PAGI yang sejuk dan indah—Di sebuah padang rumput yang hijau membentang luas, hiduplah berbagai macam serangga dengan kesibukannya masing-masing. Ada semut-semut pekerja yang rajin mengumpulkan makanan, kupu-kupu yang menari-nari di atas bunga, dan belalang yang melompat riang. Di antara keramaian itu, hiduplah seekor kumbang tanduk bernama Beni.
Beni memang tidak terlalu besar, ukurannya bahkan bisa dibilang kecil untuk ukuran kumbang tanduk. Namun, ia memiliki sepasang tanduk yang lumayan besar – setidaknya menurut pandangannya sendiri. Dan dengan tanduknya itu, Beni memiliki keyakinan yang teguh: dialah kumbang tanduk terkuat di seluruh dunia!
Setiap pagi, setelah embun mengering dari helai rumput, Beni akan berjalan-jalan di padang rumput sambil membusungkan dada (atau lebih tepatnya, bagian keras tubuhnya). Ia akan mencari serangga lain untuk diajak berinteraksi, yang biasanya berujung pada pamer kekuatan.
“Hai, Siput!” sapa Beni suatu pagi kepada seekor siput yang sedang santai menikmati daun semanggi. “Lihatlah tandukku yang perkasa ini! Aku yakin, aku bisa mendorongmu sampai ke ujung padang rumput!”
Siput itu hanya menatap Beni dengan mata lendirnya yang tenang. “Oh, benarkah, Beni? Kalau begitu, silakan saja,” jawab Siput dengan nada datar, sama sekali tidak terkesan. Beni pun mendorong sekuat tenaga, tetapi siput itu tetap bergeming di tempatnya. Beni terengah-engah, sementara Siput melanjutkan sarapannya dengan tenang.
Di lain waktu, Beni melihat seekor belalang sedang melompat-lompat dengan lincah. “Hei, Belalang!” seru Beni. “Aku yakin, meskipun kamu bisa melompat tinggi, aku lebih kuat darimu! Aku bisa mengangkat batu yang lebih besar dari tubuhmu!”
Belalang itu berhenti melompat dan menatap Beni dengan tatapan heran. “Masa sih, Beni? Batu sebesar apa memangnya?”
Beni segera mencari kerikil kecil di dekatnya dan mencoba mengangkatnya dengan tanduknya. Kerikil itu memang terangkat sedikit, tetapi Beni tampak kesulitan. Belalang itu terkekeh pelan. “Yah, lumayan untuk ukuranmu, Beni. Tapi coba angkat bunga dandelion itu,” katanya sambil menunjuk bunga kuning yang lebih besar dari tubuh Beni. Tentu saja, Beni tidak berhasil mengangkatnya.
Meskipun seringkali kalah dalam adu kekuatan, Beni tidak pernah menyerah pada keyakinannya bahwa dirinya adalah yang terkuat. Ia selalu punya alasan untuk kekalahannya: “Siput itu terlalu berat,” atau “Bunga dandelion itu licin sekali!”
Suatu siang yang terik, Beni sedang berjalan dengan bangga di dekat sarang semut. Ia melihat barisan semut pekerja yang sedang bersusah payah membawa remah-remah roti dan biji-bijian yang lebih besar dari tubuh mereka. Tiba-tiba, sebuah batu besar menggelinding dan menghalangi jalan mereka. Para semut pekerja berhenti, bingung bagaimana cara memindahkan penghalang itu.
“Hah! Lihatlah betapa lemahnya kalian!” seru Beni dengan nada mengejek. “Biarkan kumbang terkuat di dunia yang menanganinya!”
Dengan penuh semangat, Beni mendekati batu besar itu. Batu itu memang cukup besar, hampir dua kali lipat ukuran tubuh Beni. Namun, Beni tidak gentar. Ia memasang kuda-kuda, menundukkan kepalanya, dan mencoba mendorong batu itu dengan seluruh kekuatannya.
“Hyaaaah!” Beni berteriak sambil mengerahkan semua ototnya. Tanduknya menekan batu dengan kuat, tetapi batu itu sama sekali tidak bergerak. Beni mencoba lagi dan lagi, napasnya mulai tersengal-sengal, tetapi batu itu tetap kokoh di tempatnya.
