SUATU pagi yang cerah di sebuah desa di Bali, seorang turis asing bernama John yang menginap di sebuah hotel melati, namanya Hotel Tropicanos bangun dengan semangat tinggi. Ia sudah mendengar banyak cerita tentang keindahan pantai-pantai Bali dan hari itu ia berencana untuk mengunjungi salah satu yang terkenal. Dengan berbekal peta di ponselnya dan sebotol air, John berangkat dari penginapannya.
Setelah beberapa menit berjalan kaki, John merasa yakin bahwa ia sedang menuju ke arah yang benar. Namun, entah bagaimana, di tengah perjalanan, sinyal GPS di ponselnya hilang. Ia terus berjalan dengan percaya diri, berpikir bahwa pantai pasti hanya beberapa langkah lagi.
Tapi, bukannya pantai yang ia temukan, John malah tiba di tengah-tengah hamparan sawah yang luas. Sekelilingnya dipenuhi tanaman padi hijau yang bergoyang lembut tertiup angin. Tidak ada pasir putih atau ombak laut yang terlihat, hanya deretan bebek yang berenang di irigasi dan beberapa petani yang sibuk bekerja di bawah terik matahari.
John mulai merasa sedikit panik. “Where’s the beach?” gumamnya sambil terus berjalan. Setiap kali ia mencoba membuka GPS di ponselnya, sinyal masih saja hilang. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengikuti nalurinya dan terus berjalan ke arah yang ia kira menuju pantai.
Namun, masalah baru muncul. Jalan setapak di sawah itu semakin sempit dan penuh lumpur, dan setiap kali John mencoba mengambil langkah, bebek-bebek yang berkeliaran di sawah mengejutkannya dengan suara berisik mereka. Ia melompat mundur, hampir jatuh ke dalam lumpur, sambil berusaha menjaga sepatunya tetap bersih.
Di kejauhan, para petani yang melihat John mulai tertawa. Mereka menyaksikan turis bule ini dengan wajah bingung, berusaha mencari jalan di antara tanaman padi dan bebek-bebek yang ribut. Salah satu petani, Pak Wayan, memutuskan untuk menghampiri John dan membantu.
Pak Wayan berbicara dalam bahasa Bali, mencoba memberi petunjuk arah kepada John. Namun, John yang tidak mengerti sepatah kata pun, hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum canggung.
“Pantai? Yes, yes, beach!” kata John sambil menunjuk ke arah yang ia pikir benar.
Pak Wayan hanya tertawa kecil dan mengarahkan John untuk mengikuti jalan setapak yang lain, berharap John akan menemukan jalan yang benar. Namun, bahasa yang digunakan Pak Wayan adalah bahasa Bali, dan John sama sekali tidak paham. Ia pun mengira bahwa Pak Wayan mengarahkannya ke tempat yang sama sekali berbeda.
Setelah beberapa waktu, John menemukan jalan beraspal yang ia kenali sebagai jalan utama. Dengan penuh semangat, ia mulai berjalan kembali, kali ini yakin bahwa ia akan segera tiba di hotelnya. Namun, tak lama kemudian, ia mendengar suara klakson keras di belakangnya. John menoleh dan melihat sebuah truk besar yang mendekat dengan kecepatan tinggi. Dengan panik, ia melompat ke pinggir jalan, hampir jatuh ke selokan.
Sambil mengatur napas, John melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa ia telah berbelok ke arah yang salah lagi. Alih-alih menuju ke hotel, ia malah berjalan semakin jauh dari pusat kota.
“Sial! Bagaimana bisa aku tersesat lagi?” gumamnya sambil melihat GPS di ponselnya, yang ternyata sudah kehilangan sinyal sejak tadi.
Tanpa pilihan lain, John memutuskan untuk bertanya kepada seorang penduduk lokal yang sedang bersepeda.
“Permisi, Pak, bisa tunjukkan arah ke Hotel Tropicanos?” tanya John dengan sedikit harapan. Pria itu mengerutkan kening, lalu memberikan arah yang sangat panjang dan rumit dalam bahasa lokal yang John tidak mengerti sama sekali.
Namun, John tidak mau menyerah. Ia mencoba mengikuti arah yang diberikan dengan harapan bisa kembali ke jalan yang benar. Tapi, setelah beberapa menit berjalan, ia menyadari bahwa petunjuk tadi justru membawanya ke… sebuah pasar hewan!
Di sana, John disambut oleh suara ayam, kambing, dan sapi yang gaduh, serta aroma yang tidak sedap. John hampir tertawa histeris melihat nasibnya yang semakin kacau. Seorang penjual kambing yang melihat wajah bingung John mendekat dan berkata, “Kamu mau beli kambing? Diskon spesial hari ini!”
John menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. “Tidak, terima kasih, saya hanya mau pulang ke hotel,” katanya dengan pasrah.
Penjual itu pun tertawa sambil menepuk bahu John, dan menunjukkan jalan keluar dari pasar.
Akhirnya, setelah berjalan kaki selama lebih dari satu jam lagi, dengan sepatu yang mulai terasa terlalu ketat dan perut yang keroncongan, John melihat tanda hotel yang sudah lama ia cari. Hotel Tropicanos berdiri megah di depannya, seperti oase di tengah gurun. John menghela napas lega, merasa seperti pahlawan yang akhirnya menemukan jalan pulang.
Tapi saat ia memasuki lobi hotel dengan pakaian yang kotor dan wajah lelah, resepsionis tersenyum ramah dan berkata, “Selamat datang kembali, Tuan John. Sebenarnya, hotel kami punya layanan antar jemput gratis yang bisa Anda gunakan kapan saja, Anda hanya perlu menghubungi kami.”
John hanya bisa tersenyum lemah. “Tentu, sekarang saya tahu,” jawabnya, sambil berjanji dalam hati untuk selalu menggunakan layanan antar jemput hotel mulai sekarang.








