KEPINGAN permata tersembunyi di Pesisir Senja yang baru mulai menarik perhatian wisatawan, menyimpan sebuah anomali yang lebih tua dari ingatan manusia. Terukir di permukaan tebing raksasa yang menghadap Samudra Hindia, terhampar lukisan tebing kuno. Bukan sekadar guratan prasejarah, melainkan sebuah mural kolosal yang menampilkan pola-pola geometris kompleks dan figur-figur aneh yang tidak menyerupai makhluk bumi mana pun. Penduduk lokal percaya itu adalah warisan peradaban yang hilang, sebuah peringatan atau mungkin sebuah peta. Namun, belakangan ini, lukisan itu mulai menunjukkan tanda-tanda “hidup.”
Setiap malam, saat bulan menggantung tinggi di atas cakrawala, lukisan tebing itu akan berdenyut dengan cahaya samar. Sebuah pendaran lembut, seperti napas raksasa yang tersembunyi di dalam batu. Dan yang lebih mengganggu, pola-pola di dalamnya tampak bergerak, bergeser, seolah-olah sebuah mekanisme internal sedang berputar perlahan. Para turis mengira itu adalah efek cahaya atau fatamorgana, tetapi penduduk setempat tahu ada sesuatu yang lebih dalam.
Di tengah fenomena ini, gelombang laut membawa sebuah objek asing ke pantai terdekat. Sebuah topeng seram, terbuat dari material hitam legam yang terasa dingin di sentuhan, bahkan di bawah terik matahari tropis. Ukirannya begitu rumit dan asing, tidak ada kesamaan dengan seni atau budaya yang dikenal di Bumi. Topeng itu memancarkan energi dingin yang aneh, membuat bulu kuduk merinding bagi siapa pun yang mendekat.
Arjun, seorang seniman lokal yang eksentrik, adalah salah satu dari sedikit orang yang tidak menganggap fenomena ini sebagai tontonan biasa. Sejak kecil, ia terobsesi dengan lukisan tebing itu. Ia menghabiskan berjam-jam mengamati, menggambar, dan mencoba menguraikan misterinya. Ketika topeng itu ditemukan, Arjun adalah orang pertama yang merasakannya.
“Ini bukan dari sini,” gumam Arjun, memegang topeng itu dengan hati-hati. Wajahnya yang biasanya tenang kini diwarnai campuran rasa takjub dan ketakutan. “Energinya… dingin, tapi juga memanggil.”
Sahabatnya, Maya, seorang peneliti sejarah lokal yang skeptis, hanya menggelengkan kepala. “Arjun, itu mungkin artefak kuno dari kapal karam. Jangan terlalu terbawa fantasi.”
“Kau tidak merasakan ini, Maya?” Arjun menekan topeng itu ke pipinya. “Ini seperti… kunci. Kunci untuk sesuatu yang besar.”
Beberapa hari setelah menyentuh topeng itu, Arjun mulai berubah. Awalnya, hanya hal-hal kecil. Ia sering melamun, tatapannya kosong, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. Kemudian, ia mulai mengalami perubahan fisik yang aneh. Kulitnya menjadi pucat, urat-urat di lengannya tampak lebih menonjol, dan matanya, yang dulunya hangat, kini memancarkan kilatan aneh, hampir seperti cahaya yang berdenyut dari lukisan tebing itu sendiri.
“Arjun, kau baik-baik saja?” Maya bertanya suatu malam, saat mereka sedang makan malam. Arjun hanya mengaduk makanannya, tidak menyentuhnya.
“Aku… aku mendengar mereka, Maya,” Arjun berbisik, suaranya serak. “Bisikan dari luar. Mereka memanggilku melalui lukisan itu. Topeng ini… topeng ini adalah jembatan.”
Maya menatapnya dengan cemas. “Siapa ‘mereka’, Arjun? Kau terlalu banyak memikirkan hal ini. Mungkin kau butuh istirahat.”
Arjun menatapnya dengan intens. “Kau tidak mengerti. Lukisan itu bukan sekadar gambar. Itu adalah pintu gerbang. Sebuah portal yang tertutup ribuan tahun. Dan topeng ini, ini adalah kunci yang akan membukanya.”
Obsesi Arjun kian menjadi-jadi. Ia menghabiskan setiap malam di tebing, mengamati denyutan cahaya, menggambar pola-pola yang bergerak dengan kecepatan yang mengerikan. Ia percaya bahwa topeng itu memberinya pemahaman yang lebih dalam, sebuah koneksi langsung dengan entitas di balik portal.