Para semut pekerja hanya bisa melihat Beni dengan kasihan. Setelah beberapa saat, Beni berhenti, terengah-engah dan kelelahan. Ia terduduk lemas di samping batu besar itu.
“Kenapa… kenapa batu ini tidak bergerak?” gumam Beni dengan nada kecewa. “Padahal aku sudah mengerahkan seluruh kekuatanku.”
Salah seekor semut pekerja yang lebih tua mendekati Beni. “Maaf, Beni,” kata Semut Tua dengan sopan. “Batu ini memang sangat berat. Kami sudah mencoba mendorongnya bersama-sama, tetapi tidak berhasil.”
Beni terdiam. Ia baru menyadari bahwa para semut juga sudah berusaha. Rasa malu mulai menjalar di hatinya. Selama ini, ia selalu membanggakan kekuatannya sendiri dan meremehkan serangga lain.
“Mungkin… mungkin aku tidak sekuat yang aku kira,” kata Beni pelan, menundukkan kepalanya.
Semut Tua tersenyum lembut. “Kekuatan itu tidak selalu tentang ukuran tubuh atau besarnya tanduk, Beni. Kadang, kekuatan terbesar datang dari kerja sama.”
Kata-kata Semut Tua membuat Beni berpikir. Ia melihat para semut pekerja yang meskipun kecil, tetap berusaha bersama-sama untuk mengatasi rintangan. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya.
“Hei, Semut Tua!” seru Beni. “Bagaimana kalau… bagaimana kalau kita mencoba mendorong batu ini bersama-sama?”
Semut Tua dan semut-semut pekerja lainnya saling pandang, terkejut dengan tawaran Beni.
“Kau mau membantu kami, Beni?” tanya salah satu semut.
“Tentu saja!” jawab Beni dengan semangat yang kembali membara, meskipun kali ini bukan karena kesombongan, tetapi karena keinginan untuk membantu. “Meskipun aku tidak bisa mendorongnya sendiri, mungkin dengan bantuan kalian, kita bisa memindahkannya bersama-sama!”
Maka, Beni mengatur posisi di samping batu besar itu. Para semut pekerja berbaris di belakangnya dan di sisi-sisi batu. Semut Tua memberikan aba-aba.
“Satu… dua… tiga… dorong!” seru Semut Tua.
Beni mendorong dengan seluruh tenaga yang tersisa, dan kali ini, para semut pekerja juga ikut mendorong sekuat tenaga. Meskipun awalnya terasa berat, perlahan tapi pasti, batu besar itu mulai bergerak! Mereka terus mendorong bersama-sama, dengan irama yang sama, hingga akhirnya batu itu berhasil digeser dari jalan.
Para semut pekerja bersorak gembira. Mereka berterima kasih kepada Beni karena telah membantu mereka. Beni merasa ada kehangatan yang berbeda di dalam hatinya. Rasa bangga yang dulu ia rasakan karena merasa paling kuat, kini tergantikan oleh rasa bahagia karena berhasil membantu orang lain.
“Terima kasih banyak, Beni!” kata Semut Tua dengan tulus. “Kau benar-benar kuat!”
Beni tersenyum. “Tidak, Semut Tua. Kita kuat karena kita bekerja sama.” Ia menatap para semut pekerja dengan rasa hormat. “Kalian memang kecil, tapi kalian sangat kuat karena selalu bekerja sama.”
Sejak hari itu, Beni si Kumbang Tanduk tidak lagi membanggakan kekuatannya sendirian. Ia belajar bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada besarnya otot atau tajamnya tanduk, tetapi juga pada kerendahan hati untuk mengakui kemampuan orang lain dan pentingnya bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Beni menjadi teman baik para semut pekerja, dan setiap kali ada rintangan yang terlalu berat untuk dihadapi sendirian, mereka akan selalu bekerja sama, saling membantu, dan saling menguatkan. Beni akhirnya mengerti, menjadi yang terkuat menurut dirinya sendiri tidaklah sebahagia bisa menjadi kuat bersama-sama. (*)







