Drama Kopi Pagi Seorang Gadis dan Rebutan Kursi

Co-working space
Ilustrasi co-working space dengan pemandangan hamparan persawahan. (Image: Dibuat dengan AI/Nusaweek)
banner 468x60

PUKUL 07.59 pagi, co-working space Bale Kreativa masih nampak sunyi. Lampu-lampu baru saja dinyalakan, dan aroma kopi yang baru diseduh mulai menguar. Namun, di luar pintu kaca, dua sosok sudah berdiri tegap, menatap arloji mereka dengan ketegangan yang sama seperti atlet maraton di garis start. Mereka adalah Sarah dan Budi, dua digital nomad yang sangat teratur. Ritual harian mereka bukan sekadar bekerja, melainkan perebutan kursi paling strategis: di sudut dekat jendela, dengan view hamparan persawahan.

Tepat pukul 08.00, pintu otomatis terbuka. Sarah dan Budi melangkah masuk. Tidak ada kata-kata. Tidak ada sapaan. Hanya tatapan mata yang penuh tekad dan langkah kaki yang dipercepat secara subtil. Sarah, dengan langkahnya yang gesit, berhasil melewati meja resepsionis terlebih dahulu.

Read More

“Pagi, Joko,” sapa Sarah, seolah-olah ia baru saja tiba.

Joko, staf front office yang sudah hafal betul drama ini, hanya mengangguk lelah. “Pagi, Mbak Sarah.”

Budi, yang berada beberapa langkah di belakang, membalas sapaan itu dengan cemberut. “Pagi, Joko.”

Budi kalah. Sekali lagi.

Drama ini berlangsung setiap pagi selama berbulan-bulan. Mereka selalu datang pada waktu yang sama, berlomba untuk mendapatkan kursi yang sama, dan selalu berinteraksi dengan Joko, sang saksi bisu. Joko, yang merasa dirinya seperti wasit di pertandingan yang tidak pernah selesai, mulai merasa frustrasi.

“Ini tidak bisa dibiarkan,” gumamnya pada dirinya sendiri suatu pagi, setelah melihat Budi menghela napas panjang karena kembali dikalahkan Sarah.

Joko pun memikirkan solusi. Dengan jiwa inovator yang terpendam, ia membuat sebuah sistem. Keesokan harinya, sebuah pengumuman ditempel di pintu masuk: “Mulai hari ini, kursi di dekat jendela harus dipesan melalui sistem booking online.”

Sistem itu, yang Joko rancang sendiri di Google Sheets, bekerja seperti pemesanan tiket konser. Siapa cepat, dia dapat. Sarah dan Budi, yang terkejut, segera membuka laptop mereka. Jari-jari mereka mengetik dengan kecepatan kilat.

“Got it!” seru Sarah, menunjukkan layar laptopnya. “Kursi 7A, booked!”

Budi menatap layarnya dengan pasrah. “Sial, sudah habis.”

Awalnya, sistem ini berjalan lancar. Sarah selalu menang, Budi selalu kalah, dan Joko bisa bernapas lega. Namun, masalah baru muncul. Para digital nomad lain yang tidak pernah peduli dengan kursi itu tiba-tiba ikut-ikutan. Mereka melihat persaingan ini sebagai sebuah tantangan.

Seorang programmer bernama David mulai meng-hack sistem Google Sheets Joko agar ia bisa mem-booking kursi lebih awal. Seorang graphic designer bernama Maya, yang terbiasa dengan Photoshop, mulai mengedit tangkapan layar booking-annya untuk membuat seolah-olah ia yang memenangkan kursi tersebut.

Kekacauan pun pecah. Joko, yang awalnya merasa berhasil, kini menjadi target.

“Joko, ini ada snack impor dari Jepang, loh,” kata Maya, menyodorkan sekantong mochi aneh. “Buat booking kursi 7A besok, bisa kan?”

Joko menggeleng. “Maaf, Mbak, sistemnya sudah otomatis.”

“Joko, tiket konser Coldplay di Singapura, mau?” rayu seorang copywriter kaya. “Satu kursi di barisan depan.”

“Nggak bisa, Mas,” jawab Joko sambil mengusap pelipisnya.

Puncaknya terjadi saat seorang trader saham yang ambisius, Ari, mencoba menyuap Joko dengan tiket pesawat murah ke Maldives. “Tiga hari, Joko. Semua biaya ditanggung. Pulangnya, kursi 7A sudah aman, ya?”

Joko sudah di ambang batas kesabaran. Ia tidak mau lagi terlibat dalam drama kursi ini. Di pagi hari berikutnya, ia datang lebih awal dan menempelkan tulisan di kursi 7A. Tulisannya besar dan jelas: “Kursi Ini Khusus untuk Joko.”

Saat Sarah dan Budi tiba, mereka melihat tulisan itu. Mata mereka melebar. Mereka saling bertatapan, lalu menatap Joko yang kini duduk santai di kursi 7A sambil menyeruput kopi.

“Joko… itu kursi saya,” protes Sarah.

“Bukan, itu kursi saya!” bantah Budi.

Joko tersenyum puas. “Sekarang, ini kursi saya. Selamat pagi.”

Sejak hari itu, drama kursi di Bale Kreativa berakhir. Sarah dan Budi terpaksa mencari kursi lain, dan Joko akhirnya menemukan tempat terdamai untuk menikmati kopinya: di kursi paling ajaib di co-working space itu. (*)

banner 300x250

Related posts