SEORANG wisatawan yang menginap di hotel bintang lima mencoba berbagai makanan eksotis di restoran hotel. Namun, keesokan harinya, ia harus bolak-balik kamar mandi karena terlalu banyak mencoba hidangan pedas yang tidak ia kenal.
—
Malam itu, Jonathan, seorang turis asal Inggris, baru saja check-in di sebuah hotel bintang lima. Liburan ini sudah ia impikan sejak lama, dan ia bertekad untuk menikmati semua hal eksotis yang ditawarkan pulau ini. Jonathan adalah seorang pencinta kuliner yang selalu antusias untuk mencoba hidangan baru di setiap negara yang ia kunjungi.
Jadi, ketika ia mendengar bahwa restoran di hotel tempat ia menginap menyajikan berbagai macam makanan lokal, semangatnya langsung membuncah.
Setelah beristirahat sejenak di kamar mewah dengan pemandangan pantai yang memukau, Jonathan menuju ke restoran hotel dengan perut yang lapar. Di sana, ia disambut dengan meja panjang yang penuh dengan aneka makanan yang terlihat lezat. Ada babi guling yang berkilau dengan kulitnya yang renyah, lawar dengan bumbu kelapa yang harum, sambal matah yang menggoda, dan berbagai macam lauk lainnya yang penuh warna.
“Ini pasti surga makanan!” pikir Jonathan sambil tersenyum lebar.
Pelayan restoran yang ramah merekomendasikan beberapa hidangan lokal yang dianggap sebagai ‘wajib coba’ bagi para tamu. Jonathan dengan semangat mengambil piring dan mulai mengisi dengan segala macam makanan yang ia bisa temukan.
Tak lupa, ia menciduk beberapa sendok sambal matah yang terlihat menggiurkan, dengan harapan bisa merasakan sensasi pedas khas Bali.
“Pedas? Ah, tak masalah,” gumam Jonathan dalam hati. Meskipun ia tak terbiasa dengan makanan pedas, ia merasa perlu mencicipi sebanyak mungkin cita rasa lokal selama liburannya.
Ia mulai mencicipi hidangan demi hidangan, menggigit babi guling dengan kulit yang kriuk, menikmati sepiring lawar yang segar, dan menyeruput kuah sup ayam betutu yang kaya rempah. Setiap gigitan membuatnya semakin terpukau dengan kelezatan kuliner Bali. Namun, saat ia sampai pada sambal matah, ia merasakan ledakan pedas yang tidak pernah ia duga. Sambal itu langsung menyerang lidahnya dengan sensasi terbakar yang luar biasa.
Jonathan mulai merasa panas di mulutnya, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah. Dengan sedikit air mata yang mulai menggenang di matanya, ia melanjutkan makan. Dalam pikirannya, menikmati hidangan lokal adalah bagian dari pengalaman otentik yang tidak boleh ia lewatkan.
“Saya bisa mengatasinya, ini hanya pedas sedikit,” katanya sambil tersenyum canggung pada pelayan yang meliriknya.
Setelah selesai makan, Jonathan merasa kenyang dan puas. Ia kembali ke kamarnya dengan perut yang penuh, siap untuk beristirahat dan menikmati hari esok dengan menjelajahi Bali lebih jauh.
Namun, malam itu, Jonathan mulai merasakan sesuatu yang aneh di perutnya. Awalnya, hanya sedikit kram ringan, tetapi lama-kelamaan, rasa tidak nyaman itu semakin menjadi. Ia mulai merasa gelisah di tempat tidurnya, dan perutnya berbunyi seperti guntur di kejauhan.
“Ah, mungkin ini hanya karena terlalu banyak makan,” pikirnya mencoba menenangkan diri.
Tapi rasa tidak nyaman itu berubah menjadi urgensi. Jonathan dengan cepat berlari ke kamar mandi. Setelah beberapa saat, ia keluar dengan wajah yang pucat, tetapi merasa sedikit lega. Namun, tidak lama kemudian, ia harus kembali lagi. Dan begitu terus hingga malam berganti pagi.
Keesokan paginya, Jonathan merasa lemas. Perutnya seperti baru saja mengalami gempa berkekuatan 9 skala Richter. Semua makanan lezat yang ia nikmati tadi malam tampaknya telah bersekongkol melawannya. Alih-alih menikmati hari dengan menjelajahi keindahan Bali, ia malah terjebak bolak-balik ke kamar mandi hotel.
Jonathan mencoba meminum teh hangat yang disediakan layanan kamar, berharap itu akan membantu menenangkan perutnya yang bergejolak. Tapi setiap kali ia merasa sedikit lebih baik, rasa mual kembali menyerang, memaksanya kembali berlari ke kamar mandi.
Saat siang menjelang, Jonathan akhirnya menyerah. Ia menelepon resepsionis dan meminta dokter hotel untuk memeriksanya. Setelah melakukan pemeriksaan singkat, dokter hotel menyimpulkan bahwa Jonathan mengalami reaksi terhadap makanan pedas dan eksotis yang tidak biasa ia konsumsi.
“Sepertinya Anda terlalu banyak mencoba hidangan pedas dan berempah,” kata dokter itu sambil tersenyum simpati.
Jonathan hanya bisa tertawa lemah. “Ya, sepertinya saya terlalu bersemangat mencoba semuanya.”
Dokter memberi Jonathan beberapa obat untuk menenangkan perutnya dan menyarankan agar ia tetap beristirahat seharian penuh. Jonathan mengangguk setuju, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit kecewa. Rencana petualangan kulinernya di Bali harus tertunda karena nafsu makan yang terlalu besar.
Selama beberapa hari berikutnya, Jonathan lebih berhati-hati dengan makanan yang ia konsumsi. Ia masih menikmati hidangan Bali, tetapi kali ini dengan lebih banyak pertimbangan. Tidak ada lagi porsi besar sambal matah atau hidangan yang penuh cabai. Ia belajar bahwa meskipun makanan lokal itu lezat, tubuhnya memerlukan waktu untuk beradaptasi.
Di akhir liburannya, meskipun sempat “check-out sakit perut,” Jonathan tetap menganggap peristiwa itu sebagai bagian lucu dari perjalanannya. Saat ia duduk di pesawat untuk kembali ke Inggris, ia tertawa sendiri mengingat betapa paniknya ia di kamar mandi hotel, berharap tidak ada yang tahu tentang petualangan perutnya itu.
Pesan Cerita:
Ketika berwisata ke tempat baru, penting untuk menikmati makanan lokal. Namun, mengenal batas kemampuan tubuh sendiri juga tak kalah pentingnya. Kelebihan antusiasme kadang bisa membawa kita pada pengalaman yang tak terduga—dan dalam beberapa kasus, itu berakhir dengan bolak-balik ke kamar mandi!