“Mereka ingin menyeberang, Maya,” Arjun menjelaskan suatu sore, tangannya gemetar saat ia memegang topeng itu. “Mereka mencari jalan ke realitas kita. Dan aku… aku bisa membantu mereka.”
Maya merasa ngeri. “Membantu mereka? Arjun, apa yang kau bicarakan? Itu gila! Apa yang akan terjadi jika ‘mereka’ datang?”
“Perubahan,” kata Arjun, senyum aneh tersungging di bibirnya. “Evolusi. Mereka akan membersihkan dunia ini dari kelemahan dan membawa kita ke era baru.”
Malam itu, Maya memutuskan untuk bertindak. Ia tahu Arjun akan melakukan sesuatu yang drastis. Ia mengikutinya ke tebing. Di sana, di bawah cahaya bulan purnama yang redup, Arjuna berdiri di depan lukisan tebing yang kini berdenyut lebih terang dari sebelumnya. Topeng seram itu terpasang di wajahnya.
“Arjun, hentikan!” teriak Maya, langkahnya terhenti.
Arjun berbalik, matanya memancarkan cahaya biru yang menakutkan. Suaranya bukan lagi suara Arjuna yang dikenalnya, melainkan gema dari bisikan-bisikan yang ia dengar. “Terlambat, Maya. Kunci telah dimasukkan. Pintu sedang terbuka.”
Dengan topeng di wajahnya, Arjun mengangkat kedua tangannya ke arah lukisan. Pendaran cahaya dari tebing semakin intens, memancar keluar dalam gelombang-gelombang energi. Pola-pola di lukisan itu berputar dengan kecepatan tinggi, menciptakan pusaran cahaya yang memusingkan. Udara di sekitar mereka menjadi dingin, seolah energi dari dimensi lain sedang merobek tabir realitas.
Dari dalam lukisan, siluet-siluet mulai terbentuk. Bentuk-bentuk yang tidak jelas, namun terasa masif dan mengancam. Mereka bukan makhluk yang bisa dibayangkan oleh pikiran manusia.
“Mereka datang!” seru Arjun, suaranya penuh ekstasi. “Dunia ini akan diubah!”
Maya tahu ia harus melakukan sesuatu. Ia melihat sebuah batu tajam tergeletak di dekatnya. Dengan keberanian yang entah dari mana, ia menerjang ke arah Arjun, mencoba menjatuhkan topeng itu dari wajahnya.
“Tidak!” teriak Arjun, mencoba menangkis. Namun, Maya berhasil. Batu itu mengenai topeng, dan dengan suara retakan yang memekakkan telinga, topeng itu terbelah dua.
Seketika, cahaya dari lukisan tebing meredup. Pusaran pola melambat, dan siluet-siluet di dalamnya memudar, seolah ditarik kembali ke dalam kegelapan. Udara dingin menghilang, digantikan oleh kehangatan malam yang normal.
Arjun tersungkur, topeng yang pecah tergeletak di sampingnya. Cahaya biru di matanya padam, digantikan oleh kebingungan. “Apa… apa yang terjadi?”
Maya terengah-engah, menatap lukisan tebing yang kini kembali menjadi batu mati. “Kau… kau akan membuka sesuatu yang mengerikan, Arjun.”
Beberapa minggu kemudian, Arjuna pulih, meskipun ia masih sering melamun. Ia tidak ingat banyak tentang apa yang terjadi saat ia mengenakan topeng itu, hanya fragmen mimpi aneh dan bisikan yang kini telah lenyap. Lukisan tebing di Pesisir Senja kembali seperti semula, sebuah misteri kuno yang membisu. Topeng yang pecah disimpan di museum lokal, menjadi artefak aneh yang tak seorang pun bisa mengidentifikasi asalnya.
Namun, Maya tidak bisa melupakan apa yang dilihatnya. Ia tahu bahwa di balik lukisan tebing itu, ada sesuatu yang menunggu. Sesuatu yang hampir menyeberang. Dan ia juga tahu bahwa di suatu tempat di alam semesta, mungkin ada kunci lain, atau pintu lain. Pesisir Senja mungkin telah aman untuk saat ini, tetapi misteri tentang kanvas yang berdenyut dan topeng dari dimensi lain itu akan selamanya menghantui pikirannya, sebuah pengingat akan batas tipis antara realitas yang kita kenal dan kengerian yang tersembunyi di baliknya. (*)







