- PURA Meduwe Karang di Kubutambahan, Buleleng, sebagai pura subak abian menarik banyak kunjungan turis mancanegara
- Ada ornamen berupa 34 patung tokoh epos Ramayana dan relief kontemporer di luar pakem ragam hias tradisi
Kabupaten Buleleng memiliki banyak objek wisata sejarah. Salah satunya adalah Pura Maduwe Karang. Pura ini berstatus sebagai cagar budaya dan sudah menarik banyak kunjungan wisatawan. Berlokasi di Kubutambahan atau sebelah timur Kota Singaraja, pura ini menghadirkan berbagai keunikan.
Sejarah
Menurut sejarahnya, pura ini dibangun oleh warga migran dari Desa Bulian pada tahun 1890 dan selesai tahun 1895. Mereka berpindah ke sini untuk mencari lahan baru karena di tempat asal mereka sudah padat.
Di tempat baru ini mereka kemudian mendirikan pura dengan mengacu kepada bentuk pura di desa asal. Pura ini didedikasikan untuk pemujaan Dewa Surya dan Ibu Pertiwi terkait dengan perlindungan kesuburan lahan pertanian. Intinya, ini termasuk pura subak abian (pertanian lahan kering).
Keunikan
Pura Meduwe Karang di Kubutambahan ini memiliki beberapa keunikan dan sedikit berbeda dibandingkan pura-pura pada umumnya. Pura ini terkenal dengan berbagai ornamennya seperti patung dan ragam hias bunga yang menjadi ciri khas Bali Utara.
Kompleks pura ini dikelilingi oleh tembok penyengker dengan ornamen unik. Pada dinding sebelah utara bebaturan ada relief yang agak tidak lazim atau berbeda dari ragam hias pada umumnya, yakni relief orang naik sepeda. Relief ini dikerjakan oleh para undagi saat melakukan pemugaran sekitar tahun 1935.
Konon, saat pengerjaan proyek tersebut, datanglah seorang seniman Belanda W.O.J. Nieuwenkamp dengan naik sepeda. Dia meminta untuk bisa digambarkan pada relief penyengker tersebut dengan memberi sumbangan dana sebesar 25.000 gulden.
Pada relief itu, dia berpakaian adat Bali. Sementara kedua roda sepedanya berupa ornamen bunga. Jiwa seni sang seniman membawanya menjelajahi Pulau Dewata dengan naik sepeda. Objek-objek yang sudah dikunjungi lalu diabadikan dalam bentuk lukisan.
Sementara itu, di halaman luar pura terdapat 34 buah patung berukuran besar dan kecil yang disusun rapi sedemikian rupa dalam tiga deret. Patung-patung tersebut menggambarkan tokoh-tokoh dari epos Ramayana dan kisahnya difokuskan pada pertempuran antara Kumbakarna dan para prajurit kera yang dipimpin oleh Sugriwa.
Relief unik serupa juga bisa ditemukan di Pura Dalem Jagaraga. Di sini, ada relief sebuah mobil yang dikemudikan oleh turis asing berjenggot yang sedang ditahan oleh seorang gangster yang membawa senjata revolver.
Ragam hias kontemporer
Ragam hias atau relief tersebut tidak terlepas dari pengaruh luar karena Bali Utara pada zaman itu atau pada awal abad ke-20 memang menjadi pintu masuk ke Bali dan Singaraja menjadi pusat pemerintahan Indonesia Timur.
Para seniman yang terlibat pada pembuatan relief tersebut mengekspresikan citarasa seni mereka secara bebas dan dengan cerdas menggabungkan unsur kontemporer dengan pakem tradisi. Mereka menangkap sesuatu yang baru dan dimasukkan ke dalam karya mereka. Kini, karya-karya tersebut menjadi tonggak sejarah penting bagi ragam hias dan pariwisata di Bali Utara.
Relief seorang ‘tokoh bule’ naik sepeda tersebut, misalnya, dianggap sebagai terobosan yang kreatif dan kontemporer karena tidak lazim ditemukan pada ragam hias untuk bangunan tempat suci semacam itu.
Hal penting yang dapat disimak dari ulasan di atas adalah bahwa ragam hias relief tersebut tidak melulu berkaitan dengan rasa keindahan (estetika), tetapi juga ada jejak sejarah tentang penjelajahan oleh turis Belanda (Eropa) pada zaman penjajahan.
Nah, bila ingin mengetahui lebih dekat tentang keunikan ragam hias tersebut, datanglah ke objek-objek wisata di Bali Utara yang disebutkan di atas.