Kisah Ruang Rapat Ajaib di Co-Working Space

Ruang Rapat
Ilustrasi ruang rapat di co-working space. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

RIAN adalah tipikal digital nomad. Rambutnya agak gondrong, kaus hitamnya selalu kusam, dan ia membawa ransel fjallraven yang entah kenapa terlihat lebih berat dari isinya. Masalah terbesar Rian bukan deadline atau klien yang rewel, melainkan fokus. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, berpindah dari satu meja ke meja lain hanya untuk menemukan satu ide.

Itu sebabnya ia membayar mahal untuk keanggotaan di co-working space “Puncak Ide.” Namun, alih-alih menemukan puncak ide, Rian malah sering menemukan dirinya terombang-ambing di lautan notifikasi. Hingga suatu sore, ketika semua ruang rapat sudah terisi, ia melihat satu pintu yang tertutup. Pintu itu bertuliskan, “Ruang Rapat 7: Dilarang Masuk (Dalam Perbaikan).”

Read More

Rian, yang nekat dan putus asa, mengabaikan peringatan itu. Ia membuka pintu dan menemukan sebuah ruangan kosong yang sejuk. Meja bundar di tengahnya dilapisi debu tipis, dan bau aneh—sedikit pedas, tapi menenangkan—menguar di udara. Ia tidak peduli. Ia hanya butuh tempat untuk menyelesaikan draf proposal kliennya.

Begitu ia duduk, ia mulai mengetik. Satu paragraf. Lalu dua. Tiga. Dalam waktu kurang dari satu jam, proposal yang biasanya memakan waktu seharian penuh, selesai. Ia bahkan menambahkan ide-ide baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

“Gila!” gumamnya. “Ruangan ini… ada sesuatu.”

Sejak hari itu, Ruang Rapat 7 menjadi rahasia pribadi Rian. Setiap kali ia butuh inspirasi, ia akan menyelinap ke sana. Para staf lain mulai bertanya-tanya, kenapa Rian yang biasanya terlihat gelisah tiba-tiba begitu produktif.

“Pasti dia minum kopi super kuat,” tebak seorang developer.

“Atau dia punya aplikasi rahasia untuk menulis,” sahut yang lain.

Suatu pagi, Rian tiba lebih awal dan segera menuju Ruang Rapat 7. Ia membuka pintu, menghirup aroma yang sudah ia kenal, dan bersiap untuk kembali produktif. Namun, sebelum ia sempat menyalakan laptop, pintu terbuka dan muncullah Ibu Wati, staf front office yang selalu terlihat lelah tapi ramah. Di tangannya, ia membawa kemoceng dan botol semprot.

“Maaf, Mas Rian,” kata Ibu Wati dengan senyum, “ini ruangan mau saya bersihkan.”

Rian panik. “Eh, Ibu… jangan! Ini, eh, ada proyek penting di sini.”

Ibu Wati tersenyum. “Mas Rian ini aneh-aneh saja. Setiap hari saya lihat Mas masuk ke sini. Padahal ruangan ini kan…” ia terdiam sejenak, “tidak dipakai lagi.”

“Justru itu, Bu! Keheningannya itu yang saya butuhkan. Ini seperti… ruangan ajaib!” Rian berusaha meyakinkan.

Ibu Wati tertawa kecil. “Ajaib? Mas Rian ini ada-ada saja. Ajaib apanya? Ini cuma gudang. Semua barang rusak disimpan di sini. Meja ini juga sudah karatan.”

“Tidak, Bu! Ada bau yang aneh, tapi enak. Bau itu membuat saya jadi lebih fokus. Apa itu… wewangian khusus?” Rian bertanya penuh harap.

Ibu Wati menoleh ke belakang, mengambil sebuah botol balsem dari kantong seragamnya. “Oh, ini. Ini balsem saya. Kepala saya sering pusing kalau kelamaan duduk di front office, jadi saya oleskan balsem ini di hidung dan pelipis. Biar plong.”

Rian terdiam. Mulutnya sedikit terbuka. Ia melihat botol balsem itu, lalu menatap Ibu Wati, lalu kembali ke botol balsem. Selama ini, “aura produktivitas” yang ia puja-puja ternyata hanyalah aroma balsem yang menusuk hidung.

“Jadi… inspirasi saya itu… dari balsem?” Rian bertanya dengan suara lirih.

Ibu Wati mengangguk polos. “Iya, mungkin. Kalau Mas Rian suka, saya kasih saja. Saya punya banyak di rumah.”

Rian hanya bisa menghela napas. Ia merasa bodoh, tapi pada saat yang sama, ia juga merasa lega. Ia tidak perlu lagi menyelinap ke ruang rapat yang berdebu. Ia hanya perlu berjalan ke front office, meminta sedikit balsem, dan melanjutkan pekerjaannya di meja mana pun.

Pada akhirnya, Rian tidak kehilangan inspirasinya. Ia hanya kehilangan ilusi tentang keajaiban. Dan itu, baginya, adalah hal yang jauh lebih berharga. (*)

banner 300x250

Related posts