AROMA kopi tubruk dan pisang goreng merebak sehingga mengundang senyum para tamu Homestay Bahagia pagi itu. Homestay itu, milik sepasang suami istri paruh baya bernama Pak Rama dan Bu Rama, yang terkenal bukan karena kemewahannya, tapi karena keramahan mereka yang kadang kelewat batas.
“Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Smith!” sapa Bu Rama dengan suara ceria, melambaikan spatula dari dapur. “Sarapan sudah siap! Saya sudah siapkan nasi goreng spesial dengan telur mata sapi yang senyum!”
Mr. Smith, seorang pria Inggris dengan kumis tebal yang selalu rapi, tersenyum kikuk. “Ah, thank you, Bu Rama. Smiley eggs, that’s… unique.” Ia melirik istrinya, Mrs. Smith, yang berusaha menahan tawa melihat telur mata sapi dengan irisan sosis membentuk mata dan cabai merah keriting sebagai senyum.
“Tentu saja!” Bu Rama menaruh piring nasi goreng di meja. “Biar semangat, Sir! Pak Rama, tolong bawakan teh jahe hangat untuk Nyonya Smith. Dia bilang semalam sedikit kurang enak badan.”
Pak Rama muncul dari balik pintu dapur dengan teko keramik bergambar bunga. “Siap, Bu! Ini teh jahe racikan saya sendiri, Nyonya Smith. Dijamin cleansing dan refreshing! Kalau perlu, saya bisa bantu pijat kaki juga nanti sore. Saya ada bakat tersembunyi sebagai tukang pijat refleksi!”
Mrs. Smith terkekeh. “Oh, that’s very kind of you, Pak Rama, but I think I’ll be fine. Just the tea is perfect.” Ia mengambil cangkir teh dengan hati-hati, aroma jahe langsung menusuk hidungnya.
Hari itu berjalan seperti biasa di Homestay Bahagia. Pak dan Bu Rama selalu siap sedia. Ketika sekelompok backpacker muda dari Jerman kesulitan menyalakan kompor gas untuk memasak mi instan, Pak Rama langsung datang dengan sarung tangan oven dan helm motor.
“Tenang, anak-anak muda!” serunya sambil mengacungkan obeng. “Ini bukan rocket science! Kuncinya ada di pernafasan dan keyakinan! Seperti saya waktu pertama kali merayu Bu Rama!”
Para backpacker itu saling pandang, menahan tawa. “Uh, thank you, Mr. Budi. We just… need to turn it on.”
“Oh, tentu saja!” Pak Rama menekan tombol pemantik dengan jari kelingkingnya yang panjang. “Nah, kan! Langsung menyala! Triknya ada di… attitude!” Ia menyengir lebar, bangga.
Sore harinya, seorang tamu baru, Ibu Ratna, seorang ibu-ibu sosialita dari Jakarta, tiba dengan tiga koper besar dan sebuah tas tangan kecil yang isinya entah apa.
“Selamat datang, Ibu Ratna!” sambut Bu Rama, memeluk Ibu Ratna erat-erat sampai tas tangannya terjepit di antara mereka. “Aduh, Ibu pasti capek ya. Sini, koper biar Pak Rama yang angkat. Pak Rama itu tenaganya kayak kerbau, Bu! Jangan khawatir!”
Pak Rama yang baru saja selesai menyiram tanaman hiasnya, langsung sigap mengambil koper-koper itu. “Berapapun beratnya, Bu, saya sanggup! Dulu waktu muda, saya pernah angkat kulkas sendirian waktu pindahan rumah!”
Ibu Ratna, yang terbiasa dilayani pramusiwi berbintang lima, sedikit terkejut dengan antusiasme yang membara ini. “Oh, terima kasih banyak, Bapak Ibu. Tapi… tidak perlu sampai segitunya. Saya bisa sendiri kok.”
“Mana bisa begitu, Bu!” seru Bu Rama. “Tamu itu raja! Raja di Homestay Bahagia bahkan kami layani seperti pangeran dan putri! Bapak Rama, setelah ini antar Ibu Ratna ke kamarnya, terus pakaikan seprai yang baru saya setrika tadi pagi. Biar tidurnya nyenyak!”
Pak Rama mengangguk patuh. “Siap, Bu! Bahkan kalau perlu, saya akan dongengkan sebelum tidur, Bu Ratna! Saya punya koleksi cerita kancil dan buaya yang legendaris!”
Ibu Ratna hanya bisa tersenyum masam. “Ehm, tidak usah, Pak Rama. Saya sudah agak dewasa untuk dongeng.”
Malam harinya, kejadian lucu kembali terulang. Mr. dan Mrs. Smith yang sedang bersantai di teras, mendapati Pak Rama dan Bu Rama tiba-tiba duduk di kursi rotan di seberang mereka.
“Bagaimana, Tuan dan Nyonya Smith?” tanya Bu Rama, “Apakah ada yang kurang? Kasurnya terlalu empuk? Bantalnya kurang tinggi? Atau mungkin lampu tidurnya kurang romantis?”
Mr. Smith menelan ludah. “Everything is perfect, Bu Rama. Really. We’re just enjoying the evening breeze.”
“Ah, angin malam memang enak ya,” timpal Pak Rama sambil mengibas-ngibaskan tangan. “Tapi hati-hati, Tuan! Angin malam bisa masuk angin. Saya punya minyak kayu putih cap gajah duduk. Mau saya oleskan?”
Mrs. Smith nyaris tersedak tehnya. “Oh, no thank you, Pak Rama. We’re quite warm.”
“Oh, kalau begitu, mungkin ingin saya nyanyikan lagu pengantar tidur? Saya punya suara tenor yang lumayan, kata Bu Rama,” Pak Rama berujar dengan mata berbinar-binar. “Atau mungkin Bu Rama ingin menyanyikan lagu daerah? Suara Bu Rama kalau nyanyi ‘Bengawan Solo’ bisa bikin hati meleleh!”
“Bapak ini ada-ada saja!” Bu Rama mencubit lengan Pak Rama pelan. “Malu tahu, ada tamu! Tapi kalau Tuan dan Nyonya mau, saya bisa ajari cara membuat sambal matah yang pedasnya nendang!”
Mr. dan Mrs. Smith saling bertatapan, menahan tawa. Keramahan Pak Rama dan Bu Rama memang luar biasa, bahkan sampai pada level yang membuat mereka sedikit kewalahan. Tapi justru itulah yang membuat Homestay Bahagia begitu berkesan. Bukan karena kemewahan bintang lima, melainkan karena kehangatan dan kelucuan pasangan pemiliknya yang tulus.
Keesokan harinya, saat akan check-out, Ibu Ratna terlihat lebih rileks. Ia bahkan tertawa kecil ketika Pak Rama bersikeras membawakan tas tangannya yang kecil, menganggapnya sebagai “tas harta karun yang beratnya pasti setara emas batangan”.
“Terima kasih banyak, Bapak Ibu,” kata Ibu Ratna tulus. “Ini pengalaman yang… berbeda. Saya akan merindukan smiley eggs dan dongeng Pak Rama.”
Bu Rama memeluk Ibu Ratna lagi, kali ini tidak terlalu erat. “Sama-sama, Bu! Jangan sungkan kalau mau kembali! Kami selalu siap melayani dengan hati! Sampai ke pelosok jiwa!”
Saat Mr. dan Mrs. Smith pamit, Pak Rama mengulurkan sebuah kantong plastik berisi pisang goreng. “Ini, Tuan dan Nyonya! Untuk di jalan! Jangan sampai kelaparan! Dan jangan lupa, kalau butuh pijat refleksi, ingat Pak Rama!”
Mrs. Smith memeluk Bu Rama. “Thank you, Bu Rama. This has been… an experience. A truly memorable and delightful one.” Ia melirik Pak Rama yang sedang menyengir lebar. “And a very, very friendly one.”
Di balik mobil, Mr. Smith memandang pisang goreng di tangannya, lalu terkekeh. “Well, darling, I suppose we won’t find a more hospitable place than Homestay Bahagia. And I think I’ll actually miss Pak Rama’s smiley eggs.”
Di ambang pintu Homestay Bahagia, Pak Rama dan Bu Rama melambaikan tangan sampai mobil tamu mereka hilang dari pandangan.
“Mereka senang kan, Bu?” tanya Pak Rama.
“Pasti senang, Pak,” jawab Bu Rama sambil tersenyum. “Keramahan itu menular. Apalagi keramahan yang sedikit… di luar nalar kita ini, Pak.”
Pak Rama terkekeh. “Itu bukan di luar nalar, Bu. Itu namanya pelayanan tulus dari hati. Dan sedikit sentuhan seni.” Ia mengedipkan mata, lalu mulai bersenandung lagu dangdut dengan suara tenornya yang “lumayan”. Homestay Bahagia kembali ke suasana riuhnya yang khas, siap menyambut tamu berikutnya dengan keramahan yang tiada duanya, bahkan mungkin agak berlebihan, tapi selalu dari hati. (*)







