuh. Itu sangat keras. Dan… itu serai hias,” katanya lemas.

——–

Sesi masak pun berakhir. Hasilnya? Sambal Matah yang memiliki rasa mentah, pedas aneh, dan penuh serai keras.

“Oke, wrap! Thank you Pak Made!” Ken berteriak ke kamera.

Setelah kamera dimatikan, Ken dan Barbie saling pandang.

“Aku merasa kita akan sakit perut,” bisik Barbie.

“Aku juga. Mari kita hapus bagian ‘memasak’ dan pesan saja room service,” usul Ken.

Malam itu, mereka menikmati pizza glamping keju mozzarella di dalam tenda sambil editing konten.

Tiba-tiba, ada ketukan di tenda. Itu Pak Made.

“Permisi, Bapak, Nona. Ini… Sambal Matah. Yang asli. Untuk lauk pizza, barangkali,” kata Pak Made, menyodorkan mangkuk kecil berisi sambal matah yang sempurna, beraroma harum, dan tampak menggiurkan.

“Oh, wow! Perfect!” seru Ken. Ia mengambil mangkuk itu dari tangan Pak Made.

“Barbie, cepat! Ambil foto close-up Sambal Matah ini dengan latar belakang pizza. Kita akan caption ‘Glamping Cooking Class Sukses!’”

Pak Made tersenyum tipis. Misi konten Ken dan Barbie berhasil, meskipun ia harus menjadi ghost cook untuk menyelamatkan reputasi food aesthetic mereka. Ia lalu berbalik dan berjalan kembali ke dapur, bergumam pelan, “Lain kali, mungkin kita coba masak air saja.” (*)

banner 300x250

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *