Hilang di Jepang, Hana Menemukan Cintanya di Pulau Dewata

  • Whatsapp
Pemandu wisata
Ilustrasi Hana, seorang gadis Jepang, dan pemandu wisatanya. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

CAKRAWALA berwarna indah lembayung. Di bawah langit Bali yang dipenuhi kehangatan matahari dan aroma laut yang segar, Hana, seorang gadis Jepang yang terluka hatinya, mencoba melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu. Saat langkah kakinya menapaki pasir putih dan matanya menatap cakrawala tanpa batas, ia tak menyadari bahwa pulau ini sedang menyusun kisah baru untuk cintanya.

Bertemu dengan Rakai, seorang pemandu wisata yang hangat, hidup Hana perlahan berubah. Di antara tradisi Bali yang magis dan ombak lautan yang berbisik, Hana menemukan bahwa cinta yang hilang mungkin hanya bagian dari perjalanan menuju hati yang baru. Akankah ia berani melepaskan masa lalu dan membuka hati untuk cinta sejati di Pulau Dewata ini?

Read More

Bagian 1: Pelarian dari Jepang

Hana duduk di tepi jendela pesawat, menatap awan-awan yang tampak seperti gulungan kapas putih di langit biru. Perjalanan panjang dari Tokyo ke Denpasar, Bali dengan GA300 memberikan banyak ruang bagi pikirannya untuk kembali pada peristiwa yang ia coba lupakan. Perpisahan dengan pacarnya, Kenji, telah meninggalkan luka dalam di hatinya. Perasaan kecewa dan kehilangan terus menghantuinya, meski ia berusaha sekuat tenaga melupakan masa lalu itu.

Saat pesawat mulai mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Hana menarik napas dalam-dalam. Ia berharap perjalanan wisata ini, dapat menghibur hatinya yang dilandau kegalauan, dan secara perlahan-lahan mengobati hatinya yang luka. Kali ini ia mengambil libuaran selama 7 hari tanpa acara (itinerary) sehingga ia bebas mengatur aktivitas sesuai keinginannya. Setelah tiba di Pulau Dewata ia merasa berbeda. Ada perasaan asing yang menggoda hatinya.

Bagian 2: Pertemuan dengan Rakai

Di bandara, Hana disambut oleh seorang pria yang tak bisa diabaikan pesonanya. Rakai, pemandu wisata lokal yang ditugaskan untuk mendampinginya selama kunjungan Hana di Pulau Dewata. Dengan senyum lebar dan wajah cerah yang dipenuhi semangat, Rakai segera memperkenalkan dirinya. “Selamat datang di Bali, Hana-san. Saya Rakai, dan saya akan menemani perjalanan wisata Anda selama di sini.”

Hana merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Rakai. Bukan hanya karena caranya yang ramah atau kemampuannya untuk membuat suasana menjadi nyaman, tapi karena ada kehangatan yang terpancar dari pria ini, seolah-olah ia adalah perwujudan dari pulau Bali itu sendiri—hangat, tenang, dan memikat. Meski masih dibayangi oleh luka masa lalunya, Hana tak bisa menyangkal ketertarikan yang mulai tumbuh di hatinya.

Selama hari-hari pertama tur, mereka mengunjungi tempat-tempat ikonik di Bali—Pura Tanah Lot, Ubud yang penuh seni, dan Pantai Kuta yang terkenal. Setiap kali mereka berbicara, Hana merasakan bahwa percakapan dengan Rakai tidak hanya sekadar informasi wisata. Rakai sering kali bercerita tentang Bali dengan cara yang penuh perasaan, seolah-olah ia berbagi lebih dari sekadar fakta sejarah. Ada filosofi kehidupan di setiap ceritanya, sesuatu yang membuat Hana merasa terhubung dengan pulau ini lebih dalam.

Bagian 3: Keindahan di Tengah Kesedihan

Suatu sore, di sebuah kafe kecil di Ubud, Rakai dan Hana berbincang setelah menyelesaikan tur harian. Rakai, yang pandai membaca suasana hati, tiba-tiba berkata, “Saya merasa ada sesuatu yang Anda sembunyikan, Hana-san. Sepertinya, Bali bagi Anda bukan hanya sekadar perjalanan wisata.”

Hana terdiam sejenak. Rasanya sulit untuk membuka diri, tapi ada sesuatu tentang Rakai yang membuatnya merasa aman. “Saya ke sini bukan hanya untuk berwisata,” jawabnya akhirnya. “Saya sedang mencoba melupakan seseorang.”

Rakai mengangguk, tanpa menghakimi. “Bali memang tempat yang tepat untuk mencari kedamaian. Alam, budaya, dan spiritualitas di sini sering kali membantu orang menemukan apa yang mereka cari, bahkan jika itu hanya kedamaian hati.”

Kata-kata Rakai menyentuh hati Hana. Ia menyadari bahwa di tengah segala keindahan Bali, ia perlahan-lahan mulai merasa lebih tenang. Tapi di sisi lain, rasa takut mulai muncul. Apa yang akan terjadi jika ia benar-benar membiarkan dirinya merasakan sesuatu yang baru? Kenji masih ada di pikirannya, meski hanya berupa bayang-bayang masa lalu kelam yang sulit dihapus.

Bagian 4: Momen di Pantai Sanur

Suatu malam, Hana dan Rakai berangkat untuk menikmati makan malam di Pantai Sanur. Setelah tamu-tamu lain kembali ke hotel masing-masing, mereka berdua memutuskan untuk berjalan-jalan di tepi pantai, ditemani suara ombak dan cahaya bulan yang menerangi lautan.

“Ada sesuatu tentang Bali yang tidak bisa saya jelaskan,” Hana berkata sambil menatap laut. “Tempat ini membuat saya merasa lebih hidup, lebih damai. Tapi di sisi lain, saya masih merasa terperangkap oleh kenangan di Jepang.”

Rakai berhenti dan memandangnya. “Setiap orang memiliki masa lalu, Hana-san. Tapi Bali mengajarkan kita untuk hidup di saat ini, menghargai momen yang ada di depan kita. Laut tidak pernah membawa ombak yang sama dua kali. Kadang kita harus melepaskan masa lalu untuk meraih masa depan.”

Kata-kata itu menusuk dalam. Hana terdiam, memroses makna di balik kalimat tersebut. Mungkin inilah yang ia butuhkan selama ini—keberanian untuk melepaskan, untuk berhenti menggenggam sesuatu yang sudah tidak ada. Di bawah langit Bali, di antara suara ombak yang tenang, Hana merasa hatinya mulai terbuka.

Bagian 5: Memilih untuk Cinta yang Baru

Hari-hari berlalu, dan hubungan Hana dengan Rakai semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, baik dalam tur maupun di luar tugas pekerjaan. Di setiap senyuman, di setiap cerita yang mereka bagi, ada sesuatu yang tumbuh, sesuatu yang berbeda dari apa yang pernah Hana rasakan dengan Kenji.

Namun, ketika Hana merasa dirinya semakin terikat pada Rakai, keraguan kembali menghantuinya. Apakah ia siap untuk melepaskan masa lalunya? Apakah cintanya yang dulu benar-benar telah hilang, atau ia hanya mencoba melarikan diri? Di tengah kebimbangan itu, Hana memutuskan untuk merenung sendirian di sebuah pura yang tenang, memohon petunjuk dari alam Bali yang magis.

Saat duduk di depan pura, ia teringat kata-kata Rakai—tentang hidup di saat ini, tentang menghargai apa yang ada di depan mata. Dan saat itulah Hana menyadari, cinta yang baru ini bukanlah pelarian. Cinta ini adalah sesuatu yang nyata, yang ia rasakan dengan sepenuh hati. Bali tidak hanya memberikan kedamaian, tetapi juga membuka pintu bagi harapan baru.

Bagian 6: Jejak Cinta di Pulau Dewata

Pada hari terakhir tur, sebelum rombongan tamu lainnya kembali ke Jepang, Hana dan Rakai menghabiskan waktu bersama di Pantai Jimbaran. Kali ini, tidak ada keraguan lagi. Hana tahu ke mana hatinya akan berlabuh. Di antara deburan ombak dan angin laut yang lembut, Hana memandang Rakai dengan tatapan penuh keyakinan.

“Terima kasih, Rakai, karena telah menunjukkan padaku cara untuk melepaskan,” kata Hana dengan suara lembut. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi untuk saat ini, aku ingin berada di sini, bersamamu.”

Rakai tersenyum, sebuah senyum hangat yang selalu membuat Hana merasa tenang. “Aku senang bisa menjadi bagian dari perjalananmu, Hana-san. Apa pun yang terjadi, Bali akan selalu ada untukmu, dan begitu juga aku.”

Di tengah cahaya matahari terbenam yang keemasan, Hana merasa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hatinya penuh dengan kebahagiaan. Cinta baru ini mungkin masih dalam proses tumbuh, tapi jejaknya telah tertinggal di Pulau Dewata—tempat di mana ia belajar untuk melepaskan masa lalu dan merangkul cinta yang baru. Hana pun berjanji bahwa empat bulan berikutnya ia akan kembali berlibur dan menemui Rakai. (*)

banner 300x250

Related posts

banner 468x